KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) tidak serta merta bisa langsung menadah saham divestasi PT Nusa Halmahera Minerals milik Newcrest Mining Limited. Memang Aneka Tambang digadang-gadang bakal mendapatkan hak penawaran terlebih dulu atas saham yang dijual atau rights of first refusal. Sejatinya, manajemen Aneka Tambang masih memerlukan sejumlah proses untuk mengambil alih saham divestasi Nusa Halmahera.
Direktur Keuangan PT Aneka Tambang Tbk, Dimas Wikan Pramudhito, mengungkapkan hingga kini ANTM masih melaksanakan proses evaluasi untuk menyerap saham divestasi tersebut. "Sementara belum (ada keputusan), masih dalam kajian dan evaluasi," ungkap dia kepada KONTAN, Minggu (7/7).
Direktur Utama ANTM, Arie Prabowo Ariotedjo, pernah menyebutkan divestasi saham Nusa Halmahera masih tahap pembicaraan dan belum menemui keputusan final. Yang jelas, kata Arie, ANTM sedang mengkaji nilai valuasi saham Nusa Halmahera.
ANTM mengkaji valuasi Nusa Halmahera bersama Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP). "Lagi pula jatuh tempo divestasi Nusa Halmahera pada Juni tahun depan, jadi masih ada waktu," kata Arie beberapa waktu lalu.
Mengacu amendemen Kontrak Karya (KK) Nusa Halmahera pada Juni 2018, perusahaan yang 75% sahamnya dimiliki Newcrest Mining Limited tersebut mesti mendivestasikan sahamnya kepada pihak nasional hingga mencapai total 51%. Tenggat waktu divestasi paling lama dua tahun setelah amendemen KK berlangsung.
Saat ini, ANTM memiliki 25% saham Nusa Halmahera. Sehingga, perusahaan yang mengoperasikan pertambangan emas di Gosowong, Maluku Utara, itu harus melepaskan 26% saham kepada pihak nasional, sesuai amendemen kontrak tadi.
Belum lapor
Terkait proses divestasi ini, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yunus Saefulhak bilang, hingga kini belum menerima laporan divestasi dari Nusa Halmahera maupun Newcrest.
Meski tenggat waktu divestasi belum jatuh tempo dan proses pembicaraan secara business to business dapat dilakukan, menurut Yunus, Nusa Halmahera tetap harus memberikan laporan soal proses divestasi kepada Kementerian ESDM.
Hal itu agar pengalihan saham bisa secara resmi diakui sebagai hasil divestasi. "Sampai sekarang belum (melaporkan ke Kementerian ESDM). Kalau mau diperlakukan sebagai divestasi, harus lapor ke pemerintah," kata Yunus kepada KONTAN, Minggu (7/7).
Saat ini, Kementerian ESDM masih menunggu laporan sejumlah perusahaan yang sudah melewati jatuh tempo divestasi. Catatan KONTAN, PT Vale Indonesia Tbk dan PT Natarang Mining sudah memberikan penawaran divestasi ke Kementerian ESDM.
Sebenarnya Vale Indonesia baru wajib divestasi Oktober 2019. Namun, perusahaan ini ingin menawarkan divestasi saham sebelum memasuki masa jatuh tempo tersebut. Perusahaan dengan komoditas nikel ini akan melakukan divestasi saham sebesar 20%.
Adapun PT Natarang Mining memiliki kewajiban divestasi saham sebesar 22%. Produsen emas itu sudah melewati masa wajib penawaran divestasi.Selain Natarang, ada tiga perusahaan lainnya yang sudah melewati masa wajib penawaran divestasi. Namun hingga kini ketiga perusahaan itu belum menyerahkan penawaran divestasi.
Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Ensbury Kalteng Mining, PT Kasongan Bumi Kencana, serta PT Galuh Cempaka.
PT Ensbury Kalteng Mining memiliki kewajiban divestasi 44% saham. Ensbury Kalteng Pte Ltd masih menguasai mayoritas saham produsen emas itu, yakni mencapai 94% saham, diikuti Ensbury International Ltd sebesar 4% dan pemegang saham lainnya sebesar 2%.
Adapun PT Kasongan Bumi Kencana harus melaksanakan divestasi sebesar 19% saham. Komposisi pemegang saham produsen emas itu adalah Pelsart Kasongan Pty Ltd sebesar 45%, Idaman Kasongan Pty 40%, dan PT Wisma Budi Kerti 15%.
Sementara Produsen intan PT Galuh Cempaka wajib divestasi 31% saham. Pemegang saham Galuh Cempaka adalah Ashton MMC Pte Ltd sebesar 80% dan PT Aneka Tambang Tbk 20% saham.
Yunus menegaskan, Kementerian ESDM telah mendesak ketiga perusahaan itu untuk segera mengajukan penawaran divestasi. "Kami memberikan tenggat waktu hingga Juli 2019," ungkap dia.