Awas Sinyal Komoditas

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ramai-ramai soal lonjakan harga minyak goreng rakyat MinyaKita memberikan beragam sinyal bagi pemerintah. Ada peringatan yang spesifik soal harga pangan, ada sinyal terkait hal yang lebih makro: pertumbuhan ekonomi.
Yang pertama adalah soal potensi lonjakan permintaan MinyaKita menjelang masa Lebaran. Selain faktor musiman, para pedagang bercerita, karena tampilannya yang "klimis" dan harganya yang murah, kini, MinyaKita juga jadi incaran kaum berduit. Jadi, jika pasokan tak cukup, harga MinyaKita akan sulit jinak masuk bulan April nanti.
Tentu saja, pasokan bahan pokok lain seperti beras, tepung, gula, dan daging juga harus dikawal supaya harganya tidak ikut-ikutan melonjak menjelang Lebaran nanti.
Di hulu, berkurangnya pasokan domestic market obligation (DMO) yang menjadi bahan baku MinyaKita turut mendongkrak harga. Kondisi ini merupakan imbas penurunan permintaan crude palm oil (CPO) global yang juga diikuti penurunan harga CPO di pasar ekspor. Sepanjang 2023, harga CPO sudah turun 6,5% (bursa komoditas Malaysia).
Susutnya permintaan ekspor membuat produsen ogah-ogahan menyetor DMO. Maklum, setoran DMO otomatis melahirkan jatah ekspor. Ngapain menambah ekspor gini hari, wong, jatah ekspor yang ada saja masih menumpuk.
Bukan cuma pasar CPO yang loyo. Hal yang sama terjadi di pasar batubara. Bahkan, penurunan harga batubaru lebih parah, mencapai 46% hingga Jumat siang (10/2). Jelas, penurunan harga ini dan juga permintaan musim dingin yang tidak sekuat biasanya menggerus ekspor.
Nah, penurunan permintaan dan harga ekspor ini memberikan sinyal bahwa pesta komoditas yang berlangsung tahun lalu telah berakhir. Artinya, kita tak bisa lagi terlalu mengharapkan surplus ekspor sebagai penopang petumbuhan ekonomi.
Tahun lalu, surplus ekspor menjadi pahlawan pertumbuhan ekonomi di saat permintaan konsumsi masyarakat masih suam-suam kuku.
Di saat rezeki ekspor mengering, tentu, pemerintah harus kembali pada kekuatan dalam negeri untuk menopang ekonomi.
Alhamdulillah, pertumbuhan konsumsi masyarakat sudah mulai pulih di kisaran 5%. Tentu, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjaga momentum pertumbuhan konsumsi ini.
Di luar itu, pemerintah juga harus semakin pintar memikat investasi asing. Kementerian Keuangan juga harus menyediakan alokasi fiskal yang cukup untuk membakar bertumbuhan ekonomi lewat insentif.