KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sulit betul memutus mata rantai tradisi buruk bagi-bagi jabatan di negeri ini. Mungkin karena pelakunya pihak yang tengah berkuasa, meniru praktik penguasa sebelumnya. Kehendaknya bisa bebas terwujud, mulus, dan nyaris tanpa kontrol. Sementara rakyat hanya diam terpaku sebagai penonton.
Yang dijadikan objek bancakan tak sebatas jabatan publik. Kita sudah dipertontonkan kabinet gemuk Pemerintahan Prabowo Subianto, yang berisikan lebih dari 100 menteri, wakil menteri dan pejabat setingkat menteri.
Publik juga mesti menyaksikan aksi bagi-bagi posisi kunci seperti komisaris dan direksi badan usaha milik negara (BUMN). Jabatan penting di perusahaan milik negara dibagi-bagikan bak hadiah kepada para pendukung pemenang kontestasi politik.
Tak perlu menunggu Prabowo resmi dilantik sebagai presiden. Sejumlah kader Partai Gerindra jauh-jauh hari sudah menempati kursi empuk di BUMN.
Sebagai contoh saja, pada 17 Mei 2024 pemerintah menunjuk Felicitas Tallulembang sebagai Komisaris Independen PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS). Ia anggota Dewan Pembina Partai Gerindra yang pernah jadi anggota DPR periode 2014-2019.
Contoh lainnya ada Simon Aloysius Mantiri, politisi Partai Gerindra, dan Wakil Bendahara Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024-2029. Simon memperoleh jabatan bergengsi pada 10 Juni 2024 sebagai Komisaris Utama PT Pertamina (Persero).
Terbaru, pada Desember berjalan ini saja ada empat BUMN yang manajemennya dirombak. Salah satunya, kader Gerindra Wilgo Zainar yang ditunjuk sebagai Komisaris Independen PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) pada 16 Desember 2024.
Catatan KONTAN, sejauh ini saja sudah sekitar 26 BUMN yang melakukan pergantian direksi dan komisaris. Semua punya aroma yang sama dan sulit ditampik; demi menampung orang-orang yang dekat dengan kekuasaan.
Memang, tak ada norma hukum yang dilanggar. Orang-orang yang dapat kursi empuk nan basah itu bisa saja memang kompeten, pantas, dan punya kredibilitas.
Namun, BUMN harusnya dibiarkan lincah bergerak sebagai korporasi. Ia memang milik negara sehingga bisa dijadikan sebagai kendaraan vital demi membonceng kepentingan rakyat dan bangsa. Tapi BUMN bukan pemuas kepentingan segelintir pihak.