KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) yang telah berlangsung sepanjang tahun berjalan, mulai mengundang kerisauan banyak pihak. Maklum, jika awal tahun ini kurs dolar bolak balik di rentang Rp 15.000-an, the greenback kini berkisar di atas Rp 16.300.
Jika menengok ke belakang, dolar semahal itu hanya terjadi di masa-masa krisis. Terdekat, kurs dolar AS seharga itu adalah awal pandemi. Andai ditarik lebih jauh, dolar yang mahal juga terjadi di masa krisis keuangan global, sekitar 2008-an.
Dan tentu, saat krisis moneter melanda Asia. Kurs yang sempat menyentuh Rp 16.800-an waktu itu, turut menyulut krisis politik. Saat rupiah terlihat tidak berharga di mata dolar AS, lazimnya banyak yang akan bertanya: Apakah krisis di masa lalu tengah berulang?
Jika pemicunya yang menjadi rujukan, maka jawaban atas pertanyaan di atas adalah tidak. Nasib rupiah saat ini, dialami juga oleh valuta di berbagai negara Asia lainnya. Padahal, postur ekonomi di banyak negara Asia itu tidak sama.
Kebijakan moneter di Negeri Paman Sam lah yang menjadi penyebab utama tren penguatan dolar AS. Sikap otoritas moneter di AS yang mempertahankan bunga acuan tinggi, menjaga stamina dolar AS untuk mengalahkan berbagai valuta.
Sedangkan di awal masa pandemi, pemicu penguatan dolar adalah terganggunya lalu lintas ekonomi dunia, akibat banyaknya pembatasan.
Pemicu rupiah, dan sejumlah valuta Asia, seperti baht dan ringgit, rontok di masa krisis awal abad ke-21 lain lagi. Dolar di masa itu menguat karena banyak negara Asia tak sanggup lagi membandari sistim nilai tukar yang di-peg.
Namun perlu diingat, pintu masuk masalah yang memicu suatu krisis memang berbeda-beda. Namun masalah awal yang beragam itu bisa berujung ke situasi yang sama pahitnya, apabila tidak mendapatkan respon dalam waktu yang tepat.
Jadi, daripada sibuk membanding-bandingkan apakah situasi ekonomi saat ini identik, atau lebih buruk dibandingkan krisis di masa-masa lalu, para pejabat di negeri ini lebih baik mencari solusi agar pelemahan dolar ini tidak memicu serangkaian masalah lain.
Mengingat, ini masa transisi, sudah seharusnya eksekutif yang berkuasa berbagi tanggung jawab dengan yang akan memimpin, untuk meredam dampak pelemahan rupiah.
Jangan bersikap saling menunggu. Sikap semacam itu bisa dipastikan akan memperparah dampak kejatuhan rupiah.