KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beberapa tahun terakhir, reksadana saham tertekan. Penyebabnya, tren kenaikan suku bunga dan krisis geopolitik. Hingga 23 November 2023 rata-rata reksadana saham membukukan kinerja year to date (ytd) tahun -4%. Di bawah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) naik 2%.
Dengan kinerja di bawah IHSG, minat investor melakukan subscription turun. Terlihat dana kelolaan Rp 93,3 triliun di Oktober 2023, menurun 12% year to date.
Salah satu pertimbangan memilih reksadana adalah dana kelolaa. Terdapat anggapan, semakin besar dana kelolaan, kinerja reksadana semakin kurang lincah. Dengan jumlah dana kelolaan semakin besar, kegiatan pengelolaan semakin pasif sehingga sulit membukukan return tinggi.
Dalam mengelola dana, umumnya manajer investasi menggunakan dua strategi. Yaitu strategi investasi aktif dan pasif. Strategi investasi pasif adalah strategi buy and hold pengelola berinvestasi pada sekelompok saham dengan bobot tertentu yang dianggap paling optimal dan berusaha mempertahankan komposisi tersebut dengan transaksi jual beli tidak terlalu aktif. Strategi investasi aktif , pengelola secara kontinyu melakukan transaksi jual beli saham atau market timing.
Pengelolaan reksadana merupakan gabungan strategi buy and hold dan market timing. Bobot penggunaan strategi di atas sangat tergantung besarnya dana kelolaan. Umumnya semakin besar jumlah dana kelolaan, manajer investasi lebih menyukai strategi buy and hold dibanding market timing.
Baca Juga: Taktik Menata Portofolio Investasi di Tahun Politik
Alasannya, jika dana kelolaan besar, saham yang bisa ditransaksikan juga semakin terbatas. Umumnya yang dipilih adalah saham perusahaan besar (blue chip) dan likuid (ditransaksikan dalam volume yang besar).
Saham tidak likuid, meskipun berfundamental bagus, harganya bisa anjlok tajam jika terjadi penjualan dalam jumlah signifikan. Maka, dihindari manajer investasi yang memiliki jumlah dana kelolaan yang besar.
Sampai di sini, pernyataan reksadana yang dana kelolaannya besar akan kurang lincah masih masuk akal. Bagaimana praktiknya di tahun ini? Bagaimana kinerja reksadana dikelompokkan dari dana kelolaan nya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, dilakukan riset pada reksadana saham di Indonesia. Data yang dikumpulkan return year to date hingga 23 November 2023 untuk reksadana dengan rata-rata dana kelolaan di atas Rp 10 miliar. Dari klasifikasi tersebut terkumpul 256 reksadana saham Sellanjutnya riset dilakukan dengan memisahkan reksadana saham menjadi 4 kuartil.
Dalam periode di atas, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan kinerja 2%. Maka, kinerja semua kuartil reksadana secara rata-rata lebih buruk dari IHSG.
Namun reksadana dengan dana kelolaan jumbo di atas Rp 1 triliun memiliki kerugian terkecil dibanding kuartil lain. Walau selalu ada reksadana di setiap kuartil yang kinerjanya mengalahkan benchmark.
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, maka di tahun 2023 reksadana saham dengan kisaran dana kelolaan di antara Rp 100 miliar – Rp 1 triliun memberikan kinerja paling baik dibanding kategori lainnya. Dari sisi unit penyertaan terlihat, hampir semua kuartil reksadana cenderung mengalami gelombang redemption, kecuali pada kuartil dana kelolaan di bawah Rp 100 miliar yang justru dapat tumbuh
Jika hasil ini menjadi referensi investor, bisa disimpulkan anggapan reksadana dengan dana kelolaan kecil akan lincah dan mengalahkan return reksadana dengan dana kelolaan besar ternyata tidak tepat di tahun 2023.
Reksadana dana kelolaan jumbo justru diuntungkan dengan kenaikan pasar saham yang pada akhir tahun 2023 didominasi saham-saham berkapitalisasi besar.
Berdasarkan data di atas investor lebih baik membeli reksadana dengan dana kelolaan yang besar yang terbukti lebih defensif dibanding dana kelolaan kecil.
Angka di atas dapat berubah sesuai dengan perkembangan bursa saham. Perlu diingat, kian tinggi potensi return selalu diikuti dengan potensi risiko tinggi. Investor tetap harus mempertimbangkan sejumlah faktor selain dana kelolaan dan return seperti risiko, tujuan dan jangka waktu investasi.