Berita HOME

Gara-Gara Karaha, Perusahaan Siswono Berseteru dengan Perusahaan Asal Selandia Baru

Sabtu, 02 November 2019 | 16:00 WIB
Gara-Gara Karaha, Perusahaan Siswono Berseteru dengan Perusahaan Asal Selandia Baru

ILUSTRASI. Dua pekerja Pertamina Geothermal Energy (PGE) tengah melakukan kegiatan uji produksi PLTP Karaha di Jawa Barat Sabtu (19/4). Gara-gara proyek Karaha, Bangun Cipta Kontraktor digugat pailit oleh H Infrastructure.Pho/KONTAN/Achmad Fauzie

Reporter: Herry Prasetyo | Editor: A.Herry Prasetyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Karaha Unit 1 yang telah resmi beroperasi secara komersial pada April 2018 lalu ternyata masih menyisakan persoalan. Dua perusahaan yang terlibat dalam proyek milik Pertamina Geothermal Energy itu kini tengah berperkara di pengadilan. Keduanya adalah H Infrastructure Limited (HIL) dan PT Bangun Cipta Kontraktor (BCK).

H Infrastructure Limited (HIL) merupakan perusahaan konstruksi asal Selandia Baru. Sementara Bangun Cipta Kontraktor adalah anak perusahaan Tjipta Bangun Sarana, kelompok usaha milik Siswono Yudo Husodo.

Melalui kantor perwakilannya di Indonesia, H Infrastructure Representative Office (HIL RO), H Infrastructure mengajukan gugatan pailit terhadap Bangun Cipta Kontraktor. Gugatan tersebut diajukan di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 10 September lalu yang terdaftar dengan nomor perkara 46/Pdt.Sus-Pailit/2019/PN Niaga Jkt.Pst.

Gugatan tersebut menyusul surat teguran atawa somasi yang H Infrastructure layangkan kepada Bangun Cipta Karya pada Mei dan Agustus lalu. Dalam somasinya, H Infrastructure meminta Bangun Cipta Kontraktor untuk membayar kerugian yang timbul akibat tidak terpenuhinya kewajiban dalam kerja sama operasi proyek Karaha.

Namun, lantaran merasa tidak memperoleh tanggapan dari Bangun Cipta Karya, H Infrastructure akhirnya membawa perkara tersebut ke pengadilan.

Nah, perkara ini bermula dari 2015 silam. Saat itu, H Infrastructure yang masih bernama Hawkins Infrastructure Limited bergabung dalam sebuah konsorsium bersama PT Alstom Power Energy System Indonesia dan Alstom Power Sysem SA dari Prancis.

Pada Februari tahun itu, konsorsium Alstom dan Hawkins meneken kontrak proyek engineering, procurement, construction and commissioning (EPCC) Panas Bumi Karaha bersama Pertamina Geothermal Energy sebagai pemilik proyek.

Baca Juga: PLTP Karaha unit 1 beroperasi

Terletak di wilayah kerja panas bumi (WKP) Karaha Cakrabuana, Jawa Barat, proyek Karaha merupakan pengembangan proyek Karaha Bodas yang menjadi penugasan dari pemerintah. Pertamina Geothermal saat itu ingin membangun PLTP Unit 1 berkapasitas 1x30 megawatt (MW) yang ditargetkan beroperasi komersial pada 2017.

Berawal dari kerja sama operasi

Dalam proyek ini, Alstom bertindak sebagai kontraktor utama. Hawkins Singapore bertindak sebagai sub-kontraktor yang menangani desain dan pengadaan alias offshore project. Sementara Hawkins Infrastructure menangani konstruksi alias onshore project.

Lantaran harus menggandeng perusahaan lokal dalam pengerjaan konstruksi, Hawkins lalu menggandeng Bangun Cipta. Maka, dibentuklah kerja sama operasi (KSO) alias joint operation (JO) antara Hawkins dan Bangun Cipta dengan porsi saham masing-masing 70% dan 30%.

Sayang, kerja sama tersebut tak berjalan mulus. Anthony Hutapea, Kuasa Hukum H Infrastructure dari kantor hukum Anthony L.P. Hutapea & Partners, mengatakan, Hawkins dan Bangun Cipta tidak kompak dalam menggarap pekerjaan konstruksi. Alhasil, proyek pun molor cukup lama.

Karena itulah, pada 2017, pekerjaan yang menjadi tanggung jawab KSO Hawkins-Bangun Cipta tersebut diambil alih oleh General Electric. Seperti diketahui, pada 2015, General Electric telah mengakuisisi Alstom, kontraktor utama dalam proyek Karaha.

Nah, menurut Anthony, karena mengeluarkan biaya untuk menuntaskan pekerjaan konstruksi Karaha, General Electric kemudian menagih biaya pekerjaan ke KSO Hawkins-BCK yang semestinya menangani pekerjaan tersebut.

Anthony bilang, tagihan dari General Electric mencapai US$ 16,4 juta. Tagihan tersebut, menurut Hawkins, semestinya menjadi tanggung jawab bersama Bangun Cipta sebagai mitra KSO.

Nah, demi mempercepat pembayaran tagihan, Anthony bilang, Hawkins kemudian membayar tagihan tersebut dan menalangi pembayaran yang semestinya menjadi tanggung jawab Bangun Cipta sebagai sesama anggota KSO. "Demi nama baik untuk proyek selanjutnya, Hawkins menalangi pembayaran terlebih dahulu," kata Anthony.

Baca Juga: Konsorsium BCK-BTS segera rampungkan proyek SPAM Bandar Lampung

Setelah menalangi pembayaran tagihan ke General Electric, giliran Hawkins menagih duit ke Bangun Cipta Kontraktor. Selain itu, Anthony menambahkan, Hawkins juga menagih realisasi modal KSO yang sejak awal sudah menjadi komitmen bersama. Alhasil, total tagihan yang harus Bangun Cipta bayar kepada Hawkins mencapai US$ 7,5 juta.

Perselisihan tagihan

Dari sinilah perselisihan mulai terjadi. Menurut Anthony, Bangun Cipta tidak sepakat dengan tagihan yang diajukan oleh H Infrastructure. Mereka juga merasa tidak pernah punya utang. "Kami sudah somasi dua kali namun tidak ada tanggapan dari BCK," ujar Anthony.

Siswono Yudo Husodo terang tidak mau mengakui tagihan tersebut. "Kalau menurut perhitungan kami, justru kami yang punya tagihan ke mereka," ujar Komisaris Utama Bangun Cipta Kontraktor ini.

Siswono mengakui, pekerjaan konstruksi proyek Karaha memang tak selesai dan kemudian diambil alih oleh General Electric. Namun, menurut Siswono, tidak selesainya pekerjaan tersebut disebabkan kesalahan Hawkins yang bertanggung jawab atas pekerjaan desain dan pengadaan.

Sesuai perjanjian, KSO Hawkins-BCK hanya untuk menangani pekerjaan konstruksi. Sementara pekerjaan desain dan pengadaan digarap oleh Hawkins. "Dia gagal melakukan design and procurement. Aneh sekali kalau kemudian BCK diminta ikut tanggung jawab atas kegagalan mereka," tutur Siswono.

General Electric, menurut Siswono, sejatinya menawarkan kepada Bangun Cipta untuk melanjutkan pekerjaan di proyek Karaha. Hal itu menunjukkan bahwa General Electric sebetulnya percaya pada kemampuan Bangun Cipta Kontraktor.

Tetapi saat itu Bangun Cipta tidak bersedia melanjutkan pekerjaan jika kontrak dengan Hawkins tidak diselesaikan terlebih dahulu. Karena awal kerja sama operasi BCK adalah dengan Hawkins. "Secara hukum, kalau kami mengambil alih proyek sementara kontrak yang sebelumnya tidak diputus dulu, kami salah," ujar Siswono.

Kuasa hukum PT Bangun Cipta Kontraktor (BCK) Hendry Muliana Hendrawan dari AKHH Lawyers menambahkan, sebagai kontraktor yang menangani pekerjaan konstruksi fisik alias onshore, Bangun Cipta baru bisa bekerja jika desain sudah selesai.

Namun pada kenyataannya, desain yang dibikin oleh Hawkins Singapore sebagai kontraktor yang menangani pekerjaan desain dan pengadaan justru sering berubah dan terjadi keterlambatan. Desain yang sering berubah tersebut pada akhirnya mengakibatkan pembengkakan biaya.

Selain itu, Hawkins juga membebankan biaya-biaya lain di proyek offshore ke dalam proyek onshore. Misalnya, biaya penginapan ekspatriat yang didatangkan Hawkins ke Indonesia untuk proyek offshore. Oleh Hawkins, Hendry bilang, biaya tersebut dimasukkan ke dalam proyek onshore.

Baca Juga: Kontraktor Swasta Optimis Bidik Kontrak Proyek Lebih Tinggi Tahun Depan

Alhasil, Bangun Cipta yang berada di proyek onshore jadi ikut menanggung biaya tersebut. "Di situ terjadi mixing cost yang membuat Bangun Cipta harus ikut menanggung biaya," ujar Hendry.

Terkait adanya kecurangan pencampuran biaya itu, Bangun Cipta telah melaporkannya ke Polres Jakarta Selatan pada Agustus 2017. Namun, Hendry bilang, laporan tersebut mandek. Penyebabnya, para personil HIL RO sudah meninggalkan Indonesia sehingga tidak ada yang bisa dipanggil untuk dimintai keterangan. 

Pernah ke arbitrase

Bangun Cipta terang ogah ikut menanggung biaya tersebut lantaran bukan merupakan biaya pekerjaan konstruksi alias onshore. Saat Bangun Cipta meminta klarifikasi, Hendry bilang, Hawkins tidak mau memberikan jawaban.

Hawkins juga menyuruh pemasok alias supplier menagih ke Bangun Cipta atas tagihan-tagihan yang belum terbayar. Hendry bilang, sepanjang tagihan tersebut termasuk pekerjaan konstruksi atau onshore, Bangun Cipta telah membayarnya. Tentu saja, pembayarannya sesuai porsi kepemilikan Bangun Cipta di KSO Hawkins-BCK di proyek onshore, yakni sebesar 30%.

Itu sebabnya, Hendry menegaskan, Bangun Cipta tidak memiliki utang kepada H Infrastructure. Kalau pun benar Bangun Cipta memiliki utang, H Infrastucture pasti berani meneruskan perkara di badan arbitrase Singapura.

Pada 2017, Hendry menceritakan, H Infrastructure sebetulnya telah membawa perselisihan ini ke Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Di SIAC, Bangun Cipta sudah menunjuk kuasa hukum dan memberikan sanggahan atas gugatan H Infrastructure. Namun sebagai penggugat, H Infrastructre tidak juga membayar biaya arbitrase sehingga sidang arbitrase tidak juga dimulai.

SIAC, kata Hendry, bahkan telah menagih dan menyurati H Infrastructure hingga 11 kali. Akhirnya, pada 12 November 2018, SIAC menggugurkan perkara bernomor 401 tahun 2017 karena H Infrastructure tidak juga membayar biaya perkara.

Baca Juga: Jasa Marga Jalankan Putusan Arbitrase, Bangun Tjipta Cabut Gugatan Pailit

Logikanya, kata Hendry, jika merasa posisinya bagus, H Infrastructure akan meneruskan perkara di SIAC tersebut. Langkah H Infrastructure tidak melanjutkan perkara arbitrase membuktikan bahwa klaim mereka tidak kuat.

Persoalan legal standing

Hendry juga menyoroti mengenai legal standing H Infrastructure Representative Office (HIL RO) sebagai pemohon. Menurut Hendry, HIL RO sudah tidak memiliki izin sesuai ketentuan di Indonesia. Sesuai Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), setiap perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing harus mengantongi izin perwakilan. "Izin sudah berakhir Desember 2017 dan masih atas nama Hawkins," ujar Hendry.

Malah, masih menurut Hendry, HIL RO baru mengajukan permohonan izin perwakilan terkait dengan pergantian data alamat kantor perwakilan dan kepala kantor perwakilan setelah mendaftarkan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 10 September lalu.

Kelemahan lainnya, lanjut Hendry, H Infrastructure sebetulnya berada dalam likuidasi. Jadi, dalam mengajukan gugatan pailit terhadap Bangun Cipta, mereka semestinya memperoleh kuasa dari likuidator.

Namun, anggapan ini dibantah oleh Anthony. Dia bilang, HIL RO sudah mengantongi izin dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sejak Mei 2017.Pada 2014, HIL RO sudah memperoleh izin dari Kementerian PUPR. Namun, karena ada perubahan nama, HIL RO mengajukan izin ke BKPM. "Sudah ada izin terkait perubahan nama dari Hawkins menjadi H Infrastructure," klaim Anthony.

Terkait likuidasi, Anthony juga menampiknya. Menurut dia, H Infrastructure saat ini masih ada dan belum terkena likuidasi. Yang berada dalam keadaan likuidasi adalah perusahaan lain yang masih satu grup dengan H Infrastructure.

Berdasarkan penelusuran Kontan di lembaran berita pemerintah Selandia Baru, ada tiga perusahaan yang masih satu grup dengan H Infrastructure yang telah ditetapkan berada dalam likuidasi sejak Agustus 2018 lalu. Ketiganya adalah Orange H Group Limited, H Construction N.I. Limited, dan H Construction South Island Limited.Sementara H Infrastructure belum dinyatakan dalam keadaan likuidasi.

Namun, berdasarkan lembaran berita pemerintah Selandia Baru, H Infrastructure bersama 11 perusahaan Orange H Group lainnya pada Mei 2018 telah dinyatakan berstatus in receivership alias dalam pengawasan kurator.

Orange H Group Limited adalah induk H Infrastucture. Berdasarkan penelusuran Kontan, pada 2017, Downer EDI Limited, perusahaan infrastruktur yang berkantor pusat di Australia, mengakuisisi Hawkins Limited dari keluarga McConnell.

Namun, Downer hanya mengakuisisi beberapa aset dan proyek tertentu milik Hawkins. Nah, proyek dan aset yang tidak diakuisisi oleh Downer, termasuk H Infrastructure, tetap menjadi milik McConnell di bawah Orange H  Group,.

Ini jugalah yang, menurut Hendry, membuat legal standing H Infrastructure sebagai pemohon tidak memenuhi syarat. Alasannya, H Infrastructure bukanlah pihak yang melakukan kerja sama operasi dengan Bangun Cipta. Yang melakukan KSO adalah Hawkins. “Hanya singkatannya saja yang sama, HIL RO,” kata Hendry.

Baca Juga: Bangun Tjipta siapkan Rp 5 Triliun untuk ekspansi jalan tol dalam 3 tahun ke depan

Bagaimana pun, Hendry mengatakan, permohonan yang diajukan HIL RO tidak bisa dibuktikan secara sederhana sebagaimana syarat dalam perkara kepailitan. Oleh karena itu, Hendry menegaskan, permohonan kepailitan terhadap Bangun Cipta semestinya ditolak Selain itu, Hendry menegaskan, jika memang HIL RO mau melanjutkan perkara ini, sebaiknya dilakukan di SIAC. "Sesuai perjanjian kerja sama operasional, jika ada sengketa, penyelesaian dilakukan melalui SIAC," imbuh Siswono.

Jadi, kita tunggu saja perkembangan selanjutnya akan berakhir seperti apa kasus ini.

Terbaru
IHSG
7.288,81
0.29%
-21,28
LQ45
985,97
0.44%
-4,40
USD/IDR
15.853
0,35
EMAS
1.222.000
0,41%