KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berbeda dengan putra-putra dan cucu-cucunya, Eka Tjipta Widjaja, pendiri Grup Sinarmas, terbilang sulit ditemui wartawan secara langsung. Sebuah karakter yang umumnya juga melekat pada para taipan Indonesia di eranya. Beragam kisah tentang Eka beredar dari mulut ke mulut, meski kemudian sebagian di antaranya tertuang di media.
Beruntung, pada November 1996 KONTAN -yang waktu itu baru terbit sebagai tabloid- pernah diterima Eka untuk wawancara secara eksklusif. Kepada KONTAN, Eka (saat itu "baru" berusia 74 tahun) membeberkan jawaban atas beragam isu yang lebih dari dua dekade lalu menggelayuti publik; termasuk suksesi, rencana ekspansi global, alasan masuk bisnis minyak goreng dan kertas, serta sejumput kisah masa kecil.
Sebagai salah satu pengusaha paling sukses dan sosok paling kaya di Indonesia, tentu kisah Eka selalu menjadi sorotan. Sebagian langkah bisnisnya dipandang miring oleh pihak lain, namun tak sedikit pula orang yang mengagumi sepak terjang orang yang lebih dari dasawarsa silam dianggap "kompetitor" terdekat Liem Sioe Liong sebagai orang terkaya di Indonesia.
Ketika kini Eka telah tiada, rasanya menarik untuk menengok kembali sedikit dari segelintir pemikiran yang pernah dia sampaikan langsung kepada media, khususnya kepada KONTAN. Anda bisa kembali menyimak arsip wawancara tersebut berikut ini.
Namun, sebelum membaca arsip menarik ini, satu hal penting yang perlu pembaca ingat adalah wawancara ini berlangsung pada 23 tahun yang silam. Sejak saat itu hingga sekarang beragam peristiwa ekonomi dan bisnis penting telah terjadi. Banyak di antaranya sangat mempengaruhi bisnis Grup Sinarmas dan Eka Tjipta pribadi, salah satunya krisis ekonomi 1998-1999.
Nah, tentu saja, peristiwa-peristiwa itu belum tercakup dalam konteks wawancara dalam arsip ini.
====
Cuma Satu Cucu Boleh Masuk
Profil Eka tjipta Widjaja yang sudah mulai menyiapkan suksesi
(Dimuat dalam Tabloid KONTAN edisi 4 November 1996)
Cuma dalam waktu empat bulan, Eka tjipta Widjaja merancang dua transaksi berskala miliaran dolar. Yang pertama, pengambilalihan Amcol Holdings, Singapura. Yang kedua, pembangunan pabrik kertas dan pulp di China. Eka juga sedang merancang peraturan penguasaan perusahaan oleh cucu-cucunya kelak agar tidak berebut.
Inilah profil konglomerat terbesar nomor dua di Indonesia. Sebagai taipan, dialah yang terbesar nomor dua di Indonesia setelah Liem Sioe Liong. Dia adalah Eka tjipta Widjaja alias Oei Ek Tjhong, pemilik Grup Sinar Mas. Di kartu namanya yang berwarna emas berhias simbol merah Sinar Mas, jabatan Eka tertulis singkat: chairman.
Karena posisinya itu, dirinya sering terembus kabar, baik kabar burung maupun kabar baik. Dan ia sadar betul akan kebenaran sebuah pepatah Cina. Memang, katanya sambil mengingat-ingat pepatah tersebut dalam bahasa aslinya, makin tinggi sebuah pohon makin kencang angin yang menerpanya.
Belakangan ini, Eka memang ramai jadi berita, termasuk berita yang rada minor. Pekan lalu sekelompok demonstran datang ke kantornya. Mereka menuduh Eka menguasai tanah milik orang banyak di Sawangan secara tidak sah. Padahal, saya sudah bayar tanah itu sampai tiga kali, katanya.
Ada pula isu yang tak jelas juntrungannya di pasar uang tentang kerugian Grup Sinar Mas gara-gara jual beli valuta asing. Saya berani buka semua buku saya, lalu ajak orang yang menuduh untuk bertaruh. Nanti saya bayar 100 kali lipat kalau kalah, katanya yakin.
Tentu, bukan cuma berita seperti itu saja yang kini meliputi Eka. Sejak Agustus lalu media Singapura ramai bercerita tentang langkah Eka mengambil alih Amcol Holdings, sebuah perusahaan elektronik dan properti yang sedang sekarat (lihat KONTAN, 14 Oktober 1996).
Ini sebuah transaksi berukuran super-raksasa bernilai US$ 2 miliar. Namun, Eka tak mengeluarkan uang barang sesen pun. Ia melakukannya lewat mekanisme tukar-menukar saham.
Cuma, ia harus memindahkan kepemilikan aset-asetnya yang bertebaran dari perkebunan di Sumatra hingga pabrik mi di China senilai US$ 2 miliar tadi ke Golden Amcol, nama baru Amcol Holdings bila nanti proses tukar-menukar ini selesai.
Lewat transaksi yang jelimet ini Eka berhasil mewujudkan keinginannya untuk memiliki sebuah wahana investasi di Singapura.
KONTAN: Untuk apa nanti kalau sudah punya Amcol?
Eka: Semua orang ingin punya perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Singapura. Kalau mau masuk begitu saja, prosesnya kan sulit. Jadi, jalan yang terbaik, ya, harus beli perusahaan yang sudah ada. Sekarang saya malah beli lewat tukar-menukar, tak satu sen pun uang yang keluar.
KONTAN: Aset apa saja yang akan didaftarkan menjadi milik Golden Amcol di Singapura?
Eka: Itu yang sedang kami rundingkan, prosesnya belum selesai. Daftarnya sedang disusun.
KONTAN: Aset yang akan terdaftar nanti bukan aset yang sudah dijual ke masyarakat lewat pasar modal Indonesia tentunya.
Eka: Kalau saya masukkan itu, saya nanti bisa ditangkap ha..ha..ha... Di sini orang marah, di Singapura pun pasti marah. Untuk perkebunan, misalnya, Smart Corporation (perusahaan Eka yang sudah go-public di Indonesia), cuma punya 20.000 ha. Sedangkan Sinar Mas secara keseluruhan punya 200.000 ha. Masih banyak aset-aset lain termasuk pabrik mi di China.
KONTAN: Kalau nanti sudah selesai, basis Pak Eka di Singapura makin kuat, ya.
Eka: Itu tak bisa dikatakan basis. Aset-aset itu, toh, masih ada di Indonesia. Punya tempat di Singapura memang suatu keharusan. Ini penting sebagai pijakan pemasaran, dan yang terutama untuk mencari dana. Anda bisa menjual saham lagi di sana. Dana yang terkumpul dari sana akan masuk lagi untuk diinvestasikan di Indonesia.
Langkah raksasa Eka untuk masuk ke Singapura ini belum selesai. Segalanya masih dirundingkan. Diperkirakan awal tahun depan semuanya baru beres. Menurut Indra Widjaja, putra Eka yang sekarang menangani Bank Internasional Indonesia (BII), proses pembelian Amcol ini sebenarnya sama saja dengan proses go-public yang dilakukan secara terbalik.
Biasanya, segalanya diteliti dulu, baru pihak Bursa Efek Singapura memberikan persetujuan. Sedangkan kali ini, persetujuannya sudah beres karena Eka sudah mendapat lampu hijau untuk masuk Amcol. Tapi, segala persyaratannya belum tuntas diteliti dan masih dalam proses.
Namun, bagi eka, langkah bisnis tak boleh terhenti lantaran menunggu secara sia-sia. Pekan lalu sudah muncul lagi kabar tentang gerak bisnis Sinar Mas berikutnya yang juga tak kalah super-raksasanya. Eka akan mendirikan sebuah pabrik pulp dan kertas di China. Investasinya tidak main-main, US$ 3 miliar. Dan jumlah itu bisa berkembang makin besar lagi. Bisa sampai US$ 5 miliar, kata Eka.
Pertimbangan utama Eka masuk ke China adalah untuk lebih menajamkan daya tembus produknya ke pasar China. Soalnya, kalau melalui prosedur ekspor biasa, kertas Sinar Mas akan terkena bea masuk sebesar 30%. Sedangkan untuk pulp, bea masuknya cuma 5%. Dengan demikian, sebagian pulp produk Sinar Mas bisa dikirim dan diolah menjadi kertas di sana.
Langkah seperti ini memang tak terelakkan. Soalnya, kertas Sinar Mas sekarang sudah menjadi produk dunia dan bersaing ketat dengan kertas Brasil dan negara-negara Skandinavia. Tapi, kita sekarang sudah cukup kuat di sana, kata Eka menegaskan. Ia menjamin mutu produknya sudah setara dengan produk-produk dari pabrik mana pun.
KONTAN: Kok, masih terus mengembangkan kertas. Bisnis ini kan sudah redup. Kayu makin langka.
Eka: Enggak, justru sebaliknya. Kayunya kami tanam pakai Hutan Tanaman Industri (HTI). Sebab, untuk bikin bubur kertas lebih enak pakai satu jenis pohon hasil menanam sendiri. Mutunya lebih bagus, dimasaknya juga lebih gampang. Umur penanamannya pendek, tujuh tahun sudah bisa dipotong. Kalau campur-campur ada yang keras ada yang lembek, kurang bagus.
KONTAN: Lalu, untuk investasi sebesar itu duitnya dari mana?
Eka: Kami bisa minta pinjaman dari luar. Duit di luar negeri itu banyak sekali.
KONTAN: Berapa modal yang harus disetor Pak eka, apa bisa cuma 20%?
Eka: 10% pun bisa. Yang penting bisa dipercaya. Dalam bisnis itu yang terpenting adalah kepercayaan.
KONTAN: Jadi, jaminannya Pak Eka pribadi?
Eka: Harus ada jaminan perusahaan juga. Kalau cuma saya pribadi, berapa harga daging dan tulang saya ini ha...ha...ha.
Perkembangan bisnis Sinar Mas, menurut Eka, memang tidak bergantung pada BII sebagai mesin uang. Seperti diketahui, BII adalah bank milik Sinar mas yang sekarang tergolong sebagai bank yang paling menguntungkan di Indonesia. Nilai asetnya mencapai Rp 14,7 triliun per 30 Juni 1996. Keuntungannya mencapai Rp 146 miliar lebih untuk paro pertama 1996.
Sekalipun demikian, Eka mengaku tak mau mengutik-kutik mesin uang yang sudah go-public ini. Bahkan, ia berani menjamin, Boleh dibilang tak ada kredit dari BII untuk Grup Sinar Mas. Kalau ada, itu pun kecil sekali.
Masalahnya, kredit dari dalam negeri sekarang ini sudah tidak kompetitif lagi, alias terlalu mahal. Untuk investasi tak ada lagi kredit dalam negeri yang saya pakai, katanya menambahkan.
Untuk pengembangan usaha, Eka mengandalkan sumber-sumber dana luar negeri. Berbekal reputasi, ia dengan mudah meyakinkan para kreditur untuk ikut menanamkan uang ke proyek-proyeknya. Eka juga mengaku punya posisi tawar yang baik. Kalau perlu, beda seperempat persen pun kami tawar dengan alot, katanya. Sedangkan kredit dalam negeri biasanya hanya dipakai untuk menambah modal kerja yang memang harus dikeluarkan dalam mata uang rupiah.
Untuk mencapai tingkatan seperti Eka -dengan jaminan nama saja sudah bisa mendatangkan dana bermiliar-miliar dolar- tentu dibutuhkan kerja keras bertahun-tahun. Tapi, kerja keras tak akan berarti apa-apa bila tidak disertai hoki.
Dalam hitungan Eka, komposisi yang benar: 30% hoki, 70% kerja keras, dan IQ alias ketajaman berpikir. Selain itu, perlu niat yang serius untuk tetap menjaga kepercayaan mitra bisnis. Dalam perjalanan bisnisnya yang jatuh bangun, Eka selalu mengutamakan kepercayaan orang dengan membayar semua kewajibannya. Saya tidak pernah ingkar, katanya menandaskan.
Ia memang sempat beberapa kali terantuk ketika ketakpastian menghantui ekonomi Indonesia di zaman orde lama. Beberapa kali pergantian peraturan membuat bisnisnya mati. Pernah juga uangnya yang tersimpan di bank dibekukan, bisnisnya pun tersedak.
Suatu ketika ia bahkan dipaksa menjual kopra bisnis utama Eka waktu itu jauh di bawah harga pokoknya. Dalam keadaan sulit seperti itu pun Eka tak pernah melupakan kewajiban kepada rekan dagangnya. Sekalipun saya sampai harus menjual rumah dan mobil, katanya mengenang.
Sikap seperti ini, menurutnya, kurang terlihat pada anak muda sekarang. Mereka, menurut eka, lebih memperhatikan kepentingan jangka pendek. Katakan rugi Rp 100 juta, yang dibayar cuma Rp 50 juta. Sisanya tetap dikantungi dan dipakai untuk berjalan-jalan serta berfoya-foya.
Mungkin, pengalamannya merangkak dan membangun bisnis dari bawah yang mengajari Eka sikap spartan yang tanpa kompromi.
Ia merintis usaha setamat Sekolah Dasar, berkeliling Makassar menjajakan kembang gula. Lalu ia membeli becak sampai akhirnya datang Jepang yang sempat menyeretnya ke penjara.
KONTAN: Bagaimana ceritanya sehingga Pak Eka masuk penjara Jepang?
Eka: Waktu itu saya tidak senang. Saya banyak membaca tentang kekejaman Jepang di mana-mana. Dari dulu saya memang suka membaca. Saya baca bahwa bangsa kita diperkosa dan dibunuh.
KONTAN: Lalu apa yang terjadi?
Eka: Saya orangnya cepat belajar. Dalam waktu singkat saya sudah bisa berbahasa Jepang sedikit. Lalu Jepang minta saya untuk bekerja pada mereka. Semua harus mau bekerja untuk Dai Nippon. Tapi, waktu itu saya menolak. Hingga suatu ketika mereka menemukan barang-barang yang saya sembunyikan di sebuah peti teh di loteng. Di sana ada kemeja, handuk. Saya dituduh memanipulasi barang. Lalu mereka masukkan saya ke penjara Makassar selama dua minggu. Tapi, ya, tak apa-apa.
Setelah perang usai, Eka terjun ke bisnis kopra di pertengahan 1950-an. Menginjak 1970-an, bisnisnya meningkat menjadi minyak kelapa, dan meningkat lagi menjadi minyak goreng kelapa sawit di tahun 1980-an. Falsafahnya, ia suka menjalankan bisnis yang bersentuhan dengan banyak orang. Minyak goreng, misalnya, pasti akan menjadi kebutuhan orang sampai kapan pun.
Pada 1975 Eka mulai membangun pabrik kertas. Seperti halnya minyak goreng, kertas juga kebutuhan semua orang yang tak tergantikan. Mulanya, kapasitas produksinya cuma 10.000 ton per tahun. Sekarang, 1996, kapasitas produksi kertas Sinar Mas sudah mencapai 3 juta ton, melonjak 21 kali lipat.
Dari fondasi itu, Eka sekarang sudah berhasil memantapkan kerajaan bisnis Sinar Mas yang bergerak di lima bisnis utama. Yaitu perkebunan, kertas, perbankan, properti, dan bahan-bahan kimia. Ketika ditanya berapa jumlah seluruh asetnya ia cuma tertawa, Itu semua kan cuma pinjaman. Ini rahasianya ha...ha...ha.... Ia pun mengaku tak tahu lagi berapa persisnya jumlah perusahaan yang sekarang bernaung di bawah payung Sinar Mas.
Yang jelas, ia tak ingin hasil kerja keras yang luar biasa ini runtuh pada generasi ketiga. Eka ingin memerangi mitos yang melekat kuat bahwa biasanya kerajaan bisnis yang dibangun para taipan Asia tak bisa bertahan melewati tiga generasi. Itu sebabnya ia memikirkan dengan serius masalah suksesi agar Sinar Mas tidak tergilas zaman.
KONTAN: Siapa putra mahkota Pak Eka agar Sinar Mas tetap bertahan?
Eka: Baru saja saya membahas soal ini. Kami sedang menyusun anggaran rumah tangga perusahaan. Untuk generasi kedua bolehlah seperti sekarang. Ada enam anak saya yang masuk ke dalam perusahaan. Tapi, untuk generasi ketiga tidak bisa lagi.
KONTAN: Bisa dijelaskan rencananya?
Eka: Untuk generasi ketiga, setiap anak saya hanya boleh memasukkan satu saja anaknya ke dalam perusahaan. Artinya, cucu-cucu saya nanti tidak semuanya boleh masuk. Hanya satu cucu dari setiap anak. Kalau ada anak saya yang punya anak lebih dari satu, boleh dipilih yang mana yang akan masuk ke perusahaan. Yang penting, cuma satu.
KONTAN: Kok, begitu. Biasanya kan kakek bekerja untuk cucunya.
Eka: Kalau tidak begitu nanti semuanya akan berebut. Mereka tentu mau yang enak, saya mau di sini, saya mau di sana . Ini tidak baik, nanti perusahaan bisa hancur karena perebutan itu.
KONTAN: Cucu yang terpilih dan boleh masuk tadi lantas jadi apa?
Eka: Cucu saya nanti hanya boleh duduk di dewan komisaris. Hanya mengawasi dan membuat policy. Mereka tidak boleh terlibat langsung. Untuk pelaksana akan dipakai tenaga profesional. Sebab, kalau mereka semua masuk ke perusahaan, akan kacau semuanya.
KONTAN: Cucu yang tak bisa masuk ke perusahaan bagaimana?
Eka: Mereka bisa memulai usaha lain. Semuanya kan punya saham. Bisa dia pegang sahamnya terus. Atau, bisa juga menjual sahamnya untuk memulai usaha sendiri. Jadi, kelak, pemilik Sinar Mas akan tersebar ke banyak orang. Pokoknya, saya tidak mau Sinar Mas hancur di tangan cucu-cucu saya.
KONTAN: Jadi, nantinya Sinar Mas akan seperti sogo shosha di Jepang yang tak lagi dimiliki satu dua keluarga?
Eka: Ya, begitu, biar jadi milik masyarakat.
Agaknya, suksesi gaya Eka ini belum akan terjadi dalam waktu dekat. Yang bakal segera berlangsung adalah suksesi kecil-kecilan di pucuk pimpinan BII. Okki Monterie, Wakil Presiden Direktur BII, akan melepas jabatannya. Selanjutnya, ia ditarik masuk ke dalam Grup Sinar Mas. Pak Okkie sangat saya perlukan di grup, kata eka.
Menurutnya, Okkie lah yang akan mengendalikan seluruh operasi Sinar Mas di luar negeri. Sebab, belakangan ini kegiatan bisnis internasional Grup Sinar Mas makin meningkat. Saya butuh sekali orang yang latar belakang keuangannya sangat kuat seperti Pak Okkie, ujar Eka menambahkan. Hitung-hitungannya kan ruwet sekali.
Bisa jadi, ini berarti bahwa Eka memang sudah makin siap menjadi pemain dunia. Mungkin ia agak terlambat ketimbang konglomerat lain, seperti Grup Salim, yang sudah terlebih dulu melanglang buana. Tapi, Eka punya alasan mengapa baru sekarang ancang-ancang.
Saya kan harus memperkuat fondasi di Indonesia dulu, baru ke luar. Untuk generasi ketiga, setiap anak saya hanya boleh memasukkan satu saja anaknya ke dalam perusahaan. Artinya, cucu-cucu saya nanti tidak semuanya boleh masuk. Hanya satu cucu dari setiap anak. Kalau ada anak saya yang punya anak lebih dari satu, boleh dipilih yang mana yang akan masuk ke perusahaan. Yang penting, cuma satu.