KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kalau Anda termasuk investor emas lama, apalagi kalau Anda sudah membeli logam mulia ini dua dekade silam, Anda cuan besar. Di dua dekade silam, harga emas masih US$ 400 per ons troi.
Per pukul 16.13 WIB kemarin, harga emas di pasar spot ada di level US$ 3.228,55 per ons troi. Bahkan, sehari sebelumnya, harga emas mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, US$ 3.237,61 per ons troi.
Jadi investor emas yang sudah membeli emas ketika harganya masih sekitar US$ 400, kini menikmati keuntungan sekitar 700%. Kenaikan harga emas juga diperkirakan masih belum berhenti, karena permintaan masih akan tinggi.
Akhir pekan lalu, Goldman Sachs menerbitkan riset yang menyebut harga emas bisa mencapai level US$ 3.700, dengan kisaran proyeksi US$ 3.650-US$ 3.950 per ons troi. Proyeksi tersebut naik dari proyeksi sebelumnya, US$ 3.300 per ons troi.
Kendati menggembirakan buat investor emas, tapi kenaikan harga emas ini sebenarnya juga membawa kabar gelap. Jangan lupa, emas masih diyakini sebagai safe haven. Oleh karena itu, di masa yang dipenuhi ketidakpastian, harga emas kerap bergerak naik.
Saat ini, ketidakpastian global, baik dari sisi ekonomi, politik maupun sosial, sangat kuat. Ini membuat banyak pihak cemas dan memburu emas. Bank sentral juga menambah portofolio emasnya sebagai sarana lindung nilai.
Indeks fear & greed, yang mengukur sentimen emosi investor di pasar keuangan Amerika Serikat (AS), menunjukkan investor saat ini berada di posisi ketakutan hebat (extreme fear). Per pukul 05.00 WIB kemarin, indeks fear & greed ada di level 18. Nilai indeks di bawah 25 menunjukkan extreme fear.
Pada 8 April lalu, nilai indeks ini bahkan sempat mencapai level 3. Sejak awal tahun ini, indeks fear & greed ini cenderung berada di bawah level 50, yang mengindikasikan investor dipenuhi kecemasan.
Kecemasan tersebut bukan cuma dirasakan investor di pasar keuangan. Banyak pebisnis juga tengah memeras otak mencari solusi di tengah ketidakpastian saat ini, yang antara lain disebabkan kebijakan tarif impor Amerika Serikat.
Orang Indonesia juga wajar kalau merasa cemas. Masyarakat Indonesia mendapat banyak tekanan. Investasi di saham dan obligasi anjlok, nilai tukar rupiah merosot, penghasilan juga terancam. Alhasil, tekanan daya beli masih susah pulih. Jangankan menabung buat hari tua, memenuhi kebutuhan hidup sebulan saja mungkin susah.