Eropa Mengadang, Indonesia Meradang

Kamis, 02 Mei 2019 | 20:59 WIB
Eropa Mengadang, Indonesia Meradang
[]
Reporter: Havid Vebri, Merlinda Riska | Editor: Havid Vebri

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Awan kelabu tengah menaungi bisnis kelapa sawit di tanah air. Setelah terpuruk akibat tren pelemahan harga minyak sawit mentah atawa crude palm oil (CPO), pebisnis sawit harus menghadapi kebijakan Komisi eropa yang akan melarang penggunaan komoditas tersebut sebagai bahan bakar nabati (biofuel).

Kebijakan Uni eropa (UE) tersebut tertuang dalam Arahan Energi Terbarukan II atau Renewable Energy Directive (RED) II beserta regulasi turunannya, yaitu Delegated Regulation, yang rencananya berlaku Mei nanti. Beleid ini mengklasifikasikan produk kelapa sawit sebagai komoditas bahan bakar nabati yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) atau indirect land-use change (ILUC) (Delegated Regulation/DR Article 3 and Annex).

Tak pelak, kebijakan Uni eropa itu membuat resah. Protes langsung datang, baik dari pemerintah maupun pelaku usaha perkebunan sawit di dalam negeri. Soalnya, kalau RED II dan DR sampai diterapkan, maka sangat mungkin memacu masalah yang bisa merugikan industri sawit tanah air.

Apalagi, Uni eropa merupakan salah satu importir minyak sawit terbesar di dunia. Pada 2018, impor CPO mereka lebih dari 3 juta ton, hanya kalah dari India yang di atas 7 juta ton. Pemerintah dan dunia usaha sudah pada satu kesimpulan, bahwa RED II adalah bentuk terbaru diskriminasi sawit, ujar Topan Mahdi, Juru Bicara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki).

Kehadiran regulasi UE tersebut semakin menambah beban pengusaha sawit. Pertumbuhan industri ini mengalami tekanan sejak 2018 akibat harga CPO yang terus mengalami pelemahan. Sepanjang tahun lalu saja, harga CPO amblas hingga 15,34% di pasar ekspor.

Menurut Topan, pengusaha mendukung setiap langkah pemerintah Indonesia, termasuk menggugat ke Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization(WTO) bila aturan itu kelak berlaku. Jika melalui negosiasi dan diplomasi tetap menemui jalan buntu, pengaduan ke WTO akan menjadi pendekatan pemerintah berikutnya. Jika semua upaya tidak membuahkan hasil, maka retaliasi perdagangan dengan Uni eropa layak dipertimbangkan, ujarnya.

Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sawit Indonesia (Japbudi) juga mendukung langkah tegas pemerintah atas kebijakan diskriminatif UE tersebut. Sudah seharusnya pemerintah bersikap tegas karena ini menyangkut juga nasib para pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sawit. Anggota kami di Japbusi saja hingga dua juta orang yang bekerja di sawit, ujar Nursanna Marpaung, Sekretaris Eksekutif Japbudi.

Sebagai gambaran, jumlah pekerja di perkebunan rakyat, swasta, dan negara sebanyak 3,78 juta orang dan terdapat 2,2 juta petani. Sementara total jumlah pekerja yang terlibat dalam rantai pasok sawit mencapai 16,2 juta jiwa. Semestinya eropa tidak hanya melihat deforestasi, pikirkan juga manusianya, kata Nursanna.

Sangat diskriminatif

Kegusaran kalangan pengusaha dan pekerja sawit tidak berlebihan. Pasalnya, meskipun peraturan tersebut belum berlaku sepenuhnya, Maret lalu Komisi eropa memutuskan untuk menghapus secara bertahap penggunaan bahan bakar nabati berbasis minyak sawit mentah hingga 0% pada 2030.

Bagi industri kelapa sawit dalam negeri, kebijakan itu jelas sangat diskriminatif. Sebab, terhadap komoditas penghasil minyak nabati lainnya, seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari, sikap Uni eropa sangat ramah dan terbuka.

Gapki pun menuding, langkah diskriminasi Uni eropa terhadap komoditas kelapa sawit itu bertujuan untuk memperbaiki neraca perdagangan. Lantaran, perdagangan mereka ke Indonesia mengalami defisit.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan (Kemdag), neraca perdagangan Indonesia dengan Uni eropa pada 2018 surplus, bahkan surplus selama lima tahun terakhir. Tahun lalu, nilai ekspor kita mencapai US$ 17,1 miliar. Sebaliknya, impor dari Uni eropa US$ 14,1 miliar.

Gapki juga menolak mentah-mentah tudingan Uni eropa, bahwa perkebunan sawit mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global. Ketua Umum Gapki Joko Supriyono menjelaskan, penggunaan lahan untuk sawit di Indonesia hanya seluas 17 juta hektare (ha). Sedangkan pemanfaatan lahan di dunia untuk minyak nabati mencapai 278 juta ha.

Jumlah lahan itu tak sebanding dengan klaim deforestasi untuk mengubah lahan hutan jadi bukan hutan. Jadi, 17 juta hektare versus 278 juta hektare itu tidak sebanding, ujar Joko.

Karena itu, Joko berharap, Uni eropa memahami lebih dalam apa maksud dari kerusakan lingkungan tersebut. Sebab faktanya, yang menggunakan lahan paling besar justru dari industri minyak nabati.

Sebelumnya, keputusan Komisi eropa juga mendapat sorotan dari International Union for Conservation of Nature (IUCN). Lembaga konservasi ini menilai, larangan kelapa sawit sebagai bahan bakar nabati justru bisa memicu laju deforestasi hutan secara besar-besaran.

Soalnya, mengganti kelapa sawit dengan tanaman penghasil minyak nabati lain justru membutuhkan lebih banyak lahan. Dalam proses produksinya, minyak sawit merupakan produk minyak nabati paling efisien dibanding bunga matahari, kedelai, serta rapeseed (Baca juga rubrik Agribisnis halaman 23: Perang Sawit vs Miras)

Lembaga internasional asal Swiss itu menyatakan, per 0,26 ha lahan sawit mampu menghasilkan satu ton minyak sawit. Angka ini berbanding terbalik dengan bunga matahari yang memerlukan hingga 1,43 hektare lahan untuk menghasilkan jumlah minyak yang sama.

Demikian halnya dengan rapeseed yang menghasilkan minyak rapa, membutuhkan 1,25 ha lahan untuk per ton minyak nabati. Kacang kedelai lebih luas lagi, memerlukan hingga 2 ha lahan untuk menghasilkan satu ton minyak nabati.

Sikap pemerintah

Pemerintah tentu tidak tinggal diam menghadapi sikap diskriminatif Uni eropa terhadap produk minyak sawit Indonesia. Bahkan, pemerintah sudah melayangkan protes keras sejak awal masalah ini bergulir.

Belum lama ini, delegasi yang dipimpin Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menemui berbagai pihak di Uni eropa. Ambil contoh, Wakil Presiden Parlemen Uni eropa Heidi Hautala dan beberapa anggota parlemen serta perwakilan Komisi eropa. Dalam lawatannya itu, Pemerintah RI menyampaikan protes dan keberatan atas kebijakan diskriminatif Uni eropa yang mengklasifikasikan sawit sebagai komoditas tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi.

Namun, lobi-lobi itu nampaknya sia-sia. Darmin menyebutkan, Parlemen eropa dan Dewan eropa kemungkinan menyetujui regulasi tersebut dalam kurun waktu dua bulan sejak konsepnya disampaikan Komisi eropa pada 13 Maret lalu. Jadi, bisa saja dibahas sama sekali oleh Parlemen dan Dewan eropa, tapi akan tetap berlaku setelah dua bulan. Dalam situasi seperti ini, waktu dua bulan itu akan tercapai pada Mei, kata dia.

Staf Khusus Kementerian Luar Negeri Peter F. Gontha memastikan, Indonesia akan langsung menggugat ke WTO begitu RED II dan DR berlaku. Pada 15 Mei pukul 00.00 saat aturan itu diberlakukan, Indonesia akan menempuh jalan litigasi melalui WTO karena ini murni diskriminasi oleh Uni eropa, tegas Peter.

Persiapan substansi dan langkah-langkah litigasi ke WTO kelak dieksekusi oleh Kemdag. Salah satunya, menjalin komunikasi dengan beberapa firma hukum (law firm)asal Belgia.

Oke Nirwan, Direktur Jenderal (Dirjen) Perdagangan Luar Negeri Kemdag, mengatakan, pendekatan kepada firma hukum sudah dilakukan saat delegasi Indonesia berkunjung ke Brussel, Belgia beberapa waktu lalu. Kami melakukan konsultasi hukum dengan beberapa calon law firm yang akan kami pekerjaan, sudah ada lima, ujarnya.

Konsultasi itu untuk merumuskan substansi yang bisa Indonesia gugat ke WTO. Nantinya pemerintah menunjuk firma hukum untuk membantu dalam melayangkan gugatan Delegated Act bila resmi diadopsi Uni eropa pada 15 Mei 2019.

Pemerintah, papar Oke, akan membentuk tim khusus untuk mempersiapkan diri melawan diskriminasi sawit oleh Uni eropa. Tim ini akan terdiri dari sejumlah pejabat dari beberapa kementerian terkait.

Selain menggugat ke WTO, pemerintah juga tengah merumuskan langkah-langkah lain untuk membalas sikap diskriminasi Uni eropa. Salah satunya, mengkaji ulang kerjasama dagang yang tertuang dalam Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan Uni eropa alias Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU CEPA).

Imam Pambagyo, Dirjen Perdagangan Internasional Kemdag, menjelaskan, pemerintah sedang mengkaji apa yang harus mereka lakukan selanjutnya dengan perjanjian IEU CEPA. Kemdag akan meninjau ulang isi konten perjanjian perdagangan yang selama ini dalam proses pembahasan. Proses perundingan Indonesia dan Uni eropa sudah masuk putaran ketujuh, dan mencapai beberapa poin kesepakatan. Pertemuan perundingan ke delapan akan berlangsung Juli 2019 nanti.

Keberlanjutan lingkungan, merupakan salah satu fokus bahasan dalam perundingan itu. Tuntutan pemerintah jelas dalam isu minyak sawit. Yakni, hanya akan merundingkan keberlanjutan atas seluruh minyak nabati, bukan hanya minyak kelapa sawit. Harus non-diskriminatif, semua komoditas nabati perlakuannya sama, tegas Imam.

Tak hanya perjanjian dagang, pemerintah juga punya rencana memboikot beberapa produk eropa. Bahkan, pemerintah telah meminta kepada para importir produk minuman beralkohol, khususnya anggur atawa wine agar tidak mengimpor dari Benua Biru tersebut.

Selain wine, pemerintah tengah mendata produk eropa lainnya yang berpotensi untuk ditahan izin impornya. Yang terang, Tidak ada lagi permintaan impor wine dari eropa. Saya tidak melarang, cuma tidak keluar izinnya, ujar Imam.

Perang dagang Indonesia-Uni eropa di depan mata?

Bagikan

Berita Terbaru

Banjir Turut Menggerus Pertumbuhan Ekonomi
| Senin, 08 Desember 2025 | 06:25 WIB

Banjir Turut Menggerus Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini berpotensi di bawah 5%                                 

Tata Kelola BPD Dipertanyakan
| Senin, 08 Desember 2025 | 06:20 WIB

Tata Kelola BPD Dipertanyakan

Terbaru, terjadi kasus tindak pidana perbankan di Bank kaltimtara yang melibatkan pimpinan kantor cabang dan kantor wilayah bank ​

Bank Kecil Prediksi Tahun Depan Masih Menantang
| Senin, 08 Desember 2025 | 06:20 WIB

Bank Kecil Prediksi Tahun Depan Masih Menantang

Kinerja pembiayaan bank-bank kecil di jajaran kelompok bank berdasarkan modal inti (KBMI) 1 semakin melempem.​

Harga Logam Mulia Tersengat Sentimen The Fed
| Senin, 08 Desember 2025 | 06:15 WIB

Harga Logam Mulia Tersengat Sentimen The Fed

Belakangan ini, harga logam mulia bergerak variatif, Harga emas terkoreksi tipis, sementara perak justru mencatat penguatan cukup tinggi. 

Membawa Pembangkit Surya ke Puluhan Ribu Desa
| Senin, 08 Desember 2025 | 06:13 WIB

Membawa Pembangkit Surya ke Puluhan Ribu Desa

Pemerintah siap menggulirkan proyek satu desa satu megawatt PLTS. Tapi, masih banyak tantangan yang siap mengadang.

Banjir Kecaman
| Senin, 08 Desember 2025 | 06:10 WIB

Banjir Kecaman

Mereka tidak butuh pemimpin yang angkat karung beras yang bisa dikerjakan kuli panggul di mana saja.

Kredit Hijau Perbankan Bertambah Rimbun
| Senin, 08 Desember 2025 | 06:00 WIB

Kredit Hijau Perbankan Bertambah Rimbun

Perbankan kian agresif mendorong penyaluran pembiayaan hijau seiring meningkatnya komitmen industri keuangan terhadap prinsip ESG

Emiten Batubara Masih Berduka
| Senin, 08 Desember 2025 | 06:00 WIB

Emiten Batubara Masih Berduka

Opsi pengetatan aturan DMO menjadi tekanan tambahan di tengah harga batubara global yang masih lesu 

Atur Ulang Kewajiban Penempatan Devisa Hasil Ekspor
| Senin, 08 Desember 2025 | 05:50 WIB

Atur Ulang Kewajiban Penempatan Devisa Hasil Ekspor

Berlaku 1 Januari 2026, seluruh devisa hasil ekspor SDA wajib ditempatkan di Bank Himbara           

Jaringan SPBU Shell  Mulai Menyediakan BBM
| Senin, 08 Desember 2025 | 05:40 WIB

Jaringan SPBU Shell Mulai Menyediakan BBM

Shell Indonesia menyepakati impor base fuel melalui skema business-to-business (B2B) dengan Pertamina Patra Niaga.

INDEKS BERITA

Terpopuler