Berita Nasional

Gagal Ginjal Akut Bikin Takut

Senin, 24 Oktober 2022 | 09:23 WIB
Gagal Ginjal Akut Bikin Takut

ILUSTRASI. Petugas gabungan dari Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh Barat serta personel kepolisian Polres Aceh Barat melakukan inspeksi mendadak (sidak) apotek di Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Sabtu (22/10/2022). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/aww.

Reporter: Sanny Cicilia | Editor: Sanny Cicilia

KONTAN.CO.ID - Terkejut. Begitulah reaksi Tya,  ibu dua anak yang berdomisili di Bintaro, Tangerang Selatan, setelah mendengar imbauan Kementerian Kesehatan (Kemkes) untuk tidak memberikan obat sirup dulu kepada anak-anak. Imbauan  ini menyusul kasus gagal ginjal akut pada anak yang merebak di Indonesia.

Pasalnya, Tya sempat memberikan obat sirup parasetamol kepada anaknya yang demam. Pekan lalu, anak pertamanya radang dan demam hingga 39 derajat Celcius. Dia pun memberi obat sirup parasetamol kepada anaknya. Merek obatnya yang biasa dia berikan jika kedua buah hatinya  sakit.

Kedua anak Tya, berusia 7,5 tahun dan 5 tahun, selama ini mendapatkan anjuran obat sirup dari dokter kalau sakit. Memang, perlu berat badan cukup sebelum anak mengonsumsi tablet atau kapsul.

Yang membuat Tya mumet, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) sempat klarifikasi, obat sirup parasetamol dengan pantauan dokter masih bisa dikonsumsi. Namun, paginya, ia dapat kabar dari Kemkes untuk tidak menggunakan obat sirup. "Bagi yang sudah konsumsi obat sirup, anaknya musti diapakan"” tanya Tya.

Tak bisa berbuat banyak, Tya mengaku saat ini hanya bisa  menunggu solusi yang jelas dari IDAI dan Kemkes.

Sejatinya, gagal ginjal akut pada anak telah terjadi di Indonesia sejak awal 2022. Tapi, berdasarkan laporan IDAI, jumlah kasus gagal ginjal akut pada anak terus meningkat sejak Agustus dan puncaknya terjadi pada September lalu.

Gagal ginjal akut atau acute kidney injury, menurut Kemkes, menyerang anak   rentang usia 6 bulan-18 tahun, tapi paling banyak pada balita.

Menyusul lonjakan kasus gagal ginjal akut pada anak, Kemkes mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan No. HK.02.02/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Atipikal pada Anak di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, pertengahan September  lalu.

Aturan ini mewajibkan pelayanan kesehatan yang melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut merupakan rumahsakit dengan fasilitas minimal ruang intensif berupa high care unit (HCU) dan pediatric intensive care unit (PICU). 

Kemekes mencatat, hingga Selasa  (18/10), ada 206 anak mengidap gagal ginjal akut, dengan 99 di antaranya  meninggal. Gangguan ginjal akut progresif atipikial ini merupakan kondisi di mana terjadi penurunan yang cepat dan tiba-tiba pada fungsi ginjal. Kondisi ini ditandai  penurunan volume buang air kecil hingga tidak buang air kecil sama sekali.

Sebagai bentuk meningkatkan kewaspadaan, Rabu (19/10) lalu, Kemkes mengambil langkah baru, yakni menginstruksikan seluruh apotek yang beroperasi di Indonesia untuk sementara tidak menjual obat bebas atau  bebas terbatas dalam bentuk cair atau sirup kepada masyarakat.

Seluruh tenaga kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan juga untuk sementara tidak meresepkan obat-obatan dalam bentuk sediaan cair. Permintaan ini hingga penelusuran dan penelitian yang Kemkes dan Badan Pengawas Obat Makanan (BPOM) tuntas. 

"Kemkes mengimbau masyarakat untuk pengobatan anak, sementara waktu tidak mengonsumsi obat dalam bentuk cair atau sirup, tanpa berkonsultasi dengan tenaga kesehatan," ungkap juru bicara Kemkes dr Syahril. 

Ketentuan tersebut tertuang dalam Surat Edaran (SE) Kemkes  No. SR.01.05/III/3461 /2022 tentang Kewajiban Penyelidikan Epidemiologi dan Pelaporan Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal pada Anak.

Namun, Kemkes menegaskan, penyebab gagal ginjal akut pada anak itu belum diketahui secara pasti penyebabnya. "Untuk itu, investigasi masih dan terus dilakukan, Kemkes bersama dengan BPOM, ahli epidemiologi, IDAI, farmakolog, dan Puslabfor Polri melakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan penyebab pastinya," ujar dr Syahril.

Temuan BPOM

Salah satu biang kerok yang disebut-sebut menjadi penyebab gagal ginjal akut pada anak adalah kandungan  etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada obat. Kedua andungan ini bisa terikut ketika produsen farmasi menggunakan pelarut untuk obat yang digunakan dalam sirup. 

Hal ini berangkat dari kasus gagal ginjal akut di Gambia. Penyelidikan di negara Afrika Barat itu  berujung pada temuan empat merek obat sirup yang mengandung  EG dan DEG. 

Keempat produk itu: Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby Cough Syrup, dan Magrip N Cold Syrup. Semuanya buatan  Maiden Pharmaceuticals asal India. 

Hanya, BPOM menyatakan, keempat obat sirup asal India tersebut tidak beredar di Indonesia. Tetapi, sebagai langkah kehati-hatian, BPOM tetap menelusuri kemungkinan ada kandungan EG dan DEG  pada obat sirup di Indonesia. Yang terang, BPOM menegaskan, baik obat sirup anak maupun dewasa tidak boleh mengandung kedua bahan tersebut.

Kemudian, hasil sampling dan pengujian BPOM terhadap 39 bets dari 26 sirup obat hingga 19 Oktober lalu menunjukkan, ada kandungan cemaran EG yang melebihi ambang batas aman pada lima  obat sirup yang beredar di Indonesia. Pengujian BPOM itu antara lain atas obat sirup yang diduga digunakan pasien gagal ginjal akut sebelum dan selama berada/masuk rumahsakit.

Kemungkinan, cemaran EG berasal dari empat bahan tambahan, yakni propilen glikol, polietilen glikol, sorbitol, dan gliserin/gliserol, yang sebetulnya bukan merupakan bahan yang berbahaya atau dilarang digunakan dalam pembuatan sirup obat. Hanya, sesuai Farmakope dan standar baku nasional yang diakui, ambang batas aman atau tolerable daily intake (TDI) untuk cemaran EG dan DEG sebesar 0,5 mg per kg berat badan per hari.

Lima produk obat sirup yang memiliki kandungan cemaran EG  melebihi ambang batas adalah:  Termorex Sirup keluaran PT Konimex,  Flurin DMP produksi PT Yarindo Farmatama, serta Unibebi Cough Sirup, Unibebi Demam Sirup, Unibebi Demam Drops buatan Universal Pharmaceutical Industries.

BPOM pun langsung  memerintahkan pemilik izin edar untuk melakukan penarikan kelima produk  itu. Penarikan ini mencakup di seluruh outlet termasuk pedagang besar farmasi, instalasi farmasi pemerintah, apotek, instalasi farmasi rumahsakit, puskesmas, klinik, toko obat, maupun praktik mandiri tenaga kesehatan.

Belum konklusif

Meski begitu, BPOM menegaskan, hasil uji cemaran EG tersebut belum bisa mendukung kesimpulan bahwa kelima obat sirup tersebut memiliki keterkaitan dengan kejadian gagal ginjal akut. 

Sebab, selain karena penggunaan obat, faktor risiko gagal ginjal bisa datang dari infeksi virus, bakteri Leptospira, dan sistem peradangan mutisistem pasca Covid-19 atau multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C). 

"BPOM bersama dengan Kementerian Kesehatan, pakar kefarmasian, pakar farmakologi klinis, IDAI, dan pihak terkait lainnya masih terus menelusuri dan meneliti secara komprehensif berbagai kemungkinan faktor risiko penyebab terjadi gagal ginjal akut atau AKI," tulis BPOM, Kamis (20/10). 

Hal senada juga  datang dari Kemkes. Meskipun, Kemkes mengakui, telah menemukan tiga zat kimia berbahaya yang terdeteksi pada pasien balita gagal ginjal, yaitu EG, DEG, dan etilen glikol butilether.  "Ya," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemkes dr Siti Nadia Tamidzi.

Namun, dia menegaskan, belum bisa disimpulkan bahwa penyebab cemaran EGl dan DEG sebagai penyebab tunggal gagal ginjal atipikal pada anak yang saat ini merebak. "Masih diteliti lagi," ujarnya. 

Dan, Nadia mengingatkan, untuk mengikuti pengumuman resmi, mengingat banyak hoax atau informasi salah terkait dengan merek-merek obat sirup yang disebut-sebut ditarik dari pasaran karena menyebabkan gagal ginjal akut.

Ketua Umum Pengurus Pusat IDAI Piprim Basarah Yanuarso juga menegaskan, penyebab gangguan ginjal akut belum konklusif atau belum ada penyebab tunggalnya.

"Misalnya, ada ibu empat orang anak. Ceritanya, anak-anaknya batuk pilek. Kakak-kakaknya minum obat parasetamol sirup generik dari puskesmas. Tetapi, yang terkena AKI (gagal ginjal akut) si adiknya yang nomor empat yang tidak konsumsi minum obat. Ini, kan, jadi tidak konklusif," ungkap Piprim. 

Langkah IDAI saat ini adalah  mengimbau tenaga kesehatan untuk menghentikan sementara peresepan obat sirup yang diduga terkontaminiasi EG dan DEG. Ini kewaspadaan dini untuk menghindari risiko. 

Saat ini  pun menjadi momentum bagi orangtua untuk lebih rasional menggunakan obat-obatan pada anak. "Jika anak demam, coba dikompres hangat dulu. Parasetamol boleh digunakan. Tetapi, konsul dulu ke dokter jika ingin memberikan obat," kata Piprim. Dia juga mengingatkan orangtua untuk menjaga pola istirahat dan pola hidup sehat kepada anak-anak agar tidak mudah terserang penyakit.

Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Dr Zullies Ikawati mengaku, bisa memahami instruksi Kemkes dan IDAI untuk tidak menggunakan dulu obat sirup. Ini bentuk  kehati-hatian sembari mengunggu hasil investigasi pihak yang berwenang terkait kasus gagal ginjal akut pada anak-anak.

Zullies menjelaskan, parasetamol sulit larut dalam air, sehingga membutuhkan tambahan pelarut seperti propilen glikol atau gliserin. Kedua bahan ini yang mungkin  mengandung cemaran EG dan DEG.

Selain itu, memang ada kemungkinan  faktor risiko seperti dari  asupan makanan pasien atau infeksi leptospirosis yang banyak muncul di musim hujan. Sebagai bentuk kehati-hatian, untuk sementara, baiknya mengikut saran dari lembaga resmi guna menghindari bentuk sirup sampai diperoleh hasil yang pasti.                        

Terbaru