Hadapi Risiko Jatuh Tempo Utang, Agung Podomoro (APLN) Diperkirakan Jual Aset Lagi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN) masih belum bisa keluar dari risiko pembiayaan kembali alias refinancing utang. Memang, APLN telah berhasil melunasi fasilitas pinjaman yang jatuh tempo pada November 2022 lalu menggunakan dana hasil penjualan unit Central Park Mall.
Namun, pengembang properti yang dikendalikan oleh Trihatma Kusuma Haliman ini masih memiliki utang jumbo yang akan jatuh tempo pada tahun depan. Padahal, likuiditas perusahaan hingga saat ini masih tertekan.
Seperti diketahui, Agung Podomoro memiliki utang kepada Guthrie Venture Pte. Ltd. sebesar S$ 172,8 juta berdasarkan perjanjian tertanggal 20 November 2020.
Fasilitas dengan bunga 8% per tahun tersebut dijamin dengan perjanjian gadai atas rekening bank dan hak tanggungan atas Mal Central Park. Jangka waktu fasilitas tersebut 24 bulan hingga November 2022.
Untuk melunasi utang jatuh tempo tersebut, APLN menggelar divestasi aset. Pada 22 September 2022 lalu, APLN melego 149 sertifikat hak milik atas satuan rumah susun (SHMSRS) atas unit satuan rumah susun di Central Park Mall kepada PT CPM Assets Indonesia.
Baca Juga: Hanwha Mulai Proses Tender Offer Wajib Saham LPGI, Hanya Menarik Untuk Investor Lama
Yang disebut terakhir merupakan perusahaan properti yang telah diakuisisi oleh Hankyu Hanshin Properties Corp. melalui anak usahanya, CPM Assets Japan LLC. Hankyu Hanshin Properties merupakan anak usaha perusahaan konglomerasi asal Jepang, Hankyu Hanshin Holdings.
Nilai transaksi penjualan 85% kepemilikan di Central Park tersebut sebesar Rp 4,53 triliun, termasuk pajak pertambahan nilai (PPN). Sebesar Rp 1,84 triliun dari dana hasil divestasi tersebut APLN gunakan untuk membayar utang kepada Guthrie Venture.
"Sebagai bagian dari transaksi divestasi CP Mall, APLN juga mempercepat pelunasan pinjaman Guthrie Venture Pte. Ltd. yang jatuh tempo pada 20 November 2022," ujar Direktur Utama Agung Podomoro Land Bacelius Ruru dalam keterangan resmi pada Oktober 2022 lalu.
Langkah APLN menggelar divestasi aset untuk melunasi utang bisa dibilang wajar. Sebab, likuiditas APLN memang terbatas. Di kuartal I tahun lalu, kas APLN yang dihasilkan dari operasional hanya sebesar Rp 281,76 miliar. Setelah dikurangi pembayaran beban bunga dan biaya keyangan, kas bersih yang diperoleh dari aktivitas operasi hanya sebesar Rp 121,66 miliar.
Setelah digabung dengan kas bersih dari aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan, per akhir Maret 2022, kas dan setara kas APLN hanya sebesar Rp 1,15 triliun. Jumlah tersebut jelas tidak mencukupi untuk membayar utang jatuh tempo kepada Guthrie.
Kini, tekanan likuiditas masih juga membayangi kinerja APLN. Memang, kinerja APLN tampak membaik. Meski pendapatan turun 8,6% menjadi Rp 1,15 triliun per kuartal I-2023, Agung Podomoro Land berhasil membalikkan kerugian di tahun lalu menjadi laba bersih sebesar Rp 99,11 miliar.
APLN diperkirakan jual Neo Soho
Namun, kondisi likuiditas APLN masih belum membaik. Per akhir kuartal I-2023, kas bersih operasional APLN malah tercatat minus Rp 19,72 miliar. Sementara kas dan setara kas di akhir periode hanya sebesar Rp 922,61 miliar.
Padahal, dalam setahun ke depan, APLN memiliki utang jatuh tempo yang terbilang besar. Melalui anak usahanya, APL Realty Holdings Pte. Ltd., APLN memiliki utang obligasi global alias global bond dari Senior Notes due 2024 (Notes 2024).
Terbit pada 2 Juni 2017, Notes 2024 memiliki jumlah pokok sebesar US$ 300 juta. Surat utang dengan tingkat bunga tetap sebesar 5,95% ini akan jatuh tempo pada 2 Juni 2024.
Artinya, dalam setahun ke depan, APLN harus siap untuk melunasi utang obligasi tersebut senilai US$ 300 juta. Dengan asumsi kurs Rp 14.900 per dollar AS, APLN harus menyiapkan dana segar sebesar Rp 4,47 triliun untuk melunasi obligasi tersebut.
Dengan kondisi likuiditas saat ini, APLN jelas tidak memiliki dana yang mencukupi untuk melunasi Notes 2024 tersebut saat jatuh tempo. Itu sebabnya, lembaga pemeringkat Moody's Investors Service menyebutkan, APLN menghadapi risiko refinancing yang membayangi obligasi US$ 300 juta yang akan jatuh tempo pada Juni 2024.
Menurut Moody's, APLN memang sedang mengejar beberapa rencana refinancing. Termasuk di dalamnya untuk memperoleh pinjaman bank maupun penjualan aset. Namun, Vice President dan Senior Analyst Moody's Rachel Chua bilang, diskusi tersebut kini tengah berlangsung dan kemungkinan tidak akan selesai pada kuartal ini.
Moody's memperkirakan, aset yang akan APLN jual antara lain Neo Soho, pusat perbelanjaan ritel di Jakarta Barat yang menyatu dengan Central Park. Proyeksi Moody's, penjualan aset tersebut akan menghasilkan pendapatan bersih sekitar US$ 100 juta.
Baca Juga: Maybank Sekuritas Tawarkan 16 Waran Terstruktur Baru, Seri GOTO Sudah In-The-Money
Itu sebabnya, Moody's pekan lalu telah menurunkan peringkat Agung Podomoro Land dari Caa1 menjadi Caa2. Pada saat bersamaan, Moody's juga menurunkan peringkat Notes 2024 ke Caa2.
Prospek untuk seluruh peringkat tetap negatif. Prospek tersebut mencerminkan risiko refinancing yang tinggi selama 12 bulan ke depan.
"Peringkat Caa2 mencerminkan struktur permodalan perusahaan yang tidak berkelanjutan, yang ditandai dengan leverage yang tinggi dan cakupan bunga (interest coverage) yang lemah serta ekspektasi kami akan tingkat pemulihan yang lebih rendah dari rata-rata untuk pemegang Notes 2024 dalam lingkungan pendanaan yang menantang," ujar Rachel dalam keterangan resmi.
Moody's juga menilai, kinerja marketing sales bersih pada kuartal I lalu relatif lemah. APLN mengumumkan penjualan bersih sebesar Rp 240 miliar untuk kuartal tersebut sementara target sepanjang tahun ini sebesar Rp 2 triliun-Rp 2,5 triliun.
Realisasi penjualan bersih tersebut setelah dikurangi pembatalan proyek di Medan dan bandung. Tanpa menghitung pembatalan tersebut, Moody's bilang, maka marketing sales APLN akan mendekati sekitar Rp 580 miliar.
Baca Juga: Rencana Spin Off IndiHome oleh Telkom Indonesia (TLKM), Inilah Sederet Manfaatnya
Menurut Moody's, masih belum jelas apakah lebih banyak pembatalan akan berlanjut pada tahun ini. Yang jelas, Moody's memperkirakan, marketing sales tahun ini akan relatif datar dibandingkan tahun 2022 lalu yang mencapai Rp 1,6 triliun-Rp 1,7 triliun.
Di sisi lain, rasio utang alias leverage APLN diperkirakan akan tetap tinggi, lebih dari 10 kali selama 12 bulan hingga 18 bulan ke depan. Sementara cakupan bunganya akan tetap di bawah 1 kali.
Kontan telah melayangkan permintaan tanggapan atas penurunan rating oleh Moody's ini. Namun, hingga artikel ini diunggah, manajemen APLN belum memberikan respons.