KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan harga batubara terus terjadi. Hal ini turut memengaruhi operasional bisnis emiten di sektor tersebut.
Seperti diketahui, harga batubara acuan (HBA) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) saat ini sebesar US$ 71,92 juta ton. Harga tersebut turun 11,73% dibanding harga bulan lalu. Penurunan sudah terjadi sejak September 2018 lalu.
Dileep Srivastava, Direktur & Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk (BUMI), menyebut, penurunan harga batubara turut memberikan dampak. Imbas yang paling terlihat adalah penundaan pengiriman ke beberapa pelanggan.
Ini terjadi karena harga yang pelanggan gunakan berdasarkan pada indeks bulan sebelumnya. "Efek tambahan dari hal ini adalah beberapa pengiriman yang direncanakan untuk Juni akan didorong kembali ke Juli," jelas Dileep pada KONTAN, Sabtu (6/7).
Maka dari itu, penjualan pada periode Juni akan lebih rendah bila dibandingkan periode Mei. Asal tahu saja, penjualan anak usaha BUMI, PT Kaltim Prima Coal (KPC), per Mei sebesar 5,1 juta ton dengan rata-rata harga US$ 59,8 per ton. Sementara, penjualan Arutmin meningkat menjadi 2,1 juta ton dengan harga US$ 42,80 per ton pada Mei.
Dileep berharap, tren penurunan harga batubara hanya berlangsung dalam jangka pendek. Sehingga, penurunannya tak sampai mengganggu target kinerja tahun ini. Terlebih, saat ini tensi perang dagang mereda. Sebelumnya, perang dagang cukup memengaruhi pergerakan harga batubara.
Ambil contoh, di pekan pertama Juni, harga batubara turun menjadi US$ 73 per ton setelah ada komentar dari AS dan China tentang sengketa perdagangan. Kondisi ini mendorong volume batubara tambahan ke pasar Asia.
Sejauh ini, BUMI masih mempertahankan target produksi tahun ini mencapai 88 juta ton-90 juta ton. Perinciannya, produksi dari KPC sebesar 60 juta ton dan Arutmin sebesar 28 juta ton hingga 30 juta ton.
Manajemen PT Adaro Energy Tbk (ADRO) menilai, volatilitas harga batubara sulit diprediksi. Karena itu, emiten ini memastikan operasional solid agar bisa mengantisipasi volatilitas harga.
Hingga saat ini, ADRO masih optimistis target panduan tahun ini bisa tercapai, yakni produksi ditargetkan sekitar 54 juta ton-56 juta ton, dengan nisbah kupas 4,56 kali. Sementara pendapatan sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi (EBITDA) ditargetkan mencapai US$ 1 miliar-US$ 1,2 miliar.
ADRO mematok belanja modal US$ 450 juta-US$ 600 juta. Sebagian besar belanja modal digunakan untuk pengembangan Adaro Metcoal. "Kami optimistis bisa mencapai panduan yang ditetapkan," ujar Head of Corporate Communication Adaro Febriati Nadira.
Dari sekian banyak emiten batubara, Hariyanto Wijaya, analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, menjagokan PT United Tractors Tbk (UNTR). Alasannya, anak usaha PT Astra International Tbk (ASII) tersebut melakukan diversifikasi bisnis yang positif.
UNTR bukan hanya menambang batubara. Emiten ini juga menambang emas melalui PT Danusa Tambang Nusantara. Perusahaan ini mengakuisisi 95% kepemilikan PT Agincourt Resources yang mengoperasikan tambang emas Martabe di Tapanuli Selatan, Sumatra Utara.
"UNTR akan diuntungkan oleh naiknya harga emas dunia, mengingat 40% penjualan emas berdasarkan harga spot," jelas Hariyanto dalam riset 26 Juni.
Dia mempertahankan rekomendasi buy saham UNTR dengan target harga Rp 34.800 per saham. Akhir pekan lalu, saham ini naik 325 poin ke level Rp 28.025 per saham.