Berita Bisnis

Harga Energi Bikin Berat Pelaku Industri

Rabu, 29 Desember 2021 | 06:40 WIB
Harga Energi Bikin Berat Pelaku Industri

ILUSTRASI. LPG Bright Gas Pertamina.

Reporter: Dimas Andi, Filemon Agung | Editor: Azis Husaini

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Belum kelar efek pandemi Covid-19, tantangan bisnis tahun depan bakal semakin berat. Pemantiknya, biaya energi, mulai dari tarif listrik hingga harga BBM akan naik di 2022. Bahkan saat ini Pertamina sudah menaikkan harga elpiji non-subsidi. 

Kalangan pengusaha merespons negatif sentimen kenaikan harga energi. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi), Adhi S. Lukman menilai, kenaikan harga makanan dan minuman (F&B) sulit dihindari pada 2022. Sudah dua tahun para pelaku industri tak menaikkan rata-rata harga produknya lantaran pandemi.
 
Namun, kali ini masalah yang dihadapi lebih kompleks. Selain pandemi, industri menghadapi sentimen kenaikan harga bahan baku pangan, logistik, energi, hingga kenaikan PPN 11% tahun depan. 
Dari situ, Adhi bilang, produsen F&B terpaksa harus menaikkan harga jual produk, meski tidak sebesar peningkatan biaya produksi.
 
“Karena pangan olahan sensitif dari segi harga, perkiraan saya sekitar 4%-7% kenaikan harganya,” ujar dia, kemarin.
 
Ketua Umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi bilang, jika Premium dan Pertalite dihapus, maka perusahaan angkutan mesti shifting menggunakan Pertamax yang harganya lebih mahal, sehingga bisa meningkatkan biaya bahan bakar.
 
Kenaikan biaya bahan bakar akan memaksa operator ikut menaikkan harga atau mereka menderita kerugian. “Ketika operator menaikkan tarif, akhirnya diteruskan ke konsumen,” ungkap dia.
 
Yukki menambahkan, kenaikan biaya jasa logistik sangat bergantung pada besaran kenaikan harga BBM. Sebab, komponen BBM dalam transportasi berkontribusi  40%-60% dari total biaya operasional. Dampaknya, biaya jasa logistik dapat naik mencapai kisaran 8%-10%.
 
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik (Asaki), Edy Suyanto menilai, kenaikan harga BBM dan LPG sejatinya tak begitu mempengaruhi operasional industri keramik. Sebab, mayoritas bahan bakar untuk operasional adalah solar untuk transportasi pengiriman keramik dan kendaraan forklift.
 
Namun, kenaikan harga energi bisa mempengaruhi aspek non-operasional. "Tentu rencana penghapusan Premium dan penyesuaian harga LPG non-subsidi akan mempengaruhi daya beli masyarakat," kata Edy.
 
Di saat yang sama, efek yang mungkin terasa adalah kebijakan penyesuaian tarif listrik untuk 13 golongan pelanggan non-subsidi. Kenaikan tarif listrik bisa mempengaruhi daya beli masyarakat, sehingga mengurangi daya saing industri keramik dan membebani kinerja. "Padahal kami sedang bangkit dari pandemi," kata Edy.    

Ini Artikel Spesial

Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.

Sudah berlangganan? Masuk

Berlangganan

Berlangganan Hanya dengan 20rb/bulan Anda bisa mendapatkan berita serta analisis ekonomi, bisnis, dan investasi pilihan

Rp 20.000

Kontan Digital Premium Access

Business Insight, Epaper Harian + Tabloid, Arsip Epaper 30 Hari

Rp 120.000

Berlangganan dengan Google

Gratis uji coba 7 hari pertama. Anda dapat menggunakan akun Google sebagai metode pembayaran.

Terbaru