KONTAN.CO.ID - Tidak terlalu berlebihan rasanya jika menyebut PT Timah Tbk (TINS) merupakan salah satu emiten terbaik di Bursa Efek Indonesia saat ini. Tolak ukurnya bisa dilihat dari pertumbuhan kinerja keuangan TINS yang sejauh ini terbilang luar biasa.
Hingga akhir Maret 2019, secara tahunan pendapatannya melonjak 108,19% (year on year/yoy) menjadi Rp 4,24 triliun. Sementara laba bersihnya melambung 452,31% yoy. Aset PT Timah juga tumbuh positif 18,6% yoy menjadi Rp 17,93 triliun.
Dus, kinerja keuangan yang cemerlang membuat semua rasio keuangan, termasuk profitabilitas TINS membaik secara signifikan. Misalnya, gross profit margin yang membaik dari 14% di kuartal I-2018 menjadi 17,6% di kuartal I-2019. Sementara net profit margin meningkat dari 2,7% menjadi 7,1%.
M. Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Utama PT Timah Tbk menyebut pencapaian TINS tidak lepas dari kenaikan volume penjualan logam timah yang naik lebih dari dua kali lipat menjadi 12.553 metrik ton (mt). Nah, kontribusi produk ini, termasuk tin solder mencapai 92,3% dari total pendapatan usaha TINS.
Rupanya, kinerja yang cemerlang berpotensi berlanjut hingga penghabisan 2019. Catatan KONTAN, Manajemen TINS misalnya, optimistis bisa mengukir laba bersih mencapai Rp 1,2 triliun. Artinya, ada kenaikan 125,83% dibanding posisi tahun lalu yang Rp 531,35 miliar.
Sebagai perbandingan, dua sekuritas yakni RHB Sekuritas dan Ciptadana Sekuritas Asia yang sama-sama menerbitkan riset pada 16 Mei 2019 memproyeksikan laba bersih yang lebih tinggi. Andrew Hotama, analis RHB Sekuritas mengestimasi laba bersih TINS pada 2019 mencapai Rp 1,347 triliun. Dus, target pertumbuhannya mencapai 153,51%.
Sementara Thomas Radityo, analis Ciptadana Sekuritas Asia memperkirakan angkanya bisa menembus Rp 1,413 triliun. Walhasil, laba bersih anggota indeks Kompas100 ini, diproyeksikan bakal tumbuh 165,93%.
Ada beberapa faktor yang menjadi kunci pencapaian target. Salah satu yang dominan adalah penegakan hukum terhadap penambangan timah ilegal. Langkah tersebut membuat TINS bisa menampung lebih banyak produksi bijih timah dari tambang rakyat.
Hal ini sudah terlihat dari laporan produksi dan penjualan periode Januari 2019-Maret 2019. Pada tiga bulan pertama 2019, anak usaha PT Inalum (Persero) itu memproduksi bijih timah sekitar 21.600 ton Stannum (Sn). Jumlahnya melonjak 389% yoy.
Dampaknya, produksi logam timah ikut meroket 304% yoy menjadi 16.302 mt. Dus, volume penjualan ekspor logam timah pada periode tersebut melonjak 217% yoy menjadi 12.590 mt.
Target dikerek
Didorong keyakinan bahwa penegakan hukum terhadap penambangan liar bakal terus berlanjut, manajemen TINS pun mengerek target yang sudah disetujui dalam rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP). Semula, ekspor logam timah ditargetkan sebanyak 38.010 mt. Kini, manajemen TINS percaya diri angkanya bisa mencapai 60.000 mt.
Cuma, lonjakan pasokan bijih timah membuat TINS dihadapkan pada persoalan kapasitas produksi. Catatan KONTAN, saat ini TINS memiliki dua smelter yang berlokasi Mentok, Kabulaten Bangka Barat dan Pulau Kundur di Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau. Smelter di Mentok mempunyai kapasitas produksi 42.000 mt per tahun dan smelter di Pulau Kundur berkapasitas 12.000 mt per tahun.
Untuk menambah kemampuan produksi, TINS menambah jumlah tanur di smelter Mentok dari saat ini sebanyak tiga tanur menjadi 4 hingga 5 tanur.
Repotnya, kedua fasilitas produksi tersebut hanya optimal mengolah bijih timah dengan kadar Sn minimal 70%. Pengolahan bijih timah dengan kadar Sn yang lebih rendah akan membeku dan menjadi kerak di tanur.
Dus, manajemen TINS tengah menggeber penyelesaian fasilitas pengolahan terak timah sisa proses peleburan konvensional di smelter. Fasiitas produksi yang menggunakan teknologi fuming itu memiliki kapasitas produksi 8.500 mt per tahun. Targetnya, awal semester II-2019 sistem fuming ini bisa beroperasi.
Upaya berikutnya, kata Riza, adalah menyelesaikan pembangunan smelter dengan teknologi ausmelt yang ditargetkan kelar 2021 mendatang. Fasilitas pengolahan itu akan memiliki kapasitas produksi sebesar 35.000 metrik ton per tahun.
Oh ya, penerapan teknologi ausmelt membuat TINS bisa memproduksi bijih timah dengan kadar Sn rendah menjadi logam timah.
“Kombinasi dari inovasi teknologi yang berkelanjutan, good mining practice untuk mengamankan tambahan cadangan timah, serta perbaikan tata kelola pertimahan yang didukung oleh pemerintah membantu PT TIMAH Tbk untuk mencapai kinerja operasional dan finansial yang menggembirakan,” kata Riza dalam pengumuman kinerja keuangan TINS kuartal I-2019.
Untuk mendukung pencapaian target tersebut, tahun ini TINS mengalokasikan belanja modal sebesar Rp 2,58 triliun. Sebesar Rp 823 miliar diantaranya dialokasikan untuk pengembangan teknologi untuk meningkatkan kapasitas produksi.
Harga timah dunia
Asumsi lonjakan penjualan logam timah TINS mengimbangi tekanan harga timah di pasar internasional. Pada 22 Mei 2019, harga timah di London Metal Exchange (LME) ada di US$ 19.625 per ton.
Harganya melemah ketimbang sehari sebelumnya saat komoditas tersebut diperdagangkan di US$ 19.725 per ton. Pun sejauh ini belum terlihat pertanda harga timah akan kembali berada di atas US$ 20.000 per ton.
Sejak pengujung Februari 2019 harga timah memang terus tertekan. Usai mencapai rekor tertinggi 2019 di US$ 21.805 pada 25 Februari 2019, harga komoditas ini terus berada dalam downtrend. Tekanan berlangsung seiring perang dagang AS versus China.
Segendang sepenarian, harga saham TINS ikut tersungkur. Pada 25 Februari 2019, TINS sempat mencapai rekor harga tertinggi 2019 di Rp 1.605 per saham. Lalu, harganya terus melorot hingga mencapai Rp 1.070 per saham pada 22 Mei 2019.
Faktor perang dagang membuat permintaan China bakal terganggu. Padahal, negeri tirai bambu merupakan pengguna timah terbesar di dunia. Sejatinya, bukan hanya timah, tapi harga semua komoditas tambang bakal tertekan pelemahan ekonomi China.
Faktor penekan harga timah yang lain, kata Ibrahim, adalah ekspor logam timah Indonesia yang kian kencang. Hal ini, lanjut Direktur Utama PT Garuda Berjangka, itu membuat pasokan logam timah di pasar internasional kian bertambah.
Jangan lupa, TINS merupakan pemain utama di industri logam timah dunia. Perusahaan ini merupakan produsen timah terbesar kedua di dunia, di bawah perusahaan pelat merah China, Yunnan Tin. Dengan demikian, kenaikan produksi dan penjualan TINS dalam volume yang signifikan bakal berpengaruh terhadap harga timah.
Daftar Produsen Logam Timah Dunia 2018 | |||
---|---|---|---|
Posisi | Perusahaan | Negara | Produksi (mt) |
1. | Yunnan Tin | China | 77.789 |
2. | PT Timah Tbk | Indonesia | 33.444 |
3. | Malaysia Smelting Corp | Malaysia | 27.086 |
4. | Yunan Chengfeng | China | 22.900 |
5. | Minsur | Peru | 18.345 |
6. | Jiangxi New Nanshan | China | 12.220 |
7. | EM Vinto | Bolivia | 11.369 |
8. | Thaisarco | Thailand | 10.544 |
9. | Metallo | Belgia | 9.328 |
10. | Guangxi China Tin | China | 9.219 |
sumber: International Tin Association |
Harga komoditas tambang, termasuk timah juga tertekan oleh kondisi di eropa. "Persoalan brexit dampaknya cukup luar biasa. Gonjang-ganjing di eropa jadi salah satu penyebab dolar AS terus menguat. Ini membuat harga komoditas tertekan," kata Ibrahim.
Kombinasi faktor-faktor di atas membuat Ibrahim yakin harga timah tahun ini masih akan berada di bawah tekanan. Koreksi harga ke US$ 19.000 per mt masih terbilang wajar.
Malah jika tidak ada perkembangan, tidak menutup kemungkinan bakal kembali ke level US$ 17.000an per mt. Sebaliknya, jika AS dan China bisa menyelesaikan urusan dagangnya, harga timah bisa kembali ke US$ 21.000 per mt.
Namun, Thomas punya sudut pandang lain. Berkaca pada pengalaman 2007 silam, ada harapan harga timah bakal membaik. Pada waktu itu pemberantasan penambangan ilegal juga digelar pemerintah. Nah, harga timah di LME malah meningkat dari US$ 7.800 per ton menjadi US$ 14.000 per ton.
Di sisi lain, pasokan konsentrat dan bijih timah impor, terutama dari Myanmar yang masuk ke China mengalami penurunan. Data International Tin Association, pada Maret 2019 volumenya sebesar 13.056 ton, 92% diantaranya berasal dari Myanmar.
Nah, asosiasi yang dulu bernama International Tin Research Institute, itu memperkirakan timah yang masuk dari Myanmar sejumlah 11.100 ton, anjlok 58% yoy. Hal ini merupakan bagian dari tren penurunan jangka panjang produksi timah Myanmar. Dus, faktor ini mestinya bisa membuat harga timah lebih stabil.
Masih menarik
Singkat cerita, fundamental TINS dinilai masih bisa dibilang baik-baik saja. Plus, proyeksi pertumbuhan kinerja 2019 yang signifikan menjadi nilai tambah emiten ini.
Proyeksi Kinerja Keuangan TINS | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|
Sekuritas | Pendapatan | Laba Bersih | Laba per saham | |||
2018 | 2019 | 2018 | 2019 | 2018 | 2019 | |
RHB Sekuritas | 11.050 | 18,511 | 531 | 1,347 | 71,3 | 181 |
Ciptadana Sekuritas Asia | 19,674 | 1,413 | 189.7 | |||
sumber: riset RHB & Ciptadana |
Maka, saham TINS pun masih menarik untuk dilirik. Thomas merekomendasikan beli saham TINS dengan target harga Rp 2.100 per saham. Sementara yang juga memasang rekomendasi beli, menetapkan target harga lebih tinggi, yakni Rp 2.530 per saham.
Secara teknikal, William Hartanto, analis Panin Sekuritas juga merekomendasikan beli saham TINS. Untuk periode satu bulan ia mematok target harga di Rp 1.250 per saham. Sementara hingga akhir 2019 targetnya di Rp 1.500 per saham.
Proyeksi Valuasi Saham TINS 2019 | ||
---|---|---|
Sekuritas | PER (x) | PBV (x) |
RHB Sekuritas | 5.9 | 1.0 |
Ciptadana Sekuritas Asia | 5.9 | 1.1 |
sumber: riset RHB & Ciptadana |