Harus Tumbuh di Atas 7%, Target Investasi Pada 2020 Terlalu Berat

Senin, 17 Juni 2019 | 09:26 WIB
Harus Tumbuh di Atas 7%, Target Investasi Pada 2020 Terlalu Berat
[]
Reporter: Grace Olivia | Editor: A.Herry Prasetyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah memasang target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3%–5,6% dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal dalam rangka penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2020.

Angka ini terlalu optimistis di tengah kondisi perekonomian domestik dan global yang lesu. Untuk mencapai angka pertumbuhan itu, investasi alias Pembentukan Modal Tetap Bruto (PDB) harus tumbuh 7%–7,4% year on year (yoy). Artinya, dibutuhkan investasi mencapai sebesar Rp 5.802,6 triliun hingga Rp 5.823,2 triliun pada tahun depan.

"Komposisi dari pelaku investasi berasal dari pemerintah, BUMN, perusahaan non BUMN, PMA (penanaman modal asing), dan pure dari sisi private (swasta)," kata kata Menteri Keuangan Sri Mulyani pekan lalu. Adapun harapan porsi terbesar investasi tahun depan berasal dari sektor swasta dan masyarakat (lihat tabel).

Namun, ekonom menilai target pertumbuhan investasi di atas 7% yoy per tahun pada tahun depan kurang realistis. Apalagi, realisasi investasi belakangan ini justru mencatatkan pertumbuhan yang lambat.

Dari data Badan Pusat Statistik (BPS), PMTB pada kuartal pertama tahun ini hanya tumbuh 5,03% yoy, jauh lebih lambat dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2018 yang masih bisa mencapai angka 7,94% yoy.

Setidaknya, ada tiga hal yang akan mempengaruhi kinerja investasi di tahun depan. Pertama, perlambatan ekonomi global dan perang dagang yang belum mereda di tahun depan. Ini akan mempengaruhi investasi, termasuk asing langsung alias foreign direct investment (FDI).

"Tahun depan ada pemilu AS (Amerika serikat). Dikhawatirkan Presiden AS Donald Trump menggunakan trade war sebagai senjata politik. Jadi, kondisi bisa saja mengalami eskalasi, tidak mereda dalam waktu dekat dan berpengaruh ke keputusan investasi," kata Ekonom Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, Minggu (16/6).

Kedua, investasi yang berasal dari belanja modal pemerintah pada tahun depan juga sulit digenjot lebih tinggi lagi. Ini karena prospek penerimaan pajak terbilang berat. Akibatnya, defisit anggaran berpotensi semakin melebar.

Ketiga, investasi dalam negeri, khususnya oleh BUMN juga masih berat untuk tumbuh. Sebab, ruang ekspansi investasi BUMN semakin mengecil. Sehingga porsi investasi dari BUMN tak lagi mampu menyamai porsi pada tahun-tahun sebelumnya.

Menurut Bhima, kontribusi investasi BUMN bergantung pada strategi masing-masing entitas apakah akan tetap memacu proyek-proyek infrastrukturnya tahun depan. Pasalnya, rasio utang BUMN pun telah meningkat pesat selama lima tahun terakhir. Belum lagi, masih ada risiko pendanaan BUMN naik.

Sebab itu, Bhima memperkirakan pertumbuhan investasi di tahun 2020 masih akan melambat. Menurutnya pertumbuhan PMTB sebesar 5%–6% yoy sudah cukup bagus bagi Indonesia tahun depan.

Hitungan Bhima, jika PMTB tahun depan bisa tumbuh sekitar 5%–6% yoy, maka kebutuhan investasi yang diperlukan sekitar Rp 5.382 triliun. Angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan proyeksi kebutuhan investasi tahun 2019 yang sebesar Rp 5.277 triliun.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal juga sependapat, target investasi yang ditetapkan pemerintah tahun depan terlalu besar. Apalagi, realisasi PMTB 2018 hanya sebesar Rp 3.444 triliun.

"Artinya perlu tambahan sekitar Rp 2.400 triliun lagi dari tahun lalu. Padahal tambahan PMTB di 2018 hanya Rp 215 triliun dibandingkan tahun sebelumnya," kata Faisal kepada KONTAN.

Sumber investasi memang mesti mengandalkan sektor swasta dan masyarakat karena anggaran pemerintah 2020 sangat terbatas. Meskipun anggaran pemerintah tipis, ia juga tak yakin target pemerintah tahun depan tersebut bisa terpenuhi di tengah perlambatan ekonomi global yang menhan investasi asing.

Sebelumnya, mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyebut, upaya mendorong investasi tidak gampang. Sebab, ada masalah principal agent problem antara pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah pusat tidak bisa mengontrol pemda sehingga timbul banyak aturan penghambat investasi.

Karena itu menurut Chatib, perlu skema insentif kepada daerah yang bisa menjaga iklim investasi, dengan memanfaatkan dana lokasi khusus.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Suahasil Nazara mengakui, kemampuan pemerintah pusat tak akan kuat mendorong pertumbuhan investasi dan ekonomi secara pesat di 2020. Ia berharap swasta dan masyarakat terpacu terhadap pemenuhan kebutuhan investasi tersebut seiring dengan perbaikan iklim investasi dan pendalaman pasar keuangan dalam negeri.

Bagikan

Berita Terbaru

Sagu Sampai Silika Digadang Masuk RPJMN, Sudah Digarap CUAN, Sinarmas, dan Sampoerna
| Senin, 04 November 2024 | 11:20 WIB

Sagu Sampai Silika Digadang Masuk RPJMN, Sudah Digarap CUAN, Sinarmas, dan Sampoerna

Para taipan besar lewat sejumlah emiten yang dimilikinya sudah lebih dulu masuk ke komoditas yang diusulkan masuk RPJMN 2025-2029.

Melancong Backpacker Melalui Jalur Komunitas
| Senin, 04 November 2024 | 10:32 WIB

Melancong Backpacker Melalui Jalur Komunitas

Liburan mandiri alias backpacker masih ramai peminat. Mereka berkumpul lewat komunitas sambil berbagi informasi dan trip saat berlibur.

Tetap Dulang Laba saat Kondisi Ekonomi Menantang
| Senin, 04 November 2024 | 10:27 WIB

Tetap Dulang Laba saat Kondisi Ekonomi Menantang

Pendapatan bunga masih menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan laba bank. Untuk itu, pendapatan bunga berpengaruh besar terhadap laba.

Daya Beli Turun, Wisata Jalan Terus
| Senin, 04 November 2024 | 10:22 WIB

Daya Beli Turun, Wisata Jalan Terus

Di tengah penurunan daya beli, masyarakat masih riuh berburu promosi produk wisata. OTA berusaha menangkap peluang jelang akhir tahun ini.

Menanti Penerbitan Obligasi Daerah di Era Pemerintahan Prabowo
| Senin, 04 November 2024 | 09:25 WIB

Menanti Penerbitan Obligasi Daerah di Era Pemerintahan Prabowo

Obligasi daerah sebagai instrumen baru diyakini memiliki nilai yang sangat strategis. Selayaknya pemerintah pusat proaktif.

Diborong Deutsche Bank hingga Goldman Sachs, Analis Kompak Rekomendasi Buy Saham BMRI
| Senin, 04 November 2024 | 08:45 WIB

Diborong Deutsche Bank hingga Goldman Sachs, Analis Kompak Rekomendasi Buy Saham BMRI

Tak lama setelah laporan keuangan BMRI per kuartal III-2024 dirilis, para analis kompak memberikan rekomendasi beli BMRI.

Banyak Pabrik Tutup, Utilisasi Industri Tekstil Makin Redup
| Senin, 04 November 2024 | 07:50 WIB

Banyak Pabrik Tutup, Utilisasi Industri Tekstil Makin Redup

Tingkat utilisasi industri hulu TPT tinggal 40% akibat maraknya gempuran produk impor dan pelemahan daya beli.

Akuisisi Aset Migas Topang Kinerja ENRG
| Senin, 04 November 2024 | 07:45 WIB

Akuisisi Aset Migas Topang Kinerja ENRG

Peningkatan produksi minyak dan rata-rata harga jual migas yang lebih baik menopang kinerja selama sembilan bulan pertama tahun ini.

APLN Memacu Kinerja Hingga Akhir Tahun
| Senin, 04 November 2024 | 07:35 WIB

APLN Memacu Kinerja Hingga Akhir Tahun

Dari lini bisnis properti, APLN membukukan perolehan marketing sales sebesar Rp 1,37 triliun per September 2024.

Masih Ada Risiko, BPK Minta BI Evaluasi dan Sempurnakan BI-FAST
| Senin, 04 November 2024 | 07:34 WIB

Masih Ada Risiko, BPK Minta BI Evaluasi dan Sempurnakan BI-FAST

Transaksi menggunakan BI-FAST tumbuh pesat, pada kuartal III-2024 mencapai 924,89 juta transaksi, naik 61,10%.

INDEKS BERITA

Terpopuler