Hemat Anggaran Demi Bayar Utang Politik

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Janji adalah utang. Itulah prinsip yang tampaknya dipegang teguh oleh Presiden Prabowo Subianto ketika memutuskan untuk merealisasikan program makan gratis, salah satu janji politik utamanya. Program ini ditujukan bagi anak-anak PAUD, SD, SMP, SMA, serta ibu hamil dan menyusui dengan harapan dapat meningkatkan gizi masyarakat sekaligus menekan angka stunting.
Namun, di balik ambisi besar ini, ada satu pertanyaan mendasar: apakah negara bisa membiayainya?
Pemerintah semula mengalokasikan Rp 71 triliun untuk membiayai program ini. Namun, dengan jumlah penerima manfaat yang mencapai 80 juta orang, angka tersebut dinilai masih jauh dari cukup. Untuk menutup kekurangan, pemerintahan Prabowo memutuskan memangkas anggaran hingga Rp 256,1 triliun dari berbagai pos belanja 2025.
Kebijakan ini tentu menimbulkan implikasi luas. Pemangkasan anggaran sebesar itu bukan jumlah yang kecil, bahkan lebih besar dibandingkan belanja subsidi energi dalam RAPBN 2025 yang berkisar Rp 186,9 triliun. Pertanyaannya, dari mana saja dana yang dipangkas? Apakah sektor-sektor vital lain seperti kesehatan, pendidikan, atau infrastruktur ikut dikorbankan?
Dalam jangka panjang, program makan gratis bisa berkontribusi pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam jangka pendek, realokasi anggaran yang besar dapat menekan sektor-sektor lain dan menghambat laju pembangunan.
Di sisi lain, anggaran yang tersedot ke program ini dapat mengurangi belanja produktif lainnya, seperti infrastruktur dan investasi sektor riil. Efeknya bisa beragam: daya beli mungkin terdongkrak dalam jangka pendek, tetapi pertumbuhan ekonomi bisa melambat jika investasi publik susut.
Ada pula pertanyaan besar soal efektivitas program ini dalam memperbaiki ketimpangan ekonomi. Jika program makan gratis ini dikelola secara sentralistik, ada risiko distribusi yang tidak merata. Kita tidak ingin melihat daerah-daerah tertentu mendapatkan manfaat lebih besar, sementara daerah lain tertinggal karena keterbatasan logistik dan pengawasan.
Jika dikelola dengan baik, program ini bisa berkontribusi menurunkan rasio gini dan mempersempit ketimpangan. Tapi, jika pelaksanaannya tidak optimal dan hanya tersentralisasi di kota besar justru memperburuk ketimpangan. Meskipun janji itu utang memenuhi tanpa perhitungan bisa fatal akibatnya.