Jerat Pengangguran

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jelang 1 tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, kita bisa mulai melihat bagaimana perkembangan kesejahteraan ada di negeri ini.
Banyak orang melihat kondisi negeri makin memprihatinkan, tapi ada juga yang optimistis. Pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 yang mendadak jadi 5,2%, angka kemiskinan turun, dan IHSG terus mencetak rekor jadi dasar optimismenya.
Kembali kita melihat pandangan berseberangan. Sayangnya, kita akan sulit melihat dengan objektif, apalagi angka statistik atau indikator yang biasanya jadi tolok ukur mulai "digoyang" kepentingan.
Indonesia Emas di tahun 2045 yang digadang-gadang akan jadi bukti keunggulan Indonesia, negara dengan subsidi demografi yang besar, yaitu 70% penduduk berusia produktif, bisa menjadi anti klimaks. Apa jadinya penduduk usia produktif sebesar itu kalau menganggur?
Per Februari 2025, Tingkat Pengangguran Terbuka, lulusan SMK mencapai 9,01%, tertinggi di antara jenjang pendidikan lainnya. Agak ironi, pendidikan yang seharusnya paling banyak mendapatkan pekerjaan, justru menciptakan pengangguran paling besar.
Sebenarnya ada beberapa program pemerintah untuk mengatasi pengangguran, yaitu: Kartu Pra Kerja yang telah berjalan sejak 2020, dan Magang Nasional Kemenaker 2025 yang baru saja diluncurkan.
Kartu Pra Kerja, dengan skalabilitas masif menjangkau 18,9 juta penerima, unggul dalam inklusi digital dan reskilling dasar. Studi awal menunjukkan dampak positif, namun hasil jangka panjangnya rapuh. Survei Komite Cipta Kerja mencatat 60% alumninya kembali menganggur setahun pasca program.
Magang Nasional Kemenaker 2025 menawarkan solusi yang lebih baik: work-based learning, yang secara empiris terbukti signifikan menekan risiko pengangguran terdidik. Program ini menjanjikan pembayaran setara Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang disubsidi APBN.
Namun, desain pendanaannya mengandung risiko moral tinggi. Program ini dikritik serikat buruh sebagai upah rendah bagi sarjana. Dan yang lebih fatal, menciptakan insentif bagi perusahaan untuk mensubstitusi karyawan entry-level permanen dengan intern bersubsidi. Magang Nasional berisiko hanya menjadi subsidi operasional, bukan pencipta pekerjaan.
Tanpa reformasi struktural agresif dari sisi permintaan, yang bisa mendorong investasi domestik dan asing, program ini hanya menghasilkan antrean panjang pencari kerja yang semakin terampil.