KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gelisah. Itulah yang jajaran petinggi Kementerian Perindustrian (Kemperin) rasakan saat menyaksikan kinerja industri manufaktur yang terus merosot. Bagi kementerian yang menaungi sektor tersebut, kinerja industri pengolahan yang terus menyusut tak bisa dibiarkan.
Semua upaya sedang kami siapkan dan perbaiki, kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemperin Haris Munandar.
Keresahan sama juga Bambang P.S. Brodjonegoro, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas. Ia prihatin melihat kinerja sektor manufaktur yang sejak krisis moneter 1998 tumbuh di bawah angka pertumbuhan ekonomi nasional.
Ini kenapa, pertumbuhan ekonomi negara kita sulit ke atas 5%. Karena, sektor manufaktur yang notabene memiliki kontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional saja hanya tumbuh sekitar 4%, jelas Bambang.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi manufaktur besar dan sedang sepanjang 2018 cuma tumbuh 4,07%, melambat dibanding dengan 2017 yang mencapai 4,74%.
Perlambatan pertumbuhan manufaktur itu sejalan dengan kinerja investasi. Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi investasi manufaktur tahun lalu hanya sebesar Rp 222,3 triliun. Angka ini merosot 19% ketimbang tahun sebelumnya yang mencapai Rp 274,7 triliun.
Kementerian PPN/Bappenas sendiri telah menggandeng Bank Pembangunan Asia (ADB) untuk memetakan kebijakan guna mendukung pembangunan sektor manufaktur kita selama 20202024. Rancangan kebijakan tersebut sepenuhnya ditujukan untuk memacu sektor manufaktur nasional.
Salah satu fokus kebijakan itu adalah memperkuat program vokasi. Sehingga, bisa meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia sesuai kebutuhan dunia industri di tanah air saat ini.
Untuk itu, Kemperin menganggarkan dana hingga Rp 1,78 triliun untuk program pendidikan vokasi industri di sekolah menengah kejuruan (SMK). Program ini untuk mengantisipasi era Industri 4.0.
Menurut Haris, semua itu merupakan bagian dari terobosan yang pemerintah siapkan guna menggenjot sektor manufaktur dalam negeri. Program vokasi juga sejalan dengan Roadmap Making Indonesia 4.0 sebagai kesiapan memasuki era Revolusi Industri ke-4.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menambahkan, saat ini Kemperin sedang fokus menggenjot investasi di lima sektor yang menjadi prioritas dalam Making Indonesia 4.0. Kelima sektor tersebut adalah industri makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, dan elektronika.
Hilirisasi industri
Di sektor industri kimia, misalnya, tahun ini Kemperin serius mendongkrak nilai investasi di bidang farmasi. Sektor ini memang diprediksi akan terus tumbuh menyusul Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dengan penerima manfaat sebanyak 217 juta orang.
Tentu, health service menjadi tinggi, sehingga industri farmasi plus industri alat-alat kesehatan juga akan banyak dibutuhkan, imbuh Airlangga.
Sementara di sektor otomotif, tahun ini rencananya ada dua perusahaan skala global yang ingin menggelontor dananya di Indonesia. Dua perusahaan dari Eropa dan Asia itu bakal berinvestasi total sebesar US$ 900 juta, setara Rp 12,6 triliun.
Mereka akan mendirikan pabrik yang produksinya disalurkan sebanyak 50% untuk pasar ekspor dan 50% sisanya untuk pasar domestik, imbuh Airlangga. Masuknya dua perusahaan ini akan meningkatkan kapasitas industri otomotif di tanah air, yang ditargetkan mampu memproduksi mobil dua juta unit per tahun.
Menurut Airlangga, dua investor tersebut akan masuk ke industri otomotif teknologi tinggi, dengan mengembangkan produksi mobil listrik. Ini sejalan upaya pemerintah yang mendorong pabrikan otomotif di dalam negeri untuk mengembangkan kendaraan rendah emisi atawa low carbon emission vehicle (LCEV). Masuknya investor ini bisa mendukung target kita di 2025 nanti, bahwa 20% adalah kendaraan listrik, ucap Airlangga.
Sektor lain yang juga turut dipacu adalah industri pulp dan kertas serta baja. Guna mendorong investasi di beberapa sektor industri tersebut, pemerintah terus berupaya menjaga ketersediaan bahan baku serta pasokan energi dengan harga jual yang kompetitif. Ini tentu mendukung keberlangsungan terhadap aktivitas industrialisasi, tambah Airlangga.
Menteri perindustrian menambahkan, kementeriannya juga fokus mendorong kebijakan hilirisasi industri guna memberikan efek berantai yang luas bagi perekonomian nasional. Misalnya, peningkatan pada nilai tambah bahan baku dalam negeri, penyerapan tenaga kerja lokal, serta penerimaan devisa dari ekspor dan pajak.
Hilirisasi industri didorong sekaligus untuk memperkuat dan memperdalam struktur manufaktur di Tanah Air. Makanya, diperlukan investasi baru ataupun ekspansi dari industri eksisting untuk melengkapi rantai nilai di industri manufaktur nasional, tutur dia.
Menurut Harris, guna mendorong peningkatan investasi di industri manufaktur, perlu instrumen kebijakan yang bisa menarik atau menggairahkan penanaman modal di negara kita. Maka itu, lanjutnya, pemerintah terus berkomitmen menciptakan iklim investasi yang kondusif. Contoh, melalui pemberian insentif fiskal, kemudahan perizinan usaha melalui penerapan Online Single Submission(OSS), dan pemilihan komoditas unggulan. Selain juga, melakukan perbaikan sistem logistik serta penyederhanaan prosedur ekspor.
Namun, Haris mengakui, penerapan di lapangan masih banyak hambatan. Pelaksanaan OSS, sebut saja, masih terkendala kesiapan infrastruktur dan belum terintegrasi berupa peraturan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Itu yang sekarang kami kaji ulang dan terus perbaiki secara lintas kementerian, ujarnya.
Dengan harapan, sinkronisasi tersebut bisa membantu penerapan OSS supaya bisa mengakomodasi kepentingan semua pihak. Sebab, pelaksanaan regulasi di Indonesia memberlakukan mekanisme desentralisasi, sehingga otoritas OSS yang dipegang pemerintah pusat dapat bertentangan dengan beberapa regulasi perizinan yang dikeluarkan oleh daerah.
Perbaikan koordinasi tidak hanya lintas kementerian, juga antarkementerian dan pemerintah daerah sehingga tercipta kesamaan visi antara pusat dan daerah, imbuh Haris.
Yang juga penting adalah memperbesar pangsa pasar domestik industri manufaktur nasional. Ambil contoh, dengan memaksimalkan penyerapan produk dalam negeri. Kata Haris, pemerintah fokus memaksimalkan sekitar 30% belanja modal dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk menyerap produk lokal. Sementara masyarakat juga kami dorong untuk terus menggunakan produk dalam negeri, cetusnya.
Genjot ekspor
Susiwijono, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, menambahkan, strategi lain menarik investasi manufaktur ialah dengan mendorong ekspor. Ada sederet kebijakan yang pemerintah siapkan guna memacu ekspor.
Pertama, penentuan sektor atau komoditas ekspor unggulan. Nah, selain sektor prioritas yang masuk dalam Making Indonesia 4.0, pemerintah juga akan menggenjot ekspor non 4.0 yang terdiri dari industri perikanan, permesinan umum, dan sektor lain, seperti produk kayu, karet, furnitur.
Kedua, melakukan perluasan akses pasar dan tarif preferensi, seperti free trade area (FTA) dan generalized system of preferences (GSP), serta penetrasi negara tujuan ekspor baru.
Ketiga, pemberian fasilitas insentif fiskal dan kemudahan dalam pembiayaan ekspor.
Keempat, melakukan simplifikasi prosedur ekspor. Kebijakan ini untuk menurunkan biaya dan waktu proses ekspor.
Kendati banyak upaya ekstra pemerintah, banyak kalangan menilai, dalam kondisi sekarang tetap sulit mendongkrak kinerja sektor manufaktur. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Kebijakan Moneter, Fiskal, dan Publik, Raden Pardede mengatakan, sektor manufaktur sulit ekspansif karena ekonomi global tahun ini akan tumbuh melambat. Lalu, perang dagang juga turut berimplikasi menurunkan permintaan ekspor impor.
Raden pesimistis bisa mencapai target pertumbuhan industri manufaktur sebesar 5,4% tahun ini. Kecuali, pemerintah melakukan reformasibesar-besaran. Tapi, tumbuh 5,4% juga sangat signifikan karena dari 4,4%. Sama dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kalau manufaktur tumbuh 5,4%, pertumbuhan ekonomi seharusnya 6%. Dan belum mungkin tahun ini tumbuh 6%, jelas Raden.
Bhima Yudhistira, Ekonom Indef berpendapat sama. Tahun ini industri manufaktur dalam negeri menghadapi tantangan yang berat, ujar dia.
Ujian buat berbagai jurus pemerintah untuk menggairahkan industri manufaktur.