KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengusulkan kenaikan harga rumah subsidi berkisar 3%-7,75%. Usulan kenaikan itu merujuk ke peningkatan harga tanah, bahan bangunan dan upah pekerja.
"Usulan sudah disampaikan ke Kementerian Keuangan, sekarang masih dalam tahap pembahasan," ujar Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Khalawi Abdul Hamid. Ia menuturkan, ada beberapa pertimbangan dalam usulan kenaikan harga rumah subsidi tersebut.
Pertama, harga tanah terus mengalami kenaikan. Kedua, biaya produksi seperti harga bahan bangunan dan upah pekerja terus mengalami tren kenaikan. Karena itu, kenaikan harga di setiap daerah akan berbeda-beda. Hal ini juga mempertimbangkan tingkat keterjangkauan masyarakat. Rencananya, kenaikan harga akan dibagi dalam sembilan wilayah, dengan persentase kenaikan yang berbeda-beda. Usulan kenaikan tertinggi ada di wilayah Kalimantan, sebesar 7,75%.
Dari usulan tersebut, selanjutnya, Kementerian Keuangan akan menetapkan, lewat Peraturan Menteri Keuangan. Penetapan kenaikan harga ini juga menyesuaikan dengan alokasi subsidi yang disiapkan oleh pemerintah di anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Khalawi menegaskan, kenaikan ini hanya untuk tahun 2019. Untuk penetapan harga tahunan (2020-2024) akan dikaji dan dibahas kembali.
Pengembang properti belum ada yang menanggapi rencana ini. Ali Tranghanda Properti Watch berpendapat, kenaikan harga rumah bersubsidi harus dilakukan agar penyesuaian kondisi terkini. Ia mengingatkan, kenaikan harus memperhatikan daya beli masyarakat. "Kalau mengacu daya beli, seharusnya hanya naik sekitar 5%," ujar dia. Alasannya, pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini hanya sekitar 5%, yang berarti daya beli masyarakat juga hanya tumbuh di kisaran angka itu.
Kenaikan harga ia nilai juga tak lantas menjadi insentif bagi industri properti. "Kalau mau memberi insentif, beri saja kemudahan," tambah Ali. Kemudahan meliputi perizinan, hingga pembebasan lahan.