Kempar: Dikepung Banyak Pungutan Pajak, Bisnis Pondok Wisata Sulit Berkembang
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Minat masyarakat untuk merintis bisnis pondok wisata masih terganjal oleh banyaknya pajak yang mengintai. Pemilik homestay harus membayar lima jenis pajak, baik yang dipungut oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Hasil kajian Guru Besar Ilmu Kebijakan Perpajakan Universitas Indonesia Haula Rosdiana, ada empat jenis pajak daerah yang harus dibayar pebisnis homestay.
Pertama pajak hotel sebesar 10% dari penghasilan, kedua Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) lalu ketiga pajak penerangan jalan, keempat pajak air tanah. Masalah lain adakah pajak penghasilan (PPh) badan usaha ke pusat.
Banyaknya pungutan pajak ini juga dikeluhkan Ketua Tim Percepatan Pengembangan Homestay Desa Wisata Kementerian Pariwisata (Kempar) Anneke Prasyanti. Ia menyebut pajak berganda ini sebagai bentuk ketidakadilan terhadap pelaku usaha homestay. Apalagi tarif pajak daerah berbeda-beda.
Selain harus membayar beragam pajak yang besar "Ada juga petugas yang nakal," ujar Anneke dalam Focus Group Discussion tentang Kebijakan Perpajakan Homestay Desa Wisata, Rabu (20/2).
Ia berharap perlakuan pajak berganda ini dihapus. Apalagi Kempar menargetkan 10.000 unit kamar homestay desa wisata pada tahun 2019 bentuk mendukung industri pariwisata nasional.
Akhir 2018 lalu, Kempar meluncurkan program percepatan pengembangan pondok wisata atau homestay desa wisata. Di pulau Jawa, Kempar memilih dua lokasi proyek percontohan, yakni di Desa Nglanggeran di Gunungkidul, Yogyakarta dan Desa Wisata Samiran, Boyolali, Jawa Tengah.
Kempar menyebut program ini untuk mendukung tercapainya target 20 juta kunjungan wisatawan manca negara dan 275 juta perjalanan wisatawan nusantara tahun 2019.
Agar program mendorong pembangunan usaha homestay ini berhasil, Haula menyarankan pemerintah harus memberikan insentif pajak langsung mapun tidak langsung untuk bisnis homestay ini agar berkembang. Pemda bisa membuat aturan terkait leveling tarif pajak hotel, sehingga setiap homestay memiliki tanggungan berbeda-beda. Pemda juga bisa mengurangi PBB P2.
Sementara, menurut Kepala Sub Direktorat Peraturan PPh Badan Ditjen Pajak Wahyu Santosa, pajak yang dikenakan kepada pelaku usaha homestay adalah pajak penghasilan (PPh). Ia menyebut, kalau omzet bisnis homestay lebih dari Rp 4,8 miliar per tahun kena tarif PPh normal 25%. Namun, kalau omzet di bawah Rp 4,8 miliar, mereka bisa memilih tarif normal atau tarif pajak final sebesar 0,5 % untuk usaha kecil dan menengah.