Kenaikan Utang Paylater, Cara Capat Menambal Daya Beli

Senin, 29 September 2025 | 07:53 WIB
Kenaikan Utang Paylater, Cara Capat Menambal Daya Beli
[ILUSTRASI. Konsumen berbelanja menggunakan Buy Now Pay Later (BNPL) di sebuah gerai fesyen di Depok, Jawa Barat, Selasa (25/3). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan bahwa piutang pembiayaan BNPL mencapai Rp 7,12 triliun pada Januari 2025, tumbuh 41,9% secara tahunan. (KONTAN/Baihaki)]
Reporter: Amalia Nur Fitri | Editor: Yuwono Triatmodjo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) belum lama ini melaporkan porsi debet kredit layanan buy now pay later (paylater) yang disalurkan bank per Juli 2025 melonjak 33,56% secara tahunan atau year on yaer (YoY). Dengan pertumbuhan tersebut, kini baki debet kredit paylater telah mencapai Rp 24,05 triliun.

Nilai tersebut telah tumbuh dibandingkan bulan sebelumnya yang baru senilai Rp 22,99 triliun. Kala itu pertumbuhannya hanya mencapai 29,75% YoY. Jika dilihat secara nilai, memang porsi kredit paylater perbankan masih terbilang kecil dari total kredit perbankan mencapai Rp 8.043 triliun. Adapun, total baki debet dari kredit paylater ini baru sebesar 0,3%  dari total kredit perbankan.

Dari sisi pengguna, OJK mencatat jumlah rekening paylater perbankan telah mencapai 28,25 juta per Juli 2025. Sebagai perbandingan, pada bulan sebelumnya jumlah rekening paylater di perbankan tercatat 26,96 juta.

Kepala Eksekutif Pengawas perbankan OJK Dian Ediana Rae menyampaikan bahwa kredit paylater ini memang lebih banyak digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Menurutnya, kebutuhan kredit konsumtif merupakan skala kecil yang dibutuhkan dengan fleksibilitas tinggi.

"Saat ini tujuan nasabah menggunakan paylater memang adalah untuk mengatur keuangan pribadinya. Jadi, sebenarnya nasabah bisa melunasi pembayaran tetapi untuk menjaga cashflow, nasabah memilih untuk membayar dengan metode paylater," tutur Dian.

Lebih lanjut, jumlah rekening paylater naik dari 26,96 juta rekening pada Juli 2025, menjadi 28,25 juta rekening per September 2025. Artinya, ada kenaikan sebesar 1,29 juta rekening baru yang menarik utang di paylater dalam dua bulan.

PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) tidak menampik bahwa memang animo masyarakat terhadap layanan paylater cukup tinggi. Hal ini dilihatnya melalui layanan paylater BCA yang bertumbuh sudah mencapai 182.000 nasabah per Juli 2025, sejak diluncurkan pada Oktober 2023.

Jumlah tersebut naik 43% YoY dibandingkan dengan Juli 2024. Sedangkan hingga Juli 2025, outstanding paylater BCA sudah mencapai 364 miliar atau naik 25% YoY.

"Paylater BCA hadir untuk memberikan layanan pembayaran yang fleksibel serta memastikan keuangan nasabah tetap terkelola dengan baik. Paylater BCA dapat digunakan untuk transaksi dengan menggunakan QRIS, dan pengajuannya dilakukan melalui aplikasi myBCA," ujar Hera F. Haryn EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA kepada KONTAN.

Bank BCA enggan membuka lebih jauh mengenai profil serta kelompok usia nasabah paylater BCA. Namun demikian, Perseroan melihat bahwa masing-masing produk memiliki karakteristik dan segmen pasar yang berbeda.

"Paylater cenderung digunakan untuk kebutuhan transaksi bernilai relatif kecil dengan tenor pendek," imbuhnya.

Senada, Presiden Direktur PT Akulaku Finance Indonesia Perry Barman Slangor juga melihat antusiasme masyarakat terhadap layanan paylater sehingga Perusahaan mencatat adanya pertumbuhan pembiayaan pada produk paylater

"Secara keseluruhan pada semester pertama, pertumbuhannya positif, bertumbuh jauh dari rata-rata Industri pembiayaan pada produk non BNPL," papar Perry.

Akulaku tidak membuka angka pertumbuhan nasabah yang memakai jasa BNPL-nya. Pihaknya mengungkapkan bahwa kinerja pembiayaan BNPL Akulaku Finance Indonesia masih berada di jalur yang telah ditetapkan sesuai target tahun ini. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, pembiayaan baru juga mengalami pertumbuhan yang sesuai target yang diharapkan.

Perry menyinggung bahwa sebagian besar pengguna layanan paylater Akulaku berasal dari kelompok usia produktif yang akrab dengan layanan keuangan digital. "Mereka aktif dalam kegiatan ekonomi daring dan memiliki kebutuhan terhadap solusi pembiayaan fleksibel, cepat, dan mudah diakses melalui platform digital," tambahnya.

Melihat animo yang baik Hera dan Perry optimistis bahwa layanan paylater serta layanan pembiayaan digital akan terus berkembang di Indonesia, terutama dengan semakin meningkatnya adopsi transaksi digital.

PT Pefindo Biro Kredit (IdScore) pernah memproyeksi pertumbuhan paylater bisa mencapai 30% pada Desember 2025. Pesatnya pertumbuhan paylater nasional tak terlepas dari pertumbuhan paylater dari bank umum.

IdScore mencatat, pertumbuhan tahun ke tahun paylater dari bank umum ialah 68,24%. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahun ke tahun tahun paylater dari fintech yang hanya 13%.

Direktur Utama IdScore Tan Glant Saputrahadi memaparkan bahwa paylater bisa tumbuh pesat berkat agresifnya bank umum untuk ekspansi di produk paylater ini sebab bank sudah memiliki kekuatan dana.

"Cost of fund lebih murah dibanding paylater-paylater pada umumnya,” papar Tan Glant Saputrahadi.

IdScore juga mengungkapkan bahwa kredit bermasalah alias non performing loan (NPL) di segmen konsumen menunjukkan tren peningkatan yang konsisten, mencapai 2,90% pada April 2025.

Fenomena ini terjadi di tengah melemahnya daya beli masyarakat, dengan inflasi yang meningkat namun upah riil mengalami penurunan. Kredit konsumsi, yang berkontribusi sepertiga dari total kredit nasional dan masih tumbuh 7,98% secara tahunan, menjadi sorotan utama karena rasio NPL-nya terus memburuk sejak akhir tahun.

Beberapa faktor pemicu terkuak, termasuk biaya pinjaman yang tinggi akibat suku bunga, tekanan pendapatan bersih, serta pertumbuhan pesat paylater dan pinjaman digital tanpa agunan yang membuat tumpukan cicilan.

Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa peningkatan NPL ini memberikan dampak yang berbeda pada setiap generasi. Generasi Z menjadi yang paling terdampak dengan rasio NPL sebesar 3,33%, diikuti oleh generasi milenial (3,04%), Gen X (2,95%), dan baby boomers (2,51%).

"Data ini mengindikasikan perlunya perhatian khusus terhadap kesehatan finansial generasi muda. Selain itu, peningkatan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang hampir tiga kali lipat pada Februari 2025 dibandingkan tahun sebelumnya turut memperparah kondisi," ucapnya.

Antusiasme masyarakat terhadap layanan paylater memang menjadi bensin pertumbuhan penarikan utang. Namun, hal ini juga menyimpan sebuah alarm bahwa ada potensi tekanan daya beli masyarakat.

Ekonom sekaligus Peneliti CORE (Center of Reform on Economics), Yusuf Rendy Manilet menjabarkan bahwa di satu sisi, pertumbuhan baki debet dan penambahan lebih dari satu juta rekening baru dalam dua bulan terakhir jelas menunjukkan bahwa ekosistem keuangan digital sedang berada dalam fase ekspansi cepat.

Hal tersebut menggambarkan adopsi paylater yang terintegrasi dengan e-commerce, dompet digital, serta sistem pembayaran QRIS mencerminkan transformasi perilaku konsumen dan merchant yang semakin terbiasa dengan kanal digital.

Hal ini sejalan dengan pertumbuhan pesat transaksi non-tunai seperti QRIS dan e-money yang dilaporkan Bank Indonesia, serta meningkatnya jumlah merchant UMKM yang menerima pembayaran digital.

"Namun, kita juga tidak bisa menutup mata bahwa di balik euforia pertumbuhan tersebut terdapat potensi sinyal tekanan daya beli masyarakat," ucap Yusuf kepada KONTAN.

Dia melanjutkan, sebagian rumah tangga, khususnya di segmen berpendapatan rendah, bisa jadi memanfaatkan paylater bukan semata untuk kenyamanan, melainkan sebagai jalan pintas memenuhi kebutuhan konsumsi ketika pendapatan rutin tidak cukup.

Data upah riil yang tumbuh terbatas serta adanya peningkatan risiko pembiayaan bermasalah pada beberapa produk paylater, memperkuat indikasi bahwa penggunaan paylater pada segmen tertentu lebih dekat pada upaya “menambal” daya beli ketimbang ekspresi konsumsi aspiratif.

Asal tahu saja, dalam riset berjudul ”Macroeconomics Analysis Series: Indonesia Economic Outlook Q3–2025” yang dirilis oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menjabarkan bahwa selama periode 2017–2024, pertumbuhan upah riil hanya berkisar 0,6% per tahun.

Pada periode 2008-2016, pertumbuhan upah meningkat menjadi rata-rata 6,3% per tahun. Sementara, PDB tumbuh rata-rata 5,6 % per tahun. Namun, tren ini berbalik pada periode 2017–2024. Saat itu, pertumbuhan upah riil turun menjadi hanya 0,6 % per tahun, jauh di bawah tingkat pertumbuhan PDB sekitar 4,0 %.

Angka ini di bawah pertumbuhan produk domestik bruto sekitar 4,0%. Periode stagnasi upah riil tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan pendapatan yang lemah telah mengikis mobilitas sosial dan ketahanan rumah tangga. 



Bila dikaitkan dengan pertumbuhan paylater, maka ekspansinya bisa bermakna dual atau ganda, di satu sisi menandai ekspansi industri keuangan digital, di sisi lain menyingkap kerentanan ekonomi rumah tangga.

Karena itu, bagi Yusuf, untuk menyebut bahwa industri keuangan digital benar-benar bertumbuh tidak cukup hanya melihat kenaikan outstanding atau jumlah rekening paylater saja, tetapi perlu adanya indikator yang lebih komprehensif untuk menyebutkan bahwa industri keuangan digital benar-benar bertumbuh.

Misalnya, dengan melihat peningkatan volume dan nilai transaksi pembayaran digital (QRIS, e-money, BI-FAST) yang menunjukkan perubahan perilaku masyarakat secara menyeluruh, pertumbuhan jumlah merchant dan UMKM yang menerima pembayaran digital yang menandakan perluasan ekosistem, serta kenaikan pengguna aktif dompet digital atau neobank yang mencerminkan retensi dan utilisasi produk.

Dari sisi ekosistem, indikator seperti aliran investasi ke fintech dan bertambahnya jumlah pelaku berizin di OJK dan BI adalah sinyal kematangan industri.

"Tidak kalah penting, kualitas pertumbuhan harus diukur melalui rasio pembiayaan bermasalah (NPF) di segmen digital, rasio cicilan terhadap pendapatan konsumen, serta data inklusi dan literasi keuangan," ucap Yusuf.

Senada, Direktur Eksekutif Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti juga menambahkan bahwa metode pembayaran paylater menjadi sebuah alternatif di tengah masyarakat di tengah pelemahan daya beli.

Perekonomian dan daya beli masyarakat telah tertekan sejak pertengahan 2024. Hal ini diamatinya melalui deflasi selama Mei - September 2024 yang mengindikasikan adanya pelemahan daya beli serta kebijakan relokasi anggaran yang menghambat perputaran dana di masyarakat.

Kondisi bertambah berat saat pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi dan kebijakan ekonomi tidak mendukung masyarakat untuk harus tetap memenuhi kebutuhan hidup.

"Di sisi lain, akses kredit bank tidak mudah sehingga salah satu cara paling cepat adalah paylater atau pinjaman daring," jelasnya.

Namun Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede tidak setuju jika peningkatan jumlah rekening paylater diartikan sebagai pelemahan daya beli. Menurutnya, hal ini mengindikasikan pendalaman keuangan digital.

Dia melihat pada basis yang masih kecil dan kualitas yang terjaga. Porsi paylater baru 0,30% dari kredit bank, di luar bank, pembiayaan BNPL lewat perusahaan pembiayaan dan P2P juga tumbuh dengan risiko terkelola.

Adapun NPF BNPL perusahaan pembiayaan ada sebesar 2,95%, TWP90 P2P sebesar 2,75%, yang diartikan ekspansi berlangsung tanpa lonjakan gagal bayar yang mengkhawatirkan.

Dia juga melihatnya dari ekosistem pembayaran digital yang melebar cepat serta inflasi yang masih rendah dan stabil dalam target.

Namun demikian, isu tekanan daya beli tetap ada, kata Joshua. Misalnya konsumen memakai paylater untuk menyicil belanja rutin saat pendapatan riil belum sepenuhnya mengimbangi kebutuhan,

Karena itu, dia melihat interpretasi data kenaikan penggunaan paylater OJK secara lebih beragam, yakni pendalaman digital termasuk kemudahan check-out, promosi, tenor pendek, sekaligus alat consumption smoothing rumah tangga.

"Apa yang perlu dipantau agar tidak bergeser menjadi risiko daya beli? Laju pertumbuhan pengguna aktif versus transaksi, roll-over rate, keterlambatan lebih dari 30 atau 90 hari, TWP90/NPF BNPL dan kartu kredit, dan Debt Service Ratio rumah tangga, jika tersedia," urainya.



Yusuf Manilet melanjutkan bahwa langkah yang perlu ditempuh oleh Pemerintah untuk membuat kualitas pertumbuhan keuangan digital dalah memperkuat daya beli masyarakat melalui kebijakan ekonomi yang tepat serta regulasi ketat untuk layanan paylater.

"Literasi keuangan juga perlu ditingkatkan di kalangan masyarakat agar tidak salah kaprah menilai paylater sebagai tambahan penghasilan dan terhindar dari lingkaran utang di tengah ketidakstabilan ekonomi, gaji stagnan dan kebutuhan hidup yang mahal," tandasnya.

Ini Artikel Spesial

Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan.

Berlangganan dengan Google

Gratis uji coba 7 hari pertama. Anda dapat menggunakan akun Google sebagai metode pembayaran.

Kontan Digital Premium Access

Business Insight, Epaper Harian + Tabloid, Arsip Epaper 30 Hari

Rp 120.000
Business Insight

Hanya dengan 20rb/bulan Anda bisa mendapatkan berita serta analisis ekonomi bisnis dan investasi pilihan

-
Bagikan

Berita Terbaru

ESG MEDC: Energi Terbarukan Geothermal Grup Medco Semakin Mengepul
| Senin, 29 September 2025 | 08:57 WIB

ESG MEDC: Energi Terbarukan Geothermal Grup Medco Semakin Mengepul

PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) mulai memprioritaskan pengembangan energi bersih. Salah satunya adalah panas bumi atau geothermal.

Kenaikan Utang Paylater, Cara Capat Menambal Daya Beli
| Senin, 29 September 2025 | 07:53 WIB

Kenaikan Utang Paylater, Cara Capat Menambal Daya Beli

Data upah riil yang tumbuh terbatas dan kenaikan kredit bermasalah, mengindikasi paylater lebih dekat pada upaya “menambal” daya beli.

Faktor Domestik Bikin Rupiah Makin Tercekik
| Senin, 29 September 2025 | 06:45 WIB

Faktor Domestik Bikin Rupiah Makin Tercekik

Modal asing mengalir keluar dari pasar SBN. Ini diiringi kenaikan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah dan tekanan pada rupiah.

Rupiah Berpeluang Menguat Meski Tipis pada Senin (29/9)
| Senin, 29 September 2025 | 06:30 WIB

Rupiah Berpeluang Menguat Meski Tipis pada Senin (29/9)

Penguatan indeks dolar AS yang didukung oleh data ekonomi AS yang kuat, mengurangi ekspektasi pasar soal pemotongan suku bunga The Fed. 

Menanti Aksi Prabowo
| Senin, 29 September 2025 | 06:10 WIB

Menanti Aksi Prabowo

Petaka keracunan massal menunjukkan ada kegagalan sistemik dalam proses penyiapan, pengolahan, maupun distribusi makanan.

Prospek Emiten Properti Menanti Efektivitas Subsidi Properti
| Senin, 29 September 2025 | 06:00 WIB

Prospek Emiten Properti Menanti Efektivitas Subsidi Properti

Emiten properti mendapatkan sejumlah subsidi, tetapi risiko nilai tukar rupiah hingga fiskal membayangi prospek kinerja mereka

Prabowo Bakal Meresmikan 25.000 Rumah Subsidi
| Senin, 29 September 2025 | 05:40 WIB

Prabowo Bakal Meresmikan 25.000 Rumah Subsidi

Rumah subsidi yang diresmikan tersebut berada di 90 titik lokasi yang tersebar di 30 provinsi seluruh Indonesia. 

 Harga Komoditas Mendorong Laju Penjualan Motor
| Senin, 29 September 2025 | 05:39 WIB

Harga Komoditas Mendorong Laju Penjualan Motor

Penurunan bunga pinjaman diharapkan ikut mengerek penjualan sepeda motor yang tertekan pelemahan daya beli

Progres Proyek Cisem  Tahap Dua Mencapai 86%
| Senin, 29 September 2025 | 05:36 WIB

Progres Proyek Cisem Tahap Dua Mencapai 86%

Pipa gas Cisem dirancang menyalurkan gas dari Jawa Timur ke Jawa Barat untuk mendukung ketahanan energi

Pemerintah Kejar Terus Para Penunggak Pajak
| Senin, 29 September 2025 | 05:35 WIB

Pemerintah Kejar Terus Para Penunggak Pajak

Hingga September terdapat 84 wajib pajak yang telah melakukan pembayaran atau membuat angsuran, dengan totalnya Rp 5,1 triliun

INDEKS BERITA

Terpopuler