Posman Sibuea | Guru Besar Tetap di Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan
KONTAN.CO.ID - Di tengah produksi gabah yang cenderung menurun sejak 2022, pemerintah kembali membuka keran impor beras. Selain gangguan akibat perubahan iklim global, penurunan disebabkan faktor alih fungsi lahan yang kian masif dalam 10 tahun terakhir, gangguan hama dan penyakit tanaman serta kian mahalnya harga pupuk.
Penurunan produksi akan mendongkrak kenaikan harga beras menjelang tahun politik Pilpres 2024. Apalagi selama ini pemerintah lebih mengedepankan opsi impor beras dibandingkan berusaha keras meningkatkan stok beras di dalam negeri dengan memberdayakan petani lokal.
Alasan klasik seperti serangan hama dan penyakit, musim kemarau dan banjir menjadi justifikasi untuk membuka keran impor. Seakan hama dan penyakit tidak bisa diatasi dan banjir tak bisa ditangani. Masalah ini terus dikloning dan langkah cerdas pun tidak ditemukan sebagai solusi.
Pasar pangan di Indonesia pun kian dibanjiri pangan impor. Pemerintah nyaris tidak punya kekuatan untuk mengekangnya. Indonesia menjadi negara yang membangun ketahanan pangan berbasis impor. Kita menghuni negeri yang makmur, namun tidak mampu memproduksi pangan untuk rakyatnya. Impor pangan datang silih berganti. Mulai dari beras, daging sapi, gula, kedelai, jagung, bawah putih, bawang merah, cabe dan lain-lain.
Sebagai negara agraris yang memiliki kekayaan sumber daya pertanian dan pangan yang melimpah, Indonesia seharusnya bisa menjadi lumbung pangan dunia. Namun ironisnya, pertumbuhan sektor pertanian tanaman pangan cenderung melambat dibandingkan dengan periode sepuluh tahun lampau. Implikasinya, impor pangan makin tidak terbendung.
Rencananya, Indonesia akan mengimpor impor beras sebanyak 2 juta ton sampai akhir tahun 2023 untuk cadangan beras pemerintah. Ruang impor pangan akan semakin terbuka lebar guna mengawal stabilitas politik Pemilu Presiden 2024. Agar gejolak harga pangan terkendali, maka cadangan pangan pemerintah harus dijaga untuk mengerem inflasi.
Sayangnya pangan yang tersedia kerap harganya tidak terjangkau rakyat miskin. Kian mahalnya harga pangan diduga akibat ulah para pemain kartel pangan yang dikuasai segelintir pemodal besar.
Praktik kartel pangan dengan power (kekuasaan) uang yang dimiliki pemodal besar pernah terkuak. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa tahun lampau membongkar kasus dugaan korupsi impor daging sapi dan ketidakefisienan penyaluran raskin. Temuan ini menunjukkan bahwa suap impor pangan adalah jenis corruption by design.
Fenomena ini menunjukkan pangan impor kerap dimainkan dan dikendalikan oleh mafia pangan yang melibatkan pejabat tertentu dan politisi untuk meraup keuntungan. Untuk itu, impor berbagai jenis pangan di tahun 2023 harus diawasi secara ketat karena menghabiskan devisa yang tidak sedikit.
Sesungguhnya devisa yang digelontorkan ini bisa digunakan untuk membangun infrastruktur sektor pertanian.
Petani termarginalisasi
Masih tingginya pertumbuhan penduduk dan kian miskinnya petani ditengarai penyebab kian derasnya pangan impor mengalir ke Indonesia. Meski usia kemerdekaan republik ini sudah memasuki ke 78, alih-alih pemerintah dapat menyejahterakan petani justru petani gurem cenderung meningkat jumlahnya.
Petani kecil termarginalisasi digilas roda pembangunan hedonis yang kapitalistik. Keterpurukan ini membawa konsekuensi logis, yakni Indonesia semakin tak berdaulat atas pangan.
Dalam satu dekade terakhir, petani di tengah bangsa agraris ini mengalami proses pemiskinan. Hasil sensus pertanian tahun 2013 menunjukkan jumlah petani berkurang sebanyak 5,04 juta keluarga. Pada 2003, BPS mencatat jumlah petani 31,17 juta keluarga, 10 tahun kemudian menurun menjadi 26,13 juta keluarga. Dugaan pada 2023 fenomenanya cenderung sama karena sektor pertanian semakin tidak menarik bagi generasi muda.
Di negara maju susutnya jumlah keluarga petani dan meningkatnya jumlah perusahaan pertanian merupakan pertanda kemajuan sektor pertanian. Penurunan jumlah keluarga petani gurem terjadi karena adanya penyerapan tenaga kerja secara signifikan oleh sektor industri dan jasa.
Sayangnya, yang terjadi di Indonesia adalah guremisasi akibat tingginya alih fungsi lahan pertanian pangan. Sekedar contoh, jumlah petani gurem – memiliki lahan maksimal 0,5 hektar – 52 persen dari total petani.
Setuju atau tidak setuju, selama 10 tahun terakhir pembangunan pertanian tidak hanya jalan di tempat, tetapi bahkan “mundur” ke belakang. Mayoritas warga Indonesia yang bekerja sebagai “petani”, hidupnya mengalami proses pemiskinan.
Fenomena ini harus dapat menyadarkan pemerintahan hasil pemilu 2024 bahwa pekerjaan rumah memperkuat ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat belum selesai. Rapuhnya (decay) kedaulatan pangan tak bisa dilepaskan dari kurangnya perhatian pada pembangunan sektor pertanian.
Alokasi anggaran yang masih terbatas di Kementerian Pertanian hanya satu indikator ketidakberdayaan bangsa ini untuk keluar dari perangkap pangan impor.
Untuk melepaskan Indonesia dari jebakan pangan impor maka perlu didorong penggunaan produk pangan lokal dengan segala konsekuensinya dan mengurangi ketergantungan dan ketagihan produk pangan berbasis beras dan gandum. Kita perlu belajar dari negara kaya yang teknologinya maju, seperti Jepang dan Korea Selatan.
Mereka tetap bangga menggunakan produk lokalnya seperti telepon seluler dan mobil buatan sendiri tanpa terpengaruh produk bangsa lain yang lebih canggih. Harga diri bangsa menjadi harga mati dalam melepaskan diri dari jebakan pangan impor.
Sebagai bangsa agraris, negeri yang subur dengan tongkat kayu menjadi tanaman, seperti dikatakan Koes Ploes, Indonesia harus keluar dari jabakan dan perangkap pangan negara maju dengan segera melakukan pengurangan praktik liberalisasi pangan.
Praktik ini telah menyebabkan munculnya beragam kartel pangan baru yang pola kerjanya mirip mafia yang menguasai distribusi dan perdagangan pangan. Untuk menghentikannya, pemerintah harus melakukan pembatasan penguasaan distribusi pangan melalui korporasi.
Satu hal yang tak kalah penting adalah kecenderungan selama ini yang memilih langkah gampang dengan mengimpor tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang harus dikurangi dan selanjutnya untuk diakhiri. Indonesia harus bisa lepas dari jeratan impor.
Presiden Joko Widodo yang sudah dua periode memimpin bangsa ini seringkali marah kepada bawahannya dalam berbagai kesempatan terkait kegemaran aparat negara terhadap produk-produk impor.
Ketergantungan pada impor ini hendaknya menyadarkan pemerintah untuk terus membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat seperti yang diperintahkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan.
Ini Artikel Spesial
Agar bisa lanjut membaca sampai tuntas artikel ini, pastikan Anda sudah berlangganan atau membeli artikel ini.