Berita Bisnis

Laba ciamik dari usaha sepatu batik

Kamis, 07 Maret 2019 | 16:17 WIB
Laba ciamik dari usaha sepatu batik

Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Dalam kunjungan perdananya ke Indonesia sekitar satu dekade lalu, Bill Gates pernah mengejutkan publik tanah air.

Betapa tidak. Miliarder dunia itu tiba-tiba saja muncul di acara Presidential Lecture yang dihelat di Jakarta dengan mengenakan baju batik. Aksi Gates ini bahkan sempat membuat Presiden RI ke-6 Soesilo Bambang Yudhoyono harus mengganti kostumnya, yang pada waktu itu mengenakan setelan jas resmi.

Selain Gates, sejumlah tokoh utama dunia lain juga pernah dengan bangganya mengenakan batik. Beberapa di antaranya yakni Nelson Mandela dan Barack Obama.

Dari kejadian itu, sepertinya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa batik merupakan ikon budaya Indonesia yang semakin menggeliat. Ini juga dapat dilihat dari eksplorasi batik yang digunakan dalam beragam produk fesyen. Misalnya, sepatu.

Kini, banyak perajin sepatu di tanah air yang menyematkan motif batik pada produk buatannya. Salah satu pelaku usaha yang berbisnis sepatu bermotif batik adalah Mia Widyastuti.

Dengan bendera usaha Mia Widy Shoes, wanita berusia 37 tahun itu telah memproduksi sepatu dengan merek Mia Widy di bengkel produksinya di Jalan Sunan Kalijaga II, Magelang Selatan sejak 2012.

Tentu, bukan tanpa alasan, Mia kepincut berbisnis sepatu batik. Di mata ibu satu orang putra ini, batik memiliki banyak motif dan warna cantik. "Saya menggabungkan antara design elegan dan warna batik cerah atau bahkan klasik. Sehingga, menciptakan sepatu batik yang elegan dan unik," ungkap Mia.

Mia berkisah, ia menjalankan usaha pembuatan sepatu batik lantaran gemar memakai high heels. Cuma, sepatu high heels koleksinya kerap membuat kaki lecet. Mungkin karena modelnya tinggi, jadi dipakainya kurang nyaman dan sakit. "Karena itu, saya ingin membuat high heels yang nyaman di kaki dan bisa dipakai dengan waktu lebih lama," imbuh dia.

Nah, suatu ketika, Mia pergi ke tempat pembuatan sepatu di kota asalnya. Di sana, Mia memesan untuk dibuatkan sepatu hak tinggi dengan bahan kain batik berwarna cerah dan sekaligus menyodorkan desainnya. Setelah pesanannya jadi, Mia memakai sepatu itu ke tempatnya bekerja di salah satu Production House (PH) di Jakarta.

Tak disangka, sepatu hasil rancangannya tersebut disukai oleh sejumlah teman kantornya. Ia pun kembali memesan sepatu motif batik dengan rancangan yang sama untuk dijual kepada teman-temanya tadi. Dari situlah, Mia terinsipirasi untuk merintis sendiri usaha pembuatan sepatu batik.

Kini, dibantu oleh enam orang karyawannya, Mia memproduksi sepatu batik dengan beberapa model seperti sling back, high heels, dan flat dengan 12 ukuran (size) kaki, yakni dari size 31-42. Menurut Mia, sepatu batik yang paling laris terjual ukuran kaki 38 dan 39. Alasannya, nomor size tersebut adalah ukuran standar wanita indonesia.

Adapun, model sepatu batik Mia Widy yang paling banyak di beli pelanggan ialah sling back dengan motif batik parang. Selain batik parang, ada juga motif bunga jarik gendong. "Karena mungkin motif batik parang itu klasik, dipadu dengan desain yang sederhana, jadi terlihat sangat cantik," urai Mia.

Mia mengklaim, dalam sebulan, Mia Widy Shoes mampu memproduksi sepatu batik hingga 300 pasang. Harganya dibanderol dari Rp 300.000 hingga Rp 1 juta per pasang. Dengan penjualan sebanyak itu, penghasilan yang diraup Mia Widy Shoes bisa tembus Rp 90 juta hingga Rp 300 juta per bulan dengan marjin sekitar 25%.

Sebagian besar sepatu batik dipasarkan Mia Widy di seluruh kota besar Indonesia. Selain di pasar domestik, produk Mia Widy juga merambah ke pasar internasional seperti Singapura, Australia dan Hong Kong. Lewat jaringan reseller yang memasarkan produknya, Mia mengekspor sepatu batik minimal 50 pasang per bulan ke Singapura. Untuk pasar Australia dan Hong Kong, ekspornya sekitar 20 pasang per bulan.

Betul, agar sepatu batik buatannya bisa menjangkau pasar ekspor, Mia menerapkan strategi pemasaran. Di antaranya, Mia mengandalkan penjualan secara daring (online). Ia memanfaatkan media sosial yang ada seperti Facebook, Twitter, Instagram maupun marketplace sebagai media pemasarannya.

Mia juga gencar melakukan pemasaran luar jaringan (luring) alias offline. Salah satunya adalah mengikuti berbagai pameran seperti Inacraft, Indonesia Fashion Week, Jakarta Fashion Week, Gelar Batik Nusantara dan lainnya.

Prospek yang menggiurkan juga menarik minat Sofie Agustine untuk mengadu peruntungannya di bisnis pembuatan sepatu batik. Wanita berusia 40 tahun ini telah memproduksi sepatu batik sejak tahun 2011 dengan bendera usaha PT Diajeng Arcadia Trimitra (D.A.T). Sepatu batik buatan D.A.T diberi merek DArcadia Treasure.

Di workshop-nya di Desa Bojong Nangka, Bogor, Jawa Barat, Sofie mempekerjakan 8 orang karyawan dan 13 perajin sepatu. Sofie memproduksi sepatu batik dengan beragam model, antara lain flats, high heels, wedges, boots, platforms, sandals dan sneakers dengan ukuran dari 3542. Sofie bilang, sepatu yang paling banyak dipesan ukuran 3640.

Sepatu batik made in D.A.T dibanderol mulai Rp 185.000Rp 1 juta per pasang. Dalam sebulan, Sofie mengklaim, perusahaannya bisa memproduksi sepatu batik hingga 2.000 pasang. "Dari produksi sepatu sebanyak itu, perusahaan kami telah menghasilkan gross omzet Rp 500 juta per bulan atau Rp 6 miliar per tahun," beber Sofie.

Menurut Sofie, untuk menekuni usaha pembuatan sepatu batik, hal terpenting yang harus dilakukan adalah konsisten dan persisten untuk terus memberikan yang terbaik dalam hal keunggulan produk maupun layanan kepada pelanggan. Itu sebabnya, untuk memulai bisnis sepatu batik, Anda harus menentukan pola produksinya.

Pola produksi yang paling lazim dilakukan adalah menggandeng mitra perajin sepatu. Melalui mitra tersebut, Anda tinggal mengarahkan saja proses produksi sepatu sesuai dengan desain yang diinginkan. Anda juga bisa menentukan sendiri bahan baku sepatu. Bahan baku yang biasa dipakai untuk material sepatu batik, antara lain kain batik, tenun, dan songket.

Proses produksi

Sofie bilang, harga bahan baku kain tersebut terbilang tidak murah. Harganya berkisar antara Rp 85.000Rp 2,4 juta per helai. Namun, Anda tidak sulit mencari bahan baku. Materialnya banyak tersebar di sejumlah daerah perajin batik, tenun atau songket di nusantara.

Tapi, itu belum termasuk harga peralatan untuk proses produksi. Antara lain, mesin cangklong, kompresor untuk menyemprot pola batik, mesin jahit, cetakan sepatu, dan mesin seset kulit. Menurut Sofie, total biaya investasi peralatannya sekitar Rp 100 juta.

Bukan cuma itu. Sofie menambahkan, ada kendala lain yang bisa menghambat perkembangan bisnis sepatu batik. Di antaranya, mengubah pola pikir perajin dari sekadar pembuat sepatu menjadi pengusaha.

"Ini proses yang paling menantang. Perajin sepatu memiliki budaya kerja yang telah melekat. Nah, perlu proses yang panjang dengan memberikan pelatihan, briefing rutin dan pemberlakuan SOP, untuk akhirnya bisa menjadikan pekerja dan perajin bekerja sama," imbuh dia.

Sayang, Sofie enggan membeberkan biaya produksi untuk mitra perajin sepatu yang digandengnya. Yang jelas, katanya, ia mengupah perajinnya dengan bayaran per pekan.

Selesai? Belum, ternyata. Sofie menambahkan, kendala bisnis yang harus diperhatikan ialah ketatnya persaingan di bisnis ini. Menurut dia, persaingan di era digital seperti sekarang juga memunculkan banyaknya kompetitor yang tidak hanya mengambil ide-ide produk, namun juga ide dalam proses branding, seperti packaging hingga model distribusi.

Jika kendala yang ada itu bisa Anda antisipasi, kini tinggal memikirkan proses produksinya. Menurut Mia, tahapan proses produksi sepatu batik tidak rumit. Tahapan pertama yang harus dilakukan adalah menentukan desain sepatu dan bahan. Setelah itu membuat pola. Usai pembuatan pola, lalu menyiapkan bahan-bahannya untuk dicocokkan di pola dan dijahit.

"Setelah jadi bagian upper, selanjutnya dikerjakan secara handmade oleh perajin bagian sol. Setelah selesai disol, lalu di-finishing dan barang siap dikemas," tandas Mia.

 

 

 

Terbaru