Laporan Moody's: Waspada, Emiten Properti Didera Kenaikan Beban Bunga

Selasa, 12 Februari 2019 | 15:23 WIB
Laporan Moody's: Waspada, Emiten Properti Didera Kenaikan Beban Bunga
[]
Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Narita Indrastiti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun ini, sejumlah emiten properti harus menghadapi peningkatan beban bunga. Menurut laporan terbaru Moody's Investors Service yang dirilis Selasa (12/2), kenaikan suku bunga dan tingginya tingkat utang luar negeri emiten properti menjadi penyebab kenaikan beban perusahaan di sektor ini. 

Ada delapan perusahaan properti yang diberi peringkat oleh Moody's. Tujuh di antaranya dinilai masih punya kemampuan untuk menyerap kenaikan beban bunga. Namun, kenaikan beban bunga ini harus diwaspadai. Apalagi lebih dari 60% utang pengembang properti di Indonesia merupakan utang dollar AS, padahal, pendapatannya dalam rupiah. Sehingga, depresiasi rupiah dan kenaikan suku bunga, dapat memperburuk kondisi keuangan perusahaan di sektor ini. 

Jacintha Poh, Vice President and Senior Credit Officer Moody's mengatakan, banyak surat utang emiten properti yang akan jatuh tempo dalam beberapa tahun ke depan. Sementara, tingkat suku bunga baik dalam dan luar negeri telah naik pada 12-18 bulan terakhir. 

"Beban pendanaan yang lebih tinggi bisa menaikkan beban bunga. Meski, tujuh dari delapan perusahaan mungkin punya kapasitas untuk menyerap kenaikan beban biaya itu, tanpa mempengaruhi peringkat utangnya," ujar Poh.

Delapan emiten properti yang diberi peringkat oleh Moody's itu di antaranya, PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR), PT Intiland Development Tbk (DILD), PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), PT Sentul City Tbk (BKSL), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), PT Agung Podomoro Land Tbk (APLN), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dan PT Modernland Realty Tbk (MDLN). 

Dari emiten-emiten tersebut, Moody's menilai, hanya Lippo Karawaci yang tak mampu menyerap kenaikan beban bunga itu. Lippo Karawaci dinilai akan kehabisan dana kas untuk menutupi bebannya sebelum Juni 2019. Sehingga, Lippo Karawaci perlu meningkatkan likuiditasnya dengan cepat. 

Dengan asumsi pengembang membiayai kembali semua utang yang jauh tempo antara kuartal IV 2018 hingga tahun 2020, Moody's menilai, kenaikan beban bunga tertinggi akan dialami oleh Alam Sutera. Perusahaan dengan peringkat B2 negatif itu, diprediksi akan mengalami kenaikan beban bunga sekitar 15%, terbesar di antara para pengembang lainnya. 

Sementara itu, beban bunga pro forma perusahaan properti lainnya, akan naik sekitar 1% hingga 10%. Meski demikian, Moody's masih menilai Alam Sutera punya kemampuan untuk menyerap kenaikan beban bunga itu. Pasalnya, interest coverage Alam Sutera masih menjadi yang terkuat di antara perusahaan dengan peringkat B. 

Utang jatuh tempo

Kedelapan emiten properti ini menghadapi kenaikan biaya untuk mendanai utang yang akan jatuh tempo, baik utang dalam negeri ataupun utang luar negeri. Per 30 September 2018, sekitar 30% dari utang pengembang properti akan jatuh tempo pada periode kuartal keempat 2018, hingga 2020. 

Intiland Development merupakan pengembang yang punya utang jatuh tempo terbesar di periode ini. Sekitar 70% utang Intiland harus dibayar sebelum 2020. Lalu, utang jatuh tempo Sentul City dan Alam Sutera mencapai 50% dari total utang. Pakuwon Jati dan Agung Podomoro, masing-masing memiliki 30% utang jatuh tempo. Lalu, utang Bumi Serpong Damai dan Lippo Karawaci yang jatuh tempo sebesar 15%, dan Modernland Realty hanya punya utang jatuh tempo kurang dari 5%. 

Moody's memperkirakan, refinancing utang itu bakal kena biaya lebih tinggi. Untuk utang dalam negeri, Moody's memperkirakan ada kenaikan beban bunga sekitar 1,75% untuk utang yang akan dibayar di periode kuartal keempat 2018 hingga 2020 mendatang. Angka ini sejalan dengan kenaikan suku bunga Bank Indonesia sepanjang 2018 lalu. 

Sementara itu, untuk utang dalam dollar AS, Moody's memperkirakan biaya bunga agregat untuk pengembang properti berperingkat, bakal naik 6% pada tahun 2020 secara basis pro forma. 

Intiland Development punya jumlah utang terbesar yang bakal jatuh tempo dalam kurun waktu itu. Sehingga, emiten ini paling rentan terhadap kenaikan suku bunga. Tapi, upaya refinancing terbaru perusahaan telah mengurangi risiko tersebut.

Pada 31 Januari 2019, Intiland telah memperoleh pinjaman sindikasi delapan tahun senilai Rp 2,8 triliun dari BNI dan BCA. Tingkat suku bunga pinjaman itu 10,5% per tahun. Sekitar 90% dari pinjaman itu akan digunakan untuk membayar kembali utang jatuh tempo pada 2019.

Moody's menilai, dengan refinancing itu, beban bunga pro-forma Intiland pada 2020 hanya akan naik sekitar 3%. Ini lebih baik ketimbang jika Intiland tak mendapatkan fasilitas pinjaman itu. Karena tanpa fasilitas pinjaman baru tersebut, beban bunga Intiland bisa naik lebih dari 10% tahun depan. 

Sementara itu, kenaikan beban bunga Alam Sutera merupakan yang paling tinggi. Pasalnya, Alam Sutera membiayai obligasi jatuh tempo senilai US$ 235 juta berkupon 6,95%, dengan obligasi baru senilai US$ 175 juta dengan tigkat kupon 11,5%. Obligasi baru ini juga punya tenor lebih pendek. Sehingga, likuiditas Alam Sutera dinilai bakal melemah signifikan pada 12-18 bulan mendatang.

Bagikan

Berita Terkait

Berita Terbaru

Sagu Sampai Silika Digadang Masuk RPJMN, Sudah Digarap CUAN, Sinarmas, dan Sampoerna
| Senin, 04 November 2024 | 11:20 WIB

Sagu Sampai Silika Digadang Masuk RPJMN, Sudah Digarap CUAN, Sinarmas, dan Sampoerna

Para taipan besar lewat sejumlah emiten yang dimilikinya sudah lebih dulu masuk ke komoditas yang diusulkan masuk RPJMN 2025-2029.

Melancong Backpacker Melalui Jalur Komunitas
| Senin, 04 November 2024 | 10:32 WIB

Melancong Backpacker Melalui Jalur Komunitas

Liburan mandiri alias backpacker masih ramai peminat. Mereka berkumpul lewat komunitas sambil berbagi informasi dan trip saat berlibur.

Tetap Dulang Laba saat Kondisi Ekonomi Menantang
| Senin, 04 November 2024 | 10:27 WIB

Tetap Dulang Laba saat Kondisi Ekonomi Menantang

Pendapatan bunga masih menjadi tulang punggung bagi pertumbuhan laba bank. Untuk itu, pendapatan bunga berpengaruh besar terhadap laba.

Daya Beli Turun, Wisata Jalan Terus
| Senin, 04 November 2024 | 10:22 WIB

Daya Beli Turun, Wisata Jalan Terus

Di tengah penurunan daya beli, masyarakat masih riuh berburu promosi produk wisata. OTA berusaha menangkap peluang jelang akhir tahun ini.

Menanti Penerbitan Obligasi Daerah di Era Pemerintahan Prabowo
| Senin, 04 November 2024 | 09:25 WIB

Menanti Penerbitan Obligasi Daerah di Era Pemerintahan Prabowo

Obligasi daerah sebagai instrumen baru diyakini memiliki nilai yang sangat strategis. Selayaknya pemerintah pusat proaktif.

Diborong Deutsche Bank hingga Goldman Sachs, Analis Kompak Rekomendasi Buy Saham BMRI
| Senin, 04 November 2024 | 08:45 WIB

Diborong Deutsche Bank hingga Goldman Sachs, Analis Kompak Rekomendasi Buy Saham BMRI

Tak lama setelah laporan keuangan BMRI per kuartal III-2024 dirilis, para analis kompak memberikan rekomendasi beli BMRI.

Banyak Pabrik Tutup, Utilisasi Industri Tekstil Makin Redup
| Senin, 04 November 2024 | 07:50 WIB

Banyak Pabrik Tutup, Utilisasi Industri Tekstil Makin Redup

Tingkat utilisasi industri hulu TPT tinggal 40% akibat maraknya gempuran produk impor dan pelemahan daya beli.

Akuisisi Aset Migas Topang Kinerja ENRG
| Senin, 04 November 2024 | 07:45 WIB

Akuisisi Aset Migas Topang Kinerja ENRG

Peningkatan produksi minyak dan rata-rata harga jual migas yang lebih baik menopang kinerja selama sembilan bulan pertama tahun ini.

APLN Memacu Kinerja Hingga Akhir Tahun
| Senin, 04 November 2024 | 07:35 WIB

APLN Memacu Kinerja Hingga Akhir Tahun

Dari lini bisnis properti, APLN membukukan perolehan marketing sales sebesar Rp 1,37 triliun per September 2024.

Masih Ada Risiko, BPK Minta BI Evaluasi dan Sempurnakan BI-FAST
| Senin, 04 November 2024 | 07:34 WIB

Masih Ada Risiko, BPK Minta BI Evaluasi dan Sempurnakan BI-FAST

Transaksi menggunakan BI-FAST tumbuh pesat, pada kuartal III-2024 mencapai 924,89 juta transaksi, naik 61,10%.

INDEKS BERITA

Terpopuler