KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Heboh surat Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno atas Revisi Peraturan Pemerintah No. 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) di kalangan pebisnis minerba belum berhenti.
Ramai pebisnis yang khawatir jika usulan ini diterima maka banyak perusahaan yang menguasai lahan wilayah tambang minerba wajib memangkas penguasaan lahannya, menjadi maksimal 15.000 hektare (ha).
Adapun, perusahaan negara atau BUMN akan menuai berkah dengan mendapat prioritas lahan divestasi milik para pemilik izin tambang, khususnya batubara yang berakhir kontrak perjanjian karya pengusaha pertambangan batubata atau PKP2B.
Ada tujuh tujuh kontrak PKP2B) generasi pertama yang akan berakhir, meski kelak kontrak PKP2B bersulih menjadi pemilih izin Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Sesuai Undang-Undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba, Pasal 83 poin d menyebut, luas satu WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi (OP) pertambangan batubara paling banyak 15.000 ha. Sementara, pemegang PKP2B generasi pertama memiliki luas lahan yang cukup jumbo..
PT Berau Coal misalnya, menguasai lahan tambang batubara hingga seluas 118.400 ha. Lalu PT Arutmin Indonesia memiliki lahan tambang batubara seluas 70.153 ha.
Ini pula yang menjadi rujukan Surat Meneg BUMN Rini 1 Maret 2019 dengan nomor SR-141/MBU/03/2019. Menteri BUMN Rini minta ada penyelarasan pada Pasal 112 draft RPP Minerba. Pengaturan Pasal 112 draft RPP akan mengakibatkan luasan WIUP pemegang PKP2B yang memperoleh perpanjangan akan melebihi 15.000 ha, melebihi batas yang diatur dalam Pasal 62 dan Pasal 83 UU Minerba.
Pengamat hukum sumber daya alam Universitas Tarumanegara Ahmad Redi menilai, untuk luas wilayah pertambangan, sdiatur dalam UU Minerba Pasal 83, poin d, yang menyebutkan luas satu WIUPK untuk tahap kegiatan operasi produksi pertambangan betubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 ha.
Jika kemudian BUMN ingin mendapatkan wilayah pertambangan batubara sesuai ketentuan itu, ini sah saja dan bukan sebagai bentuk nasionalisasi lahan. Toh penguasaan itu dilakukan saat masa kontrak berakhir. "Kecuali operasinya diputus di tengah jalan. Bila sudah habis masanya, wilayahnya kembali ke negara," ujarnya ke KONTAN.
Bahkan, menurut dia, hak prioritas WIUPK ada di BUMN. Alhasil, BUMN tidak bisa diposisikan menerima sisa dari wilayah eks PKP2B. "BUMN berhak atas seluruh WIUPK, sisa wilayah WIUPK yang tak diminati BUMN baru dilelang ke swasta," ujarnya.
Head of Corporate Communication Division PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Febriati Nadira Adaro meminta, dalam RPP Minerba tidak ada pembatasan luas wilayah usaha pertambangan menjadi hanya sebesar 15.000 ha.
Sebab, Pasal 171 UU Minerba menjamin hak pemegang PKP2B untuk dapat mempertahankan luas wilayah usahanya. Apalagi, kepastian perpanjangan PKP2B dan kelangsungan luas wilayah usaha ini juga sudah disepakati pemerintah dalam amandemen PKP2B 17 Januari 2018. "Kami berharap agar kelangsungan operasi PKP2B dilaksanakan sesuai dengan luas wilayah saat ini tanpa membatasi sebesar 15.000 ha," ungkapnya.
Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia bilang, pemegang PKP2B generasi pertama berharap ada privilege. "Mereka yang sudah eksplorasi, investasi, berharap diberikan hak atau semacam right to match," tandasnya.