KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun 2018 tampaknya menjadi tahun paling suram bagi pelaku industri perkebunan kelapa sawit setidaknya dalam satu dekade terakhir. Tahun lalu, harga minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) menyentuh rekor paling rendah dalam 10 tahun terakhir.
Pada November 2018, harga CPO jatuh ke titik terdalam hingga di kisaran RM 1.700 per metrik ton. Sepanjang 2018, rata-rata harga CPO di Bursa Derivatif Malaysia berada di kisaran MYR 2.250 per metrik ton. Padahal, sepanjang 2017, rata-rata harga CPO masih sebesar MYR 2.789 per metrik ton. Itu artinya, rata-rata harga CPO pada 2018 turun hingga 19%.
Sementara itu, rata-rata harga CPO di Bursa CIF Rotterdam sepanjang 2018 lalu turun sebesar 17% menjadi US$ 595 per metrik ton. Pada 2017 lalu, rata-rata harga CPO di CIF Rotterdam mencapai US$ 714,3 per metrik ton.
Penurunan harga CPO ini tak pelak membuat kinerja perusahaan perkebunan kelapa sawit tertekan. PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), misalnya, membukukan penurunan keuntungan. Pada 2019, laba bersih lini bisnis perkebunan kelapa sawit milik Grup Astra itu turun 27% menjadi Rp 1,43 triliun.
Laba PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) juga tergerus. Pada 2018 lalu, laba bersih Sampoerna Agro turun 76% menjadi Rp 55,5 miliar.
PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) alias Lonsum juga membukukan penurunan laba bersih hingga 54% pada tahun lalu menjadi Rp 311,36 miliar. Sementara induk Lonsum, PT Salim Invomas Pratama Tbk (SIMP) malah membukukan rugi hingga Rp 76 miliar.
Kinerja Salim Invomas dan Lonsum membuat kinerja induk usahanya ikut tertekan. Indofood Agri Resources Limited alias IndoAgri, lengan bisnis Grup Indofood di bidang agribisnis, pada tahun lalu mencetak rugi bersih sebesar RP 221,76 miliar. Padahal, pada 2017, IndoAgri masih untung Rp 447,3 miliar.
Sementara perusahaan kelapa sawit milik Grup Sinarmas, Golden Agri Resources Limited, pada 2018 lalu membukukan rugi bersih sebesar US$ 2 juta. Pada tahun sebelumnya, Golden Agri masih mencetak laba bersih US$ 74 juta.
Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) mencatat, setidaknya ada empat faktor yang memengaruhi penurunan harga CPO sepanjang 2018 lalu.
Pertama, melimpahnya stok minyak nabati dunia, termasuk minyak sawit. Kedua, perang dagang antara China dan Amerika Serikat.
Kedua faktor itu mengakibatkan penurunan harga minyak kedelai yang merupakan produk substitusi minyak sawit. Alhasil, harga CPO ikut terseret ke bawah.
Ketiga, pelemahan ekonomi di beberapa negara tujuan yang berakibat pada lemahnya daya beli. Keempat, beberapa regulasi negara tujuan ekspor yang membuat harga CPO tertekan.
Michael Kesuma, Head of Investor Relation Sempoerna Agro, menambahkan, penurunan harga minyak sawit juga dipicu oleh penurunan permintaan CPO dari India. Padahal, India merupakan negara importir terbesar CPO dunia.
Pada 2018 lalu, ekspor CPO dari Indonesia ke India turun sebesar 12%. Mukti Sardjono, Direktur Eksekutif Gapki, mengatakan, penurunan impor India atas minyak sawit Indonesia merupakan imbas kebijakan pemerintah India yang mengerek bea masuk impor CPO dan produk turunannya.
Per 1 Maret 2018, bea masuk impor CPO dari Indonesia naik menjadi 44%. Sementara bea masuk produk turunan CPO dari Indonesia naik menjadi 54%. Pada April dan Mei tahun lalu, ekspor CPO ke India sempat turun tajam.
Namun, keadaan menjadi sedikit membaik setelah India berselisih dengan Amerika Serikat yang berujung pada keputusan India mengerek tarif bea masuk kedelai.
Selain India, beberapa negara tujuan ekspor CPO lainnya juga mencatatkan penurunan impor, seperti negara-negara Timur Tengah dan Uni Eropa. Sementara beberapa negara seperti China, Bangladesh, dan negara-negara Afrika justru mencatatkan peningkatan impor CPO.
Secara total, ekspor CPO sepanjang 2018 lalu memang menunjukkan tren kenaikan. Pada 2018, total ekspor CPO dan produk turunannya sebesar 34,7 juta ton, naik 7,8%. Sementara konsumsi domestik naik 22% menjadi 13,5 juta ton.
Meski begitu, kenaikan ekspor maupun konsumsi domestik sepanjang tahun lalu belum mampu mengimbangi kenaikan produksi CPO yang dalam dua tahun terakhir meningkat pesat.
Pasca El Nino pada 2016 lalu, produksi CPO pada 2017 dan 2018 memang terbilang melimpah. Pada 2017, produksi CPO Indonesia naik 18% dibandingkan 2016. Sementara pada 2018, produksi CPO naik 12%.
Masalahnya, kenaikan produksi itu tidak diimbangi oleh kenaikan permintaan. Itu sebabnya, stok akhir CPO, stok akhir CPO baik di Indonesia maupun Malaysia sebagai produsen 85% CPO dunia sepanjang tahun lalu terbilang tinggi dan menunjukkan tren kenaikan (lihat infografis).
Di akhir 2018, persediaan CPO di Malaysia malah mencapai rekor tertinggi selama 20 tahun terakhir. Sementara persediaan CPO di Indonesia sebetulnya mulai turun sejak Oktober 2018 berkat implementasi perluasan mandatori pencampuran biodiesel 20% alias program B20 di seluruh sektor sejak September 2018.
Biodiesel
Perluasan program B20 cukup mendukung penyerapan CPO di dalam negeri. Berdasarkan catatan Gapki, pada 2018 lalu, penyerapan biodiesel di dalam negeri melalui program B20 mencapai 3,8 juta ton. Jumlah tersebut naik 72% dibandingkan penyerapan biodiesel pada 2017 yang hanya sebesar 2,2 juta ton.
Sebelum pemerintah memperluas program B20, rata-rata penyerapan biodesel pada 2018 lalu hanya sebesar 215 juta-290 juta ton. Pada September 2018, saat perluasan program B20 mulai diberlakukan, penyerapan biodisel di dalam negeri naik menjadi 400 juta ton.
Setelah itu, penyerapan CPO untuk biodiesel di dalam negeri terus meningkat. Pada Januari lalu, penyerapan biodiesel di dalam negeri mencapai 552 juta ton. Pada bulan berikutnya, penyerapan biodiesel di dalam negeri kembali naik menjadi 648 juta ton.
Selain penyerapan biodiesel yang meningkat, ekspor CPO di awal tahun ini juga naik meski tipis. Pada Januari lalu, volume ekspor CPO naik 4% dibandingkan periode Desember 2018. Namun, karena jumlah hari yang lebih sedikit, volume ekspor CPO pada Februari 2019 turun 11%.
Meski begitu, penurunan volume ekspor tersebut masih bisa diimbangi oleh peningkatan konsumsi domestik yang pada Februari 2018 naik sebesar 11,05%.
Dari sisi suplai, produksi CPO di Indonesia pada Februari 2019 turun sebesar 7,4%.
Kondisi tersebut membuat stok CPO di awal tahun 2019 terus menunjukkan tren penurunan. Penurunan stok CPO juga terjadi di Malaysia berkat penerapan program B10 sejak awal Desember 2018 lalu.
Penurunan stok CPO di Indonesia dan Malaysia ini menjadi sentimen positif bagi harga CPO. Makanya, harga CPO di awal tahun ini mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan pasca keterpurukan pada akhir tahun lalu.
Namun, sejak akhir Februari lalu, harga CPO kembali sedikit melemah. Salah satu penyebabnya adalah sentimen negatif dari Uni Eropa.
Pada pertengahan Maret lalu, Komisi Uni Eropa memutuskan bahwa CPO merupakan produk tidak ramah lingkungan dalam skema Renewable Energy Directive (RED) II.
RED II merupakan rancangan undang-undang untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan menjadi 32% pada tahun 2030.
Komisi Uni Eropa menyebutkan, budidaya kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi berlebihan. Makanya, penggunaan CPO untuk bahan bakar transportasi harus dihapuskan.
Nah, Uni Eropa akan mengurangi penggunaan CPO secara bertahap mulai 2019 hingga 2023. Pada 2030, penggunaan CPO sebagai bahan baku biodiesel akan dihapuskan sama sekali.
RED II telah diajukan ke Parlemen dan Pemerintah Eropa untuk dimintakan persetujuan. Proses jajak pendapat di tingkat pemerintah telah dimulai pada 21 Maret 2019.
Pemerintah dan Parlemen Uni Eropa memiliki waktu dua bulan untuk memutuskan apaka akan menerima atau menolak rancangan tersebut.
Pemerintah Indonesia maupun Malaysia memang tidak tinggal diam menghadapi diskriminasi terhadap produk CPO. Selain melalui lobi-lobi, Indonesia maupun Malausia mengancam akan menyerang balik dengan memboikot produk Eropa.
Meski begitu, Analis Bahana Sekuritas Fauzan Luthfi Djamal mengatakan, kebijakan RED II cukup mengkhawatirkan untuk prospek industri sawit. Maklum, negara-negara Eropa merupakan importir terbesar CPO nomor dua.
Michael mengamini, jika Parlemen dan Pemerintah Eropa menyetujui RED II, industri sawit akan terkena dampak buruk. Sebab, penyerapan Eropa untuk biodiesel mencapai sekitar 7 juta ton per tahun.
Memang, Fauzan bilang, Eropa tidak akan langsung menyetop impor CPO. Mereka akan melakukannya secara bertahap hingga berhenti sama sekali pada 2030 mendatang.
Selain itu, Eropa juga akan kesulitan untuk secara penuh mengganti CPO sebagai bahan baku biofuel. Sebab, dibandingkan bahan baku minyak nabati lainnya, CPO memiliki yield paling tinggi.
Sembari menanti tenggat waktu hingga 2030, baik Indonesia maupun Malaysia bisa menggunakan waktu untuk mencari pasar ekspor di luar Eropa.
Fauzan memperkirakan, impor CPO India akan naik pada tahun ini. Sebab, diskon harga CPO sudah cukup jauh dibandingkan harga minyak kedelai.
Selain itu, sejak awal tahun ini, India sudah memangkas tarif bea masuk produk turunan CPO asal Indonesia dari 54% menjadi 50%.
Sementara peningkatan ekspor CPO ke China, menurut Fauzan, agak sulit. Sebab, China berencana menggelontorkan investasi untuk membuka lahan kedelai.
Katalis positif
Meski masih ada tantangan yang mengadang, faktor pemberat industri CPO mulai menipis. Sebaliknya, faktor positif terbuka lebar.
Tren penurunan jumlah persediaan CPO, menurut Michael, akan menjadi katalis positif bagi harga CPO ke depan.
Tahun lalu, kenaikan konsumsi CPO dunia mulai melebihi tingkat kenaikan produksi.Pada 2018, produksi CPO di dunia naik 4,2 juta ton. Kenaikan itu 30% lebih tinggi dibandingkan rata-rata kenaikan produksi CPO dalam lima tahun terakhir.
Sementara konsumsi CPO dunia pada 2018 lalu naik 4,9 juta ton. Dibandingkan rata-rata kenaikan dalam lima tahun terakhir, peningkatan konsumsi pada 2018 lalu naik dua kali lipat.
Faktor kedua yang akan mendongkrak harga CPO ke depan adalah implementasi program B20. Tahun lalu, konsumsi CPO di Indonesia naik sekitar 2,6 juta ton. Dari jumlah tersebut, kenaikan sebesar 2,3 juta ton merupakan konsumsi biodiesel.
Jadi, kenaikan konsumsi CPO di Indonesia ditopang oleh konsumsi biodiesel. Menurut Michael, jumlah tersebut akan terus meningkat dan positif bagi industri sawit di Indonesia.
Apalagi, Pemerintah telah menyiapkan peningkatan kewajiban pencampuran biodisel menjadi 30% alias B30. Rencananya, program B30 akan mulai diimplementasikan tahun ini atau setidaknya tahun depan.
Di sisi lain, Malaysia juga berencana meningkatkan pencampuran biodiesel menjadi 20%. Penerapan program B20 di sektor transportasi itu direncanakan mulai tahun depan.
Jika program B30 diimplementasikan, Analis Monex Investindo Futures Faisal memperkirakan, permintaan CPO akan meningkat sehingga harga CPO ikut terkerek.
JP Morgan, dalam riset 12 Februari lalu, memperkirakan, program B20 di Indonesia akan meningkatkan konsumsi biodisel menjadi sebesar 5,1 juta ton pada tahun ini. Sementara program B10 Malaysia akan mengerek konsumsi biodiesel menjadi 0,76 juta ton.
Namun, jika Indonesia menerapkan program B30, JP Morgan memproyeksikan, konsumsi biodisel akan naik menjadi 7,7 juta ton. Sementara jika Malaysia mengimplementasikan program B20, permintaan biodiesel akan naik menjadi 1,3 juta ton.
Menurut JP Morgan, upaya menaikkan kewajiban pencampuran biodiesel di Indonesia dan Malaysia akan mengerek kenaikan permintaan CPO sebesar 8% dibandingkan realisasi permintaan CPO dunia pada 2018.
Kenaikan tersebut, dalam pandangan JP Morgan, lebih dari cukup untuk mengompensasi rencana Uni Eropa melarang penggunaan biodiesel secara bertahap mulai 2023.
JP Morgan menilai, prospek dan tren harga CPO dalam jangka panjang masih positif. Tahun ini, harga CPO diperkirakan akan pulih secara bertahap dan akan lebih bullish mulai 2020 mendatang.
JP Morgan memproyeksikan, harga CPO pada tahun ini di kisaran RM 2.500 per metrik ton. Harga CPO akan ditopang oleh stok CPO yang mulai menurun di awal tahun ini dan pertumbuhan produksi yang lambat mulai tahun ini dan tahun depan.
Proyeksi Faisal, harga CPO tahun ini berada di kisaran RM 2.00 per metrik ton. Menurut dia, kondisi ekonomi global yang membaik akan memberikan dampak positif terhadap pergerakan harga CPO.
Mengikuti konsensus, Fauzan memproyeksikan, harga rata-rata CPO tahun ini di kisaran RM 2.500 per metrik ton. Menurut dia, pergerakan harga CPO sepanjang tahun ini lebih banyak bergantung dari permintaan lokal dan regional dari program biodiesel.
Karena itu, jika Indonesia dan Malaysia bisa mengimplementasikan program B20 dan B10 dengan baik, kondisi persediaan CPO akan bagus. Jika persediaan bisa dijaga di kisaran 1 juta ton, larangan penggunaan biodiesel oleh Uni Eropa tidak akan jadi ancaman.
Memang, semua masih akan bergantung pada implementasi di lapangan. Namun, sinyal pemulihan dan kenaikan sudah di depan mata.