Masalah Modal Murah

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor mikro, kecil dan menengah tidak pernah jauh dari perhatian pemerintah. Dari tahun ke tahun, agenda pemerintah yang terkait dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) tidak pernah absen. Tak terkecuali di masa Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Dalam satu tahun usia rezim Prabowo, daftar program yang menyasar sektor pebisnis kelas tanggung dan mini sudah lumayan panjang. Dalam program quick win, alias 100 hari pertama pemerintahannya, Presiden Prabowo memasukkan agenda penghapusan kredit macet di sektor UMKM.
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2024 memuat sejumlah ketentuan penting tentang pemutihan kredit UMKM tersebut. Dua di antaranya, nilai utang yang bisa dihapus maksimal Rp 500 juta untuk debitur badan usaha dan Rp 300 juta untuk debitur perorangan. Lalu, yang bisa dihapus adalah tunggakan yang tercatat di bank milik negara.
Setelah menghapus KUR lama yang tertunggak, pemerintah menambah lagi pembiayaan dengan krema kredit usaha rakyat (KUR). Dengan pagu mencapai Rp 130 triliun, KUR terbaru ini utamanya menyasar sektor perumahan.
Pemerintah juga menyiapkan pendanaan untuk menggulirkan program koperasi merah putih. Kendati punya bendera yang berbeda, namun koperasi ini sejatinya menyasar segmen yang sama dengan UMKM, yaitu wong cilik.
Dengan pendanaan murah yang berpihak ke segmen masyarakat bawah, kita patut bertanya mengapa rasio kewirausahaan di negara kita masih rendah jika dibandingkan dengan negara tetangga.
Mengutip pernyataan Menteri Perdagangan Budi Santoso pada Maret lalu, rasio kewirausahaan kita sebesar 3,57%. Rasio yang sama untuk Malaysia dan Thailand masing-masing berkisar 4%. Singapura punya rasio yang lebih tinggi lagi, yaitu 4%. Sedang negara-negara maju lazimnya memiliki rasio kewirausahaan di rentang 10%-12%.
Peningkatan rasio kewirausahaan di Indonesia lumayan memakan waktu. Dari riset pemberitaan, rasio kewirausahaan sebesar 1,6% pada 2014, dan naik ke 3,1% pada 2018.
Pertumbuhan rasio kewirausahaan yang tak sederas pendanaan berbiaya murah untuk UMKM itu seakan membenarkan dugaan bahwa pendekatan top down kerap tidak efektif dalam membangun ekonomi di tingkat bawah. Alih-alih menghilangkan kendala permodalan, insentif kredit murah malah kerap mengundang moral hazard.