Memahami Hubungan Antara Green Economy dan Greenflation

Senin, 29 Januari 2024 | 09:11 WIB
Memahami Hubungan Antara Green Economy dan Greenflation
[ILUSTRASI. Hans Kwee, Praktisi Pasar Modal, Dosen Magister Univeristas Trisakti dan Atma Jaya]
Reporter: Harian Kontan | Editor: Ahmad Febrian

KONTAN.CO.ID - JAKARTA.  Istilah greenflation menjadi pembicaraan setelah debat cawapres terakhir. Sehari setelah debat, penulis bertemu beberapa teman. Salah satu yang dibahas adalah greenflation. Teman tersebut mengatakan, anaknya yang sudah kuliah mempertanyakan istilah greenflation karena ketika di Google waktu itu tidak keluar. 

Greenflation adalah fenomena kenaikan harga barang dan jasa atau inflasi akibat konsekuensi dari transisi kegiatan ekonomi konvensional menjadi kegiatan perekonomian lebih ramah lingkungan atau net zero emissions. Net zero emissions atau nol emisi karbon adalah jumlah emisi karbon yang dilepas ke atmosfer tak melebihi jumlah emisi yang diserap bumi. Emisi karbon  yang naik ke atmosfer menimbulkan efek rumah kaca, sehingga meningkatkan suhu bumi. Lalu es kutub mencair, menaikkan permukaan laut dan menimbulkan bencana. 

Risiko kerusakan bumi mendorong konsep green economy atau ekonomi hijau. Green economy suatu konsep ekonomi meningkatkan kesejahteraan, kesetaraan sosial masyarakat dan mengurangi risiko kerusakan lingkungan. Kegiatan ekonomi tidak merusak lingkungan salah satunya tidak menghasilkan  karbondioksida. Selain itu ekonomi hijau adalah kegiatan ekonomi hemat sumber daya alam dan berkeadilan sosial. Dampak penerapan ekonomi hijau adalah greenflation.  

Greenflation bisa terjadi karena beberapa hal. Mulai naiknya inflasi akibat barang ramah lingkungan mengalami permintaan tinggi melebihi pasokan. Hal ini mendorong demand pull inflation. Greenflation juga terjadi karena konversi kegiatan ekonomi ke teknologi rendah karbon. Konversi ini membutuhkan investasi besar dan mahal. Juga riset dan development  mahal untuk menyempurnakan teknologi tersebut. 

Salah satu tantangan transisi ekonomi hijau adalah pembangkit listrik. Nanyak negara termasuk Indonesia masih mengandalkan batubara sebagai sumber energi utama. Ketika pemerintah ingin menggantikan menjadi energi baru terbarukan (EBT) tmenghadapi tantangan investasi dan biaya (harga jual yang lebih mahal). 

Beberapa EBT diklaim lebih murah daripada batubara. Namun EBT menghadapi beberapa kendala. Energi surya dan angin punya masalah atau pasokan tidak stabil. Panas bumi punya kendala di lokasi jauh dari pusat kegiatan masyarakat, sehingga meningkatkan biaya transmisi. 

Beberapa kendala ini ditambah biaya lebih mahal membuat sebagian EBT tidak feasible bila investasi. Hal ini mendorong banyak negara menerapkan pajak karbon untuk mendorong disinsentif kegiatan ekonomi tidak ramah lingkungan. Pajak karbon menaikkan biaya produksi yang berakibat harga jual produk meningkat. Kenaikan harga jual dapat mendorong kenaikan inflasi, menjadi salah satu sebab greenflation. 

Pemanfaatan bahan bakar nabati yang mengkonversi bahan nabati (bahan makanan) menjadi EBT juga menimbulkan masalah dalam jangka panjang. Jagung menghasilkan bahan bakar yang disebut etanol dengan melalui beberapa proses cukup panjang. Rencana biodiesel dengan mencampur minyak sawit ke bahan bakar sebenarnya sangat baik dan berpotensi menurunkan konsumsi minyak fosil yang akan semakin langka dan mahal. 

Baca Juga: Populer Istilah Greenflation alias Green Inflation Usai Debat Cawapres, Apa itu?

Namun saat dilakukan secara massal, terjadi perebutan bahan nabati atau pertanian, apakah untuk konsumsi atau energi? Bayangkan di tengah krisis pangan akibat perubahan iklim, terjadi peningkatan permintaan sebagian bahan pangan untuk dikonversi menjadi EBT. Di jangka panjang ini  mendorong kenaikan  harga barang-barang pertanian yang dikonversi menjadi bahan bakar nabati, sehingga terjadi greenflation. 

Konversi kendaraan berbasis energi fosil menjadi kendaraan listrik juga mendorong greenflation. Kendaraan listrik lebih mahal dibanding kendaraan berbahan bakar fosil. Banyak negara akan menaikan pajak kendaraan bahan bakar fosil. Hal ini mendorong inflasi transportasi dan industri kendaraan. 

Teknologi ramah lingkungan berpotensi menaikkan permintaan di jangka panjang. Seperti kendaraan listrik dan baterai. Permintaan baterai dan bahan baku pembuatnya meningkat dan mendorong komponen seperti nikel, litium mengalami kenaikan. Ketidakseimbangan demand dan supply berpotensi mendorong inflasi. Juga risiko kegiatan penambangan terhadap bahan baku baterai yang tidak sesuai aturan sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. 

Tambang nikel menimbulkan limbah bila tidak diolah secara benar. Nikel diproses lewat smelter yang membutuhkan pembangkit listrik, sebagian besar berbasis fosil,  batubara.

Pemerintah perlu memberi perhatian  risiko greenflation ketika transisi kegiatan ekonomi ke ekonomi hijau. Jawaban Mahfud MD dalam debat: perlu banyak kebijakan terkait transisi ekonomi hijau, sangat tepat. Pemerintah harus berhati-hati mendorong transisi ke ramah lingkungan dengan memperhatikan dampak ke masyarakat. 

Pelestarian lingkungan sangat penting, tapi kesejahteraan masyarakat harus diperhatikan. Kegiatan riset dan pengembangan akan membuat penemuan dan berpotensi jadi solusi  masalah transisi ekonomi dan mengurangi risiko greenflation.      

Bagikan

Berita Terbaru

Partisipasi Investor Milenial dan Gen Z di Pasar Saham Makin Semarak
| Minggu, 14 Desember 2025 | 10:04 WIB

Partisipasi Investor Milenial dan Gen Z di Pasar Saham Makin Semarak

Reli IHSG yang beberapa kali menembus rekor tertinggi, tak lepas dari meningkatnya aktivitas investor ritel, termasuk dari kelompok usia muda

Jantra Grupo (KAQI) Genjot Ekspansi Usai Raih Dana IPO
| Minggu, 14 Desember 2025 | 09:59 WIB

Jantra Grupo (KAQI) Genjot Ekspansi Usai Raih Dana IPO

Sebagian besar dana IPO terserap untuk belanja modal atau capital expenditure (capex) untuk pembangunan infrastruktur fisik. 

BEI Siapkan Pemberlakuan Periode Non Cancellation
| Minggu, 14 Desember 2025 | 09:43 WIB

BEI Siapkan Pemberlakuan Periode Non Cancellation

Bursa Efek Indonesia (BEI) akan menerapkan periode non-cancellation pada sesi pra-pembukaan dan pra-penutupan mulai 15 Desember 2025

Berkah Kenaikan Trafik Data Telekomunikasi
| Minggu, 14 Desember 2025 | 09:39 WIB

Berkah Kenaikan Trafik Data Telekomunikasi

Meskipun trafik data naik, emiten sektor telekomunikasih masih dibayangi persaingan harga yang ketat

IHSG Pekan Ini Tembus Rekor Baru, Waspada Sentimen Global
| Minggu, 14 Desember 2025 | 06:00 WIB

IHSG Pekan Ini Tembus Rekor Baru, Waspada Sentimen Global

IHSG mengakumulasi kenaikan 0,32% dalam sepekan terakhir. Sedangkan sejak awal tahun, IHSG menguat 22,33%.

Animo Investor Saham
| Minggu, 14 Desember 2025 | 05:50 WIB

Animo Investor Saham

​Kenaikan IHSG terdorong oleh peningkatan investor pasar modal di dalam negeri yang semakin melek berinvestasi saham.

Keandalan Menara MTEL Diuji Bencana Sumatera
| Minggu, 14 Desember 2025 | 05:35 WIB

Keandalan Menara MTEL Diuji Bencana Sumatera

Banjir dan longsor membuat layanan telekomunikasi di sejumlah wilayah Sumatera lumpuh. Dalam situasi ini, keandalan peru

Memutar Roda Bisnis yang Terhuyung di Pulau Andalas
| Minggu, 14 Desember 2025 | 05:10 WIB

Memutar Roda Bisnis yang Terhuyung di Pulau Andalas

Banjir dan longsor yang melanda Sumatera akhir November bukan hanya merenggut ratusan nyawa, tapi bikin meriang perdagangan.

 
Transaksi Pembayaran Lewat QRIS Semakin Semarak
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 10:11 WIB

Transaksi Pembayaran Lewat QRIS Semakin Semarak

BI menargetkan volume transaksi QRIS tahun 2025 mencapai 15,37 miliar atau melonjak 146,4% secara tahunan dengan nilai Rp 1.486,8 triliun 

CIMB Niaga Syariah Jajaki Konsolidasi dengan BUS
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 10:07 WIB

CIMB Niaga Syariah Jajaki Konsolidasi dengan BUS

Bank CIMB Niaga berpotensi memiliki bank syariah beraset jumbo. Pasalnya, bank melakukan penjajakan untuk konsolidasi dengan bank syariah​

INDEKS BERITA

Terpopuler