KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Learning languages opens up doors to new worlds. Mungkin hal inilah yang mendasari banyak orang tergerak untuk belajar bahasa asing. Salah satunya Bahasa Inggris. Coba tengok, kursus Bahasa Inggris di Indonesia menjamur. Di setiap tempat kursus selalu dipenuhi oleh mereka yang ingin belajar, bukan hanya orang dewasa, tapi juga anak-anak. Tujuan mereka sama, yakni bisa menguasai Bahasa Inggris.
Ini wajar, karena di era globalisasi seperti sekarang, Bahasa Inggris bisa menjadi modal dalam meniti karier. Mengartikan kalimat di awal tadi, Bahasa Inggris bisa membuka kesempatan seseorang untuk bekerja, studi, dan berbisnis dengan skala internasional. Tak heran jika kemudian program kursus Bahasa Inggris menjadi salah satu usaha yang menjanjikan.
Peluang besar di bisnis ini sudah dibuktikan oleh para pendiri English Cafe (EC) yang bermarkas di Jalan Timoho, Yogyakarta. Lembaga kursus ini telah menjalankan program kursus Bahasa Inggris sejak Februari 2012.
Berbeda dengan lembaga sejenis lainnya yang memberikan program kursus Bahasa Inggris di dalam ruangan, English Cafe justru menawarkan sensasi berbeda, yakni mengajar les di kafe atau kedai minum kopi yang lazim dijadikan tempat kongkow para kawula muda. Tentu bukan tanpa alasan EC menawarkan program kursus di kafe.
Mochammad Zaenullah, Chief Executive Officer (CEO) English Cafe berkisah, lembaga kursus yang dipimpinnya ini didirikan oleh tiga alumnus Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Mereka adalah Muhammad Hamli, Waskito Jati, dan Durrotul Masudah. "Yang punya ide pertama membuka program kursus di kafe adalah Hamli," kata pria yang akrab disapa Zen itu.
Nah, ketika itu pencetus merasa bahwa belajar Bahasa Inggris selalu identik dengan belajar mengajar di dalam kelas atau ruangan formal. "Pendiri merasa, situasi belajar seperti itu sangat menjemukan. Karena itu, kenapa tidak mencoba konsep lain, yakni belajar Bahasa Inggris di kafe. Apalagi, di Yogyakarta banyak kafe," imbuh pria berusia 24 tahun itu.
Kerjasama dengan kafe
Untuk memudahkan peserta kursus belajar Bahasa Inggris di kafe, lanjut Zen, pihaknya menjalin kerjasama dengan para pemilik kafe. Zen menyebutkan, saat ini EC sudah menjalin kerjasama dengan 70 kafe di Yogyakarta. Sistem kerjasama yang dijalin EC dan pemilik kafe adalah economic sharing.
Pemilik kafe akan mendapatkan pemasukan dari menu makanan dan minuman yang dibeli oleh member EC dan staf pengajar EC yang biasa disebut Chef. Namun, menu makanan dan minuman yang dibeli Chef, dibayar pihak EC. Biasanya, kata Zen, seorang Chef bisa menghabiskan biaya Rp 400.000 per bulan untuk beli menu di kafe.
Zen menambahkan, ada dua level program Bahasa Inggris yang ditawarkan EC kepada peserta kursus, yakni grammar (tata Bahasa) dan speaking (pengucapan). Peserta juga bisa memilih model program, yakni private dan reguler.
Untuk model private yang biasanya diisi 12 peserta, EC membanderol tarif jasa kursus Rp 750.000 per bulan. Sedangkan tarif jasa reguler dipatok Rp 450.000. Jumlah peserta pada paket reguler berkisar 1015 orang. Masing-masing model berlaku untuk 30 kali pertemuan belajar yang dibagi selama tiga bulan lamanya. Sekali pertemuan biasanya butuh waktu sekitar 90 menit.
Biaya sebesar tadi belum termasuk paket pembelian buku program yang dibanderol Rp 110.000 per pieces. Untuk model privat, member bisa memilih tempat, apakah di kafe, di rumah dan tempat lainnya. Mereka juga bisa menentukan waktu belajarnya, yakni siang, sore atau malam, beber Zen.
Zen mengklaim, saat ini ada sekitar 25.000 member yang terdaftar di 118 cabang EC yang tersebar di 50 kota di seluruh Indonesia seperti Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, dan Makassar. Sebagian besar member adalah kalangan pelajar dan masyarakat umum dengan rentang usia 7 tahun hingga 35 tahun.
Dengan jumlah member dan cabang sebanyak itu, kata Zen, omzet usaha EC bisa tembus Rp 500 juta per bulan dengan margin sekitar 40%.
Banyaknya jumlah cabang dan member EC itu lantaran pihaknya menerapkan sistem franchise (waralaba) bagi para pelaku usaha yang berminat terjun ke bisnis kursus Bahasa Inggris. Saat ini, jumlah pihak yang membeli lisensi EC atau terwaralaba sekitar 80 orang.
Demi menjaring terwaralaba sebanyak itu, ada sejumlah strategi yang dilakukan manajemen EC. Di antaranya, English Cafe mengandalkan strategi pemasaran secara daring alias online. Untuk itu, EC mengandalkan website perusahaan dan media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter.
Selain itu, EC juga gencar melakukan pemasaran luar jaringan (luring) alias offline. Salah satunya dengan menyebarkan brosur program dan paket kursus Bahasa Inggris ke sejumlah institusi pendidikan seperti sekolah dan universitas. EC juga menyebarkan brosur ke berbagai komunitas pelajar.
Tarif waralaba
Bagi yang berminat membeli lisensi waralaba EC, kata Zen, pihaknya membanderol tarif franchise hanya Rp 10 juta. Tentu, biaya sebesar itu belum termasuk untuk menyewa gedung kantor cabang dan gaji Chef. Biasanya, gaji Chef Rp 50.000 untuk satu kali pertemuan.
Setelah membayar francshise, kepemilikan lisensi berlaku seumur hidup. Pihak EC pusat hanya akan mengevaluasi program kursus dalam jangka waktu satu tahun sekali. Pada masa evaluasi ini, pihak terwaralaba tidak dikenakan biaya lagi.
Melihat peluang bisnis yang menjanjikan, Herman Busri pun tertarik untuk membuka cabang EC di Bandung, Jawa Barat. Kendati EC menerapkan sistem franchise, Herman mengaku tidak membeli lisensi EC lantaran salah satu pendirinya, yakni Mohammad Hamli, adalah teman kuliahnya di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. "Saat itu modal saya paling sekitar Rp 500.000 untuk pemasaran saja, seperti mencetak brosur dan lain-lain," kata Herman.
Saat ini, Herman sudah punya sembilan cabang EC yang tersebar di Bandung dan sekitarnya. Sama seperti EC pusat, Herman juga menerapkan dua paket kursus, yakni private dan reguler. Namun, ada perbedaan tarif dan masa pertemuan belajar mengajar. Pada paket private, Herman mematok biaya Rp 799.000 per bulan dan reguler Rp 499.000. Adapun, masing-masing biaya untuk 50 kali pertemuan dalam jangka waktu tiga bulan. "Saat ini, kami sudah punya 300 member," imbuh pria berusia 28 tahun tersebut.
Dus, jika dihitung, omzet usaha Herman dari kursus Bahasa Inggris ini berkisar Rp 150 juta sampai Rp 240 juta per bulan.
Anda berminat membuka usaha kursus Bahasa Inggris ala EC? Tidak ada salahnya mencoba. Namun, ada beberapa kendala yang bisa menghambat perkembangan bisnis ini.
Menurut Zen, salah satu kendala utama bisnis ini adalah mencari sumber daya manusia untuk tenaga pengajar. Saat ini, kata Zen, jumlah Chef EC di seluruh Indonesia hanya sekitar 200 orang. Jadi, jika dibagi per cabang, jumlah Chef EC saat ini hanya sekitar 12 orang. Jumlah ini tentu tidak memadai untuk membimbing puluhan peserta kursus di satu cabang.
Itu sebabnya, EC tak memberlakukan syarat khusus bagi mereka yang tertarik menjadi Chef. Tidak ada kualifikasi TOEFL. Calon Chef hanya diharuskan melalui tahap berbagai seleksi, antara lain, tes tulis, interview dan micro teaching. Sebagian besar Chef EC adalah mahasiswa, papar Zen.
Bukan cuma itu. Sesuai namanya, kursus ala EC adalah belajar mengajar Bahasa Inggris dengan suasana santai di kafe. Persoalannya, meski ada jalinan kerja sama, para pemilik kafe tidak bisa menyediakan ruangan khusus atau private room bagi member saat menjalani kursus di kafe. Ini artinya, bukan mustahil, member akan merasa tidak nyaman, sehingga memutuskan untuk berhenti menjalani kursus.
Tapi, jika Anda bisa mengatasi kendalanya, bisnis kursus Bahasa Inggris dengan metode belajar di kafe ini patut dicoba. EC ini satu-satunya lembaga kursus di Indonesia yang menawarkan konsep belajar di kafe. Kami tidak punya saingan dengan konsep serupa, tandas Zen dengan nada berpromosi.
Anda tertarik?