Menyelesaikan Paradoks Indonesia

Jumat, 25 Oktober 2024 | 03:05 WIB
Menyelesaikan Paradoks Indonesia
[ILUSTRASI. Pekerja kelas menengah menggunakan transportasi umum menuju tempat kerjanya di Jakarta, Senin (21/10/2024). Meski membahas banyak persoalan ekonomi, dalam pidato pelantikan Presiden, Prabowo tidak menyinggung keresahan kelas menengah seperti daya beli dan jumlah kelas menengah yang turun. Saat kampanye, Prabowo janji buka 19 juta lapangan kerja baru. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/21/10/2024]
Desmon Silitonga | Alumnus Pascasarjana FEB UI

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dalam buku yang ditulis oleh Presiden Prabowo Subianto berjudul Paradoks Indonesia dan Solusinya (2022), Indonesia sudah cukup lama mengalami paradoks, yaitu kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah dan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang besar, teryata tidak mampu membuat Indonesia menjadi negara maju dan makmur. 

Sebaliknya, kemiskinan, kebodohan dan ketimpangan masih tetap mendera jutaan rakyat Indonesia. Kualitas SDM tidak mengalami lompatan yang signifikan. Hal ini tampak dari tenaga kerja Indonesia yang masih didominasi oleh lulusan SD ke bawah (BPS, 2024). Selain itu, perekonomian Indonesia juga menjadi memiliki ketergantugan yang tinggi terhadap impor, mulai dari pangan, bahan baku/perantara industri, minyak, mesin/kendaraan sampai teknologi. Setiap tahun, Indonesia harus mengeluarkan devisa yang besar untuk kebutuhan impor ini. 

Baca Juga: Permintaan Data Center Telkom Terus Meningkat, Diyakini Jadi Revenue Generator

Demikian juga dengan investasi yang masuk, baik sektor riil dan portofolio belum mampu memberikan banyak peluang pekerjaan. Hasil keutungan investasi itu kerap di bawah keluar (repatriasi). Situasi ini memberikan imbas pada rentannya rupiah mengalami tekanan, ketika muncul repatriasi ini terjadi. 

Kondisi sektor keuangan juga sangat dangkal, sehingga memiliki keterbatasan untuk membiayai pembangunan ekonomi. Kedangkalan sektor keuangan ini tecermin dari rasio kredit perbankan terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada 2023, rasio kredit perbankan Indonesia terhadap PDB hanya 38%. Angka ini lebih rendah dibandingkan Malaysia (134%), Thailand (130%), India (57%), China (160%), Vietnam (135%). 

Baca Juga: Turun Sejak Tahun 2018, Produktivitas Beras Nasional Menjadi PR Pemerintahan Prabowo

Dalam buku itu, Presiden Prabowo Subianto memberikan ilustrasi menarik. Pada 1985, perekonomian China hanya 3,6 kali lebih besar dari perekonomian Indonesia. Namun, setelah 30 tahun, perekonomin Cina mencapai 12,8 kali lebih besar dari perekonomian Indonesia. Hal ini terjadi karena dalam 30 tahun tersebut, ekonomi China tumbuh rata-rata 10% per tahun. Sementara ekonomi Indonesia rata-rata hanya tumbuh 5,5% per tahun. Pertumbuhan ekonomi China yang tinggi ini mampu menurunkan tingkat kemiskinan dan menciptakan jumlah kelas menengah yang besar. 

Untuk itulah, Presiden Prabowo Subianto memiliki ambisi besar untuk menyelesaikan paradoks ini dengan menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 8% dalam jangka menengah panjang. Target ini lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi dalam 10 tahun terakhir sebesar 5%.

Baca Juga: Indodax Sudah Bergabung ke Bursa Kripto, Siapa Saja Daftar Anggotanya Kini?

Untuk merealisasikan target pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini, maka pemerintahan Prabowo Subianto mencanangkan Asta Cita yang diturunkan dalam 17 program prioritas, mulai dari swasembada pangan, energi, air, reformasi politik, hukum dan birokrasi, pencegahan dan pemberantasan korupsi, pemberantasan kemiskinan, penguatan pendidikan, sains, teknologi dan digitalisasi, sampai hilirisasi dan industrilisasi berbasis sumber daya alam dan maritim. 

Tantangan Indonesia

Meski begitu, tantangan yang dihadapi tidaklah mudah. Perekonomian global pascapandemi cenderung melambat dengan ketidakpastian tinggi. Dalam update World Economic Outlook (WEO) yang baru-baru ini dirilis oleh Dana Moneter International (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 2024-2025 mandek di level 3,2%. Proyeksi ini kurang memuaskan dibandingkan rata-rata pertumbuhan ekonomi global sepanjang 2009-2019 di level 3,8%. 

Baca Juga: Tekanan Rupiah Bisa Berlanjut hingga 2025

Meski banyak negara mampu mengatasi inflasi tinggi, sehingga membuka ruang bagi penurunan suku bunga dan diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi, akan tetapi risiko tetap mengancam, khususnya makin terpolarisasinya geopolitik. Polarisasi geopolitik ini membuat lembaga dunia, seperti PBB, IMF, Bank Dunia dan WTO tidak bertaji untuk memberikan solusi dalam mengatasi perang (militer dan dagang), perubahan iklim, revolusi teknologi dan demografi makin menua.

Perlambatan kinerja ekonomi global ini tentu saja berdampak pada perekonomian. Sebagai contoh, perlambatan pertumbuhan ekonomi China sebesar 1% diperkirakan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 0,2%-0,5%. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari makin eratnya kerja sama perdagangan dan investasi Indonesia dengan China. Oleh sebab itu, mitigasi kebijakan harus disiapkan untuk menghadapi perlambatan ekonomi global dan berbagai risiko yang mengikutinya. 

Baca Juga: IMF Ramal Ekonomi Hanya Tumbuh 5,1%

Sementara dari sisi domestik, tantangannya juga cukup serius, berupa merosotnya daya beli kelas menengah. Padahal, peran kelas menengah sangat vital dalam menjaga kinerja pertumbuhan ekonomi. Selain itu, minimnya proteksi kebijakan yang dilakukan pemerintah terhadap industri, khususnya tekstil membuat PHK terus bergulir di sektor ini. Jika PHK tak bisa dihentikan, maka daya beli akan makin merosot. Ironisnya, di tengah situasi itu, pemerintah tidak mampu membuka peluang lapangan kerja baru, khususnya di sektor formal. Alhasil, jutaan masyarakat harus memperebutkan sektor informal dengan upah rendah serta perlindungan yang minim. 

Memang, investasi langsung (direct investment) selalu tercapai target. Namun, investasi itu lebih banyak mengalir di sektor padat modal yang dimiliki segelintir pemodal (oligarki). Bukan mengalir  masuk ke sektor padat karya. Alhasil, investasi yang besar itu tidak bisa dinikmati oleh lebih banyak lapisan masyarakat. 
Oleh sebab itulah, agar pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkesinambungan dapat dicapai untuk menyelesaikan paradoks Indonesia, maka dibutuhkan strategi yang benar, manajemen yang baik, dan pemerintahan yang bersih. 

Baca Juga: Pengembang Properti Membidik Program 3 Juta Rumah

Pidato perdana Prabowo Subianto yang sangat berapi-api saat pelantikannya sebagai Presiden memberikan kesan bagi publik bahwa Prabowo memiliki niat baik untuk menyelesaikan paradoks Indonesia. Semoga kesan baik ini tampak nyata dari kebijakan-kebijakannya. Sehingga, tidak sekadar omon-omon belaka. Juga tidak menjadi ide-ide mati yang hanya dituliskan di pustaka. 

Publik menantikan pembuktikan dari ide-ide Presiden Prabowo Subianto. Apalagi, pemerintahannya mendapat sokongan politik yang sangat kuat di parlemen. Selain itu, hasil survei Litbang Kompas pada September 2024 menunjukkan Presiden Prabowo memiliki modal sosial yang kuat, yaitu memiliki citra baik (81%) keyakinan yang tinggi (di atas 70%) dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada.  

Baca Juga: Penuhi Aturan EUDR, Tata Kelola Sawit Diperbaiki

Presiden Prabowo juga disokong Kabinet Merah Putih dalam ukuran jumbo, mencapai 135 orang. Jumlah kabinet terbesar dalam sejarah. Butuh kepemimpinan kuat dan efektif untuk mengelola kabinet jumbo seperti ini. 

Pada akhirnya, semua rakyat menanti hasil kerja pemerintah Prabowo untuk menciptakan kemakmuran bagi semua lapisan. Sehingga, tidak ada lagi lansia yang harus menarik becak di usia rentanya, seperti yang selalu disinggung Prabowo dalam berbagai kesempatan. Selamat bekerja Presiden Prabowo Subianto dan Kabinet Merah Putih. 

Selanjutnya: Minat Investasi di Obligasi Naik, Dana Kelolaan Wealth Management Melesat

Bagikan

Berita Terbaru

Pangan vs Iklim
| Jumat, 25 Oktober 2024 | 03:06 WIB

Pangan vs Iklim

Dengan kenaikan suhu 1,4 derajat Celcius saja, bencana hidrometeorologi seperti banjir sudah sering terjadi.

Pemerintah akan Hapus Buku dan Hapus Tagih Kredit Macet Petani dan Nelayan
| Jumat, 25 Oktober 2024 | 03:06 WIB

Pemerintah akan Hapus Buku dan Hapus Tagih Kredit Macet Petani dan Nelayan

Bank menanti aturan pemutihan hapus buku dan hapus tagih. 

Hasil Investasi Dapen Terkerek Yield Obligasi
| Jumat, 25 Oktober 2024 | 03:06 WIB

Hasil Investasi Dapen Terkerek Yield Obligasi

Hasil Investasi Dapen Terkerek Yield Obligasi

Ramai Sentimen, Sekuritas Harap Berkah Akhir Tahun
| Jumat, 25 Oktober 2024 | 03:06 WIB

Ramai Sentimen, Sekuritas Harap Berkah Akhir Tahun

Ramai Sentimen, Sekuritas Harap Berkah Akhir Tahun

Return SBN Masih Tinggi, Penempatan Dana Bank di SBN Meningkat
| Jumat, 25 Oktober 2024 | 03:05 WIB

Return SBN Masih Tinggi, Penempatan Dana Bank di SBN Meningkat

Kepemilikan sektor perbankan di SBN per Agustus 2024 mencapai Rp 2.240,21 triliun.

Menyelesaikan Paradoks Indonesia
| Jumat, 25 Oktober 2024 | 03:05 WIB

Menyelesaikan Paradoks Indonesia

Jika PHK tak bisa dihentikan, maka daya beli masyarakat akan semakin merosot.

Minat Investasi di Obligasi Naik, Dana Kelolaan Wealth Management Melesat
| Jumat, 25 Oktober 2024 | 03:05 WIB

Minat Investasi di Obligasi Naik, Dana Kelolaan Wealth Management Melesat

BNI Emerald menyebut jumlah nasabah wealth management tumbuh 20%. 

Kabar Duka Datang dari Industri Tekstil Nasional, Ancaman Badai PHK Belum Berlalu
| Jumat, 25 Oktober 2024 | 03:05 WIB

Kabar Duka Datang dari Industri Tekstil Nasional, Ancaman Badai PHK Belum Berlalu

Pemerintahan Prabowo Subianto perlu memperluas lapangan kerja dan melindungi industri dalam negeri dari barang impor ilegal.

Misi Lama dari Badan Baru di Pemerintahan Prabowo
| Jumat, 25 Oktober 2024 | 00:28 WIB

Misi Lama dari Badan Baru di Pemerintahan Prabowo

Pembentukan badan baru berpotensi tumpang tindih dengan tugas kementerian.

Permintaan Data Center Telkom Terus Meningkat, Diyakini Jadi Revenue Generator
| Kamis, 24 Oktober 2024 | 18:23 WIB

Permintaan Data Center Telkom Terus Meningkat, Diyakini Jadi Revenue Generator

Pendapatan data center dan cloud Telkom (TLKM) pada semester I 2024 meningkat 22% YoY menjadi Rp 1 triliun. 

INDEKS BERITA

Terpopuler