Menyoal Efektivitas Giant Sea Wall

Selasa, 05 November 2024 | 02:50 WIB
Menyoal Efektivitas Giant Sea Wall
[ILUSTRASI. Sejumlah anak bermain air di dekat Giant Sea Wall atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) di kawasan Muara Baru, Jakarta Utara, Rabu (3/1/2018). Ketika air laut pasang anak-anak dikawasan tersebut lebih suka bermain air disana. Tribunnews/Jeprima]
Arif Aditiya | Mahasiswa Doktoral Nagoya University; Anggota PCI Muhammadiyah Jepang

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wacana mega proyek pembangunan giant sea wall (GSW) yang ditaksir mencapai ratusan triliun rupiah sebagai solusi banjir rob semakin kencang digaungkan oleh pemerintahan baru.

Program ini menarik perhatian publik karena menawarkan solusi yang terkesan konkret, yaitu dinding raksasa yang bisa menahan luapan air laut dan melindungi kawasan pesisir. Namun, jika ditelaah lebih dalam, solusi ini baru menyentuh permukaan masalah tanpa menyinggung akar penyebab yang lebih kompleks. 

Penurunan tanah dan banjir rob pada wilayah pesisir pantura merupakan kuantifikasi interaksi faktor alami dan aktivitas manusia yang terjadi selama bilangan dekade.

Baca Juga: Sagu Sampai Silika Digadang Masuk RPJMN, Sudah Digarap CUAN, Sinarmas, dan Sampoerna

Membangun GSW tanpa memperhatikan aspek lain seperti halnya "anastesi" penyakit lingkungan, hanya sementara dan dapat memunculkan problematika lain. Meski dapat memberikan efek jangka pendek, solusi tersebut dapat menciptakan masalah ekologis dan ekonomi bagi kaum nelayan di masa depan.

Banjir rob terjadi ketika air laut meluap ke daratan akibat puncak pasang. Kondisi ini diperburuk oleh penurunan tanah (land subsidence) yang terjadi di sepanjang kota-kota besar pesisir seperti Jakarta, Pekalongan, Semarang dan Demak. 

Baca Juga: Diborong Deutsche Bank hingga Goldman Sachs, Analis Kompak Rekomendasi Buy Saham BMRI

Berbagai hasil riset menunjukkan laju penurunan tanah di area pantura relatif besar, mencapai 10 kali lipat dari rata-rata kenaikan muka laut global. Penurunan tanah terjadi karena berbagai faktor, di antaranya konsolidasi tanah alami, kompresi lapisan tanah akibat pembangunan infrastruktur berat dan ekstraksi air tanah berlebihan. Kondisi ini diperburuk oleh perubahan iklim berakibat akselerasi kenaikan permukaan laut di wilayah sekitar Asia Pasifik mencapai 4 mm per tahun, lebih tinggi dari rata-rata global.

Pembangunan GSW bukan hal baru dan solusi tunggal yang cermat karena dinding tersebut hanya akan memperlambat dan memunculkan masalah ekologi dan agraria. Hal yang dikhawatirkan seperti terjadi di Sayung Demak akibat proyek tol Semarang - Demak. Di sisi lain GSW yang dibuat pun menjadi bagian dari infrastruktur berat, yang berarti menjadi pemacu peningkatan laju subsidence.

Baca Juga: Banyak Pabrik Tutup, Utilisasi Industri Tekstil Makin Redup

Pembangunan GSW memerlukan investasi sangat besar, baik biaya pembangunan maupun pemeliharaannya. Namun investasi tersebut belum sebanding dengan manfaat jangka panjang yang ditawarkan. Berbagai studi menunjukkan bahwa GSW cenderung memperburuk ekosistem pesisir karena mengubah pola aliran air (sungai), arus, akselerasi kompresi lapisan tanah, erosi dan menghilangkan habitat alami pesisir, seperti lahan basah (wetlands) dan mangrove.  

Selain itu, pembangunan GSW berisiko menciptakan rasa aman yang semu sehingga masyarakat dan pemerintah cenderung mengabaikan atau menunda penanganan penyebab utama lain yakni penurunan tanah. Tanpa diiringi kebijakan mengurangi ekstraksi air tanah dengan pembangunan sistem penyediaan air minum (SPAM) dan memulihkan ekosistem pesisir, GSW hanyalah solusi sementara yang kurang efektif.

Baca Juga: Masih Ada Risiko, BPK Minta BI Evaluasi dan Sempurnakan BI-FAST

Berkaca pada proyek Delta Works (Belanda), kita bisa belajar bahwa meskipun GSW mampu menahan air laut untuk beberapa waktu, namun kerusakan ekosistem pesisir dan perubahan iklim serta lingkungan tetap dirasakan. Lebih lanjut, kenaikan permukaan laut yang terus meningkat membuat dinding laut terus diperbarui dan diperkuat, sebuah biaya yang sangat mahal dan kurang memprioritaskan aspek lingkungan.

Restorasi ekologi

Salah satu pendekatan yang efektif, efisien, berkelanjutan dan ramah lingkungan adalah berbasis ekologi. Setidaknya dua hal yang dapat dilakukan, pertama adalah restorasi hutan mangrove dan lahan basah di wilayah pesisir. Selain mencegah erosi, mangrove memiliki kemampuan menahan gelombang laut dan menstabilkan garis pantai. 

Baca Juga: Pemerintah Siapkan Beleid Pemutihan Utang UMKM

Selain itu, akar mangrove membantu mengikat tanah, sehingga mampu mengurangi dampak banjir rob secara alami. Program penanaman mangrove secara masif dan terencana bisa menjadi solusi jangka panjang yang jauh lebih murah dan berkelanjutan dibandingkan pembangunan GSW. Hal lainnya, restorasi mangrove sebagai upaya penyerap karbon yang efisien, mengunci karbon dalam jumlah besar di dalam  biomassa dan sedimen, membantu mitigasi perubahan iklim. 

Kedua, pembangunan sumur resapan dan biopori sebagai restorasi air tanah dan mitigasi risiko banjir rob. Penurunan tanah di kota besar pesisir, seperti Pekalongan, Semarang dan Demak umumnya disebabkan oleh penggunaan air tanah yang berlebihan untuk industri (seperti batik), pertanian hingga konsumsi rumah tangga. Dengan adanya sumur resapan, diharapkan merestorasi lapisan akuifer sehingga menekan laju penurunan tanah.

Baca Juga: Insentif Pajak Hingga Pemangkasan Tarif Jadi Prioritas

Upaya lain mengurangi laju subsidence yang sudah terbukti efektif adalah sistem penyediaan air minum (SPAM) yang memungkinkan masyarakat mengakses air permukaan yang diolah daripada mengandalkan air tanah, seperti terlihat di Jakarta. 

Studi dengan satelit radar dan data Badan Konservasi Air Tanah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa laju penurunan tanah di Jakarta selama lima tahun terakhir (0-6 cm per tahun) melambat dibandingkan dengan satu dekade lalu. 

Baca Juga: Proyek di Banten Masuk Program 3 Juta Rumah

Perlambatan ini tidak terlepas dari upaya pemerintah setempat dalam penyediaan akses terhadap air minum bersih melalui pembangunan infrastruktur air minum. Selain itu, pemerintah perlu terus berupaya meningkatkan efisiensi distribusi air permukaan sebagai solusi yang lebih berkelanjutan dibandingkan konsumsi air tanah. Program ini harus menjadi bagian integral dari kebijakan pengelolaan kota-kota pesisir, khususnya wilayah urban dengan kondisi tanah alluvial, untuk mencegah masalah penurunan tanah di masa mendatang.

Sebagai penutup, GSW belum dapat menjadi solusi efektif jika tidak diiringi restorasi ekologis. Pemerintah seharusnya mengedepankan pendekatan ekologis sebagai upaya berbasis lingkungan berkelanjutan. Restorasi mangrove, pemulihan air tanah dan pembangunan SPAM adalah solusi yang efisien dan efektif untuk mengatasi banjir rob dan penurunan tanah, sambil menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan pesisir.

Baca Juga: Pemerintah akan Perpanjang Batas Waktu Penempatan Devisa Hasil Ekspor di Dalam Negeri

Semua langkah di atas tidak hanya menyelesaikan masalah banjir rob dan penurunan tanah, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem dan keberlanjutan lingkungan di wilayah pesisir. 

Dengan ekologi pesisir yang baik dan seimbang dapat memberikan manfaat bagi ekosistem dan ekonomi lokal. Hutan mangrove penting bagi spesies ikan dan satwa liar, yang berarti restorasi mangrove juga akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir yang bergantung pada sektor perikanan. 

Jika serius ingin melindungi kota-kota pesisir dari ancaman banjir rob dan penurunan tanah, kita harus mulai menyentuh akar masalahnya, bukan hanya menambal persoalan di permukaan yang terlihat. 

Bagikan

Berita Terbaru

Kesepakatan Transfer Data Jangan Korbankan Publik
| Jumat, 25 Juli 2025 | 06:05 WIB

Kesepakatan Transfer Data Jangan Korbankan Publik

Pemerintah berjanji bakal melindungi data publik saat terjadi transfer data oleh perusahaan Amerika Serikat.

Alhamdulillah Investor Saham Syariah Tumbuh 9,7%, Kalahkan Sepanjang Tahun 2024
| Jumat, 25 Juli 2025 | 06:04 WIB

Alhamdulillah Investor Saham Syariah Tumbuh 9,7%, Kalahkan Sepanjang Tahun 2024

Jumlah itu lebih besar ketimbang total investor saham syariah sepanjang tahun 2024 sebanyak 169.397.

Ada Potensi Laju Kredit Konsumer Membaik
| Jumat, 25 Juli 2025 | 06:00 WIB

Ada Potensi Laju Kredit Konsumer Membaik

Data BI mencatat kredit konsumer per Juni 2025 tumbuh sebesar 8,49% secara tahunan, sedikit melambat dari Mei yang tumbuh 8,82%

Harga Pangan Tinggi Saat Permintaan Rendah
| Jumat, 25 Juli 2025 | 06:00 WIB

Harga Pangan Tinggi Saat Permintaan Rendah

Sejumlah komoditas pangan saat ini terpantau harganya masih tinggi salah satunya adalah beras premium dan medium.

Kinerja Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) Akan Terangkat Proyek Premium Baru
| Jumat, 25 Juli 2025 | 06:00 WIB

Kinerja Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) Akan Terangkat Proyek Premium Baru

PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) aktif meluncurkan proyek joint venture (JV) untuk mendongkrak kinerja 

Djarum Memborong Saham Treasuri SSIA, Nilainya Segini
| Jumat, 25 Juli 2025 | 05:59 WIB

Djarum Memborong Saham Treasuri SSIA, Nilainya Segini

Harga saham itu rata-rata harga penutupan perdagangan harian di BEI selama 90 hari terakhir sebelum penjualan kembali saham.

Setelah Menjebol 7.500 dan Jelang Libur Akhir Pekan, Simak Rekomendasi Saham Hari Ini
| Jumat, 25 Juli 2025 | 05:50 WIB

Setelah Menjebol 7.500 dan Jelang Libur Akhir Pekan, Simak Rekomendasi Saham Hari Ini

Di jangka menengah hingga panjang, IHSG menguat selama di atas 7.450-7.500. Tapi di jangka pendek rentan mengalami koreksi terbatas.

Pengoplos Beras Terjerat Pasal Pencucian Uang
| Jumat, 25 Juli 2025 | 05:20 WIB

Pengoplos Beras Terjerat Pasal Pencucian Uang

Satgas Pangan mengumumkan ada sebanyak lima merek beras premium yang diduga dioplos oleh pemegang merek.

Waspada, Penguatan IHSG Masih Rapuh
| Jumat, 25 Juli 2025 | 05:19 WIB

Waspada, Penguatan IHSG Masih Rapuh

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) rawan berbalik arah, karena saham blue chip lesu dan net foreign sell masih besar

Tiba-Tiba ARA, Saham Ini Gantikan DCII Sebagai Top Leaders IHSG
| Jumat, 25 Juli 2025 | 05:05 WIB

Tiba-Tiba ARA, Saham Ini Gantikan DCII Sebagai Top Leaders IHSG

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakumulasi kenaikan 3,35% dalam sepekan. Sedangkan sejak awal tahun, IHSG menguat 6,37%.

INDEKS BERITA

Terpopuler