Moody's: Peningkatan Tensi Perang Dagang Mengaburkan Prospek Ekonomi Global

Senin, 10 Juni 2019 | 14:47 WIB
Moody's: Peningkatan Tensi Perang Dagang Mengaburkan Prospek Ekonomi Global
[]
Reporter: Herry Prasetyo | Editor: A.Herry Prasetyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Di tengah pertumbuhan global yang menunjukkan tanda-tanda stabilisasi, peningkatan ketegangan antara Amerika Serikat (AS) dan China telah mengaburkan prospek ekonomi global.

Dalam laporan terbarunya mengenai Global Macro Outlook 2019-2010, Moody's Investors Service menyebutkan, ada dua perkembangan baru yang telah menciptakan ketidakpastian signifikan.

Pertama, sengketa perdagangan AS-China semakin meningkat. Masing-masing pihak mengenakan tarif tambahan bagi lawannya.

Jika ketegangan terus berlarut-larut atau meningkat, Moody's memperkirakan, perang dagang antara AS dan China akan meninggalkan dampak abadi pada ekonomi global.

Ancaman baru AS yang membebankan tarif pada semua impor dari Meksiko, menurut Moody's, juga menjadi sinyal ketidakpastian kebijakan perdagangan AS.

Kedua, memburuknya ketegangan antara AS dan Iran berpotensi membalikkan keseimbangan di Timur Tengah. Hal ini berpotensi memicu harga minyak melonjak dan selanjutnya memperumit keputusan ekonomi di lingkungan yang serba tidak pasti.

Sementara itu, risiko utama lainnya tetap bertahan. Misalnya, tiga tahun setelah memilih untuk meninggalkan Uni Eropa, jalan Inggris menuju Brexit hingga saat ini masih belum jelas.

Moody's memperkirakan, pertumbuhan ekonomi gobal akan melambat menjadi 2,8% di 2019 dan 2020. Di negara-negara industri maju G-20, Moody's memperkirakan penurunan ekonomi dari tren di atas 2,2% pada 2018 menjadi 1,7% pada 2019 dan 1,5% pada 2020.

Sebaliknya, pertumbuhan negara berkembang yang tergabung di G-20 akan menurun dari 5% pada 2018 menjadi 4,6% pada 2019 dan 4,9% pada 2020.

Dengan demikian, deselerasi di negara maju ke tingkat pertumbuhan sangat rendah, menurut Moody's, mencerminkan dua faktor: pertumbuhan produktivitas yang moderat dan penuaan populasi. Sebaliknya, ekonomi di banyak pasar berkembang telah mencapai palung.

Moody's memperkirakan, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil pada 2019 akan lebih lemah untuk sejumlah negara berkembang, termasuk China, India, Rusia, Meksiko, dan Indonesia. Ini merupakan dampak masalah spesifik di masing-masing negara dan pertumbuhan perdagangan yang lebih lambat.

Kecuali China yang pertumbuhannya akan terus melambat, sebagian besar negara berkembang lainnya di G-20 kemungkinan akan menguat di 2020. Namun, tanpa ada permintaan eksternal yang kuat, pertumbuhan produktivitas yang loyo akan membatasi pertumbuhan ekonomi di Brasil, Meksiko, dan Afrika Selatan.

Bagikan

Berita Terbaru

Meski Tengah Downtrend, TLKM Dinilai Punya Fondasi Kinerja Lebih Sehat di 2026
| Senin, 22 Desember 2025 | 09:13 WIB

Meski Tengah Downtrend, TLKM Dinilai Punya Fondasi Kinerja Lebih Sehat di 2026

Saham TLKM tertekan jelang tutup tahun, namun analis melihat harapan dari FMC dan disiplin biaya untuk kinerja positif di 2026.

Kepala BMKG: Perubahan Iklim Sudah Berada di Tingkat Kritis
| Senin, 22 Desember 2025 | 08:43 WIB

Kepala BMKG: Perubahan Iklim Sudah Berada di Tingkat Kritis

Simak wawancara KONTAN dengan Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani soal siklon tropis yang kerap terjadi di Indonesia dan perubahan iklim.

Emiten Berburu Dana Lewat Rights Issue
| Senin, 22 Desember 2025 | 08:19 WIB

Emiten Berburu Dana Lewat Rights Issue

Menjelang tutup tahun 2025, sejumlah emiten gencar mencari pendanaan lewat rights issue. Pada 2026, aksi rights issue diperkirakan semakin ramai.

Strategi Rotasi Saham Blue Chip Saat Transaksi Mulai Sepi
| Senin, 22 Desember 2025 | 08:11 WIB

Strategi Rotasi Saham Blue Chip Saat Transaksi Mulai Sepi

Menjelang libur akhir tahun 2025, transaksi perdagangan saham di BEI diproyeksi cenderung sepi. Volatilitas IHSG pun diperkirakan akan rendah. 

Saham MORA Meroket Ribuan Persen, Ini Risiko & Peluang Pasca Merger dengan MyRepublic
| Senin, 22 Desember 2025 | 08:05 WIB

Saham MORA Meroket Ribuan Persen, Ini Risiko & Peluang Pasca Merger dengan MyRepublic

Bagi yang tidak setuju merger, MORA menyediakan mekanisme pembelian kembali (buyback) dengan harga Rp 432 per saham.

Tekanan Restitusi Pajak Bisa Berlanjut di 2026
| Senin, 22 Desember 2025 | 07:58 WIB

Tekanan Restitusi Pajak Bisa Berlanjut di 2026

Restitusi pajak yang tinggi, menekan penerimaan negara pada awal tahun mendatang.                          

Omzet UKM Tertekan, Daya Beli Jadi Beban
| Senin, 22 Desember 2025 | 07:53 WIB

Omzet UKM Tertekan, Daya Beli Jadi Beban

Mandiri Business Survey 2025 ungkap mayoritas UKM alami omzet stagnan atau memburuk. Tantangan persaingan dan daya beli jadi penyebab. 

APBD Tersendat, Dana Daerah Mengendap
| Senin, 22 Desember 2025 | 07:43 WIB

APBD Tersendat, Dana Daerah Mengendap

Pola serapan belanja daerah yang tertahan mencerminkan lemahnya tatakelola fiskal daerah.                          

Saham UNTR Diprediksi bisa Capai Rp 32.000 tapi Disertai Lampu Kuning Akibat Batubara
| Senin, 22 Desember 2025 | 07:41 WIB

Saham UNTR Diprediksi bisa Capai Rp 32.000 tapi Disertai Lampu Kuning Akibat Batubara

Target penjualan alat berat PT United Tractors Tbk (UNTR) untuk tahun fiskal 2026 dipatok di angka 4.300 unit.

Angkutan Barang Terganggu Pembatasan
| Senin, 22 Desember 2025 | 07:32 WIB

Angkutan Barang Terganggu Pembatasan

kendaraan dengan trailer atau gandengan, serta angkutan yang membawa hasil galian, tambang, dan bahan bangunan.

INDEKS BERITA