Berita Ekonomi

Naikkan Peringkat Utang Indonesia, Ini Penjelasan S&P Global Ratings

Jumat, 31 Mei 2019 | 18:11 WIB
Naikkan Peringkat Utang Indonesia, Ini Penjelasan S&P Global Ratings

Reporter: Herry Prasetyo | Editor: A.Herry Prasetyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lima hari menjelang Hari Raya Idul Fitri, Indonesia memperoleh kado indah dari lembaga pemeringkat global Standard & Poor's (S&P) Global Ratings. Kado indah itu adalah kenaikan peringkat kredit jangka panjang Indonesia dari BBB- menjadi BBB.

Pada saat bersamaan, S&P juga menaikan peringkat kredit jangka pendek Indonesia dari A-3 menjadi A-2. Prospek kedua peringkat tersebut ditetapkan stabil.

Terakhir kali, hadiah kenaikan peringkat dari S&P datang pada Mei dua tahun lalu. Saat itu, S&P menaikkan peringkat kredit Indonesia menjadi layak investasi alias investment grade di posisi BBB-.

Kenaikan peringkat menjadi BBB mencerminkan prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat. Keputusan kenaikan peringkat juga mencerminkan dinamika kebijakan yang akan tetap mendukung pertumbuhan ekonomi menyusul terpilihnya kembali Presiden Joko Widodo.

Menurut S&P Global Ratings, peringkat Indonesia terus didukung oleh utang pemerintah yang relatif rendah dan kinerja fiskal yang moderat. faktor ini menyeimbangkan kelemahan yang terkait dengan ekonomi berpenghasilan menengah ke bawah dan penerimaan transaksi berjalan alias current account receipts (CAR) yang rendah.

Ada dua pertimbangan yang menopang kenaikan peringkat Indonesia menjadi BBB. Pertama, dari sisi profil kelembagaan dan ekonomi, Indonesia memiliki pertumbuhan di atas rata-rata dan kesiambunagan kebijakan yang mendukung kelayakan kredit.

Kedua, dari sisi profil fleksiblitas dan kinerja, Indonesia memiliki defisit fiskal yang harus dijaga di kisaran 2% dengan potensi adanya reformasi subsidi.

Di sisi profil kelembagaan dan ekonomi, S&P mengatakan, kinerja kuat Presiden Widodo dalam pemilihan memerlukan kesinambungan kebijakan selama lima tahun ke depan. Indonesia tumbuh lebih cepat dibandingkan negara-negara dengan tingkat pendapatan yang sama.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih cepat dibandingkan negara-negara dengan pendapatan yang sama  mencerminkan pembuatan kebijakan pemerintah telah efektif dalam mempromosikan keuangan publik yang erkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi yang seimbang.

Pertumbuhan produk domestik bruto (PD) per kapita riil di Indonesia sebesar 4,1% berdasarkan rata-rata tertimbang selama 10 tahun. Menurut S&P, pertumbuhan tersebut cukup mengesankan dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan PDB negara-negara dengan pendapatan yang sama di kisaran 2,2%. Hal ini menunjukkan dinamika ekonomi Indonesia yang konstruktif di tengah lingkungan eksternal yang penuh tantangan dalam beberapa tahun terakhir.

Hasil resmi menunjukkan bahwa Pemilihan Presiden Indonesia 2019 telah memberikan Jokowi mandat baru meskipun Prabowo Subianto terus membantah hasilnya. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi yang mungkin hasilnya akan diketahui dalam beberapa bulan ke depan.

Meskipun perselisihan dan kerusuhan terkait hasil pilpres menambah ketidakpastian lingkungan politik di Indonesia, S&P berharap, hal itu tidak berdampak secara material pada lingkungan kebijakan jangka panjang maupun prospek ekonomi Indonesia.

Lembanga politik dan kebijakan di Indonesia, menurut S&P, pada umumnya stabil dan bebas dari tantangan terhadap legitimasi mereka. Sementara pemerintah Joko Widodo telah menerapkan langkah-langkah kebijakan menjelang pemilihan untuk mendukung daya beli dan konsumsi. Selain meyakini langkah tersebut hanya bersifat sementara, S&P berharap momentum reformasi akan meningkat begitu pemerintah baru berjalan.

Masyarakat Indonesia pada umumnya kohesif meskipun terhampar di banyak pulau. Berita dan informasi mengalir dengan bebas di Indonesia. Kebijakan utama dan perubahan lainnya dipublikasikan dan diperdebatkan dengan baik. Indonesia menerbitkan statistik ekonomi, fiskal, dan keuangan dengan tepat waktu dan terperinci.

Meski begitu, Indonesia bisa dibilang tertinggal dibandingkan negara dengan pendapatan yang sama dalam masalah pemerintahan seperti pengendalian korupsi. Meski telah menunjukkan peningkatan selama lima tahun terakhir, S&P menilai, kemajuan pengendalian korupsi lebih lanjut akan dibutuhkan untuk menarik lebih banyak peningkatan penanaman modal asing (PMA) langsung.

Ekonomi Indonesia masih dianggap berpenghasilan menengah ke bawah. Sebagai eksportir komoditas dan importir modal, Indonesia bergantung pada perubahan kondisi eksternal. Kendala utama peringkat Indonesia adalah PDB per kapita yang S&P perkirakan mencapai US$ 4.200 pada 2019. Pertumbuhan tren per kapita Indonesia yang kuat di kisaran 4,1%, menurut S&P, akan membantu mengurangi kelemahan ini dari waktu ke waktu dengan asumsi nilai tukar rupiah yang bergerak stabil.

Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat bergantung pada permintaan domestik. Dari sudut pandang pengeluaran, konsumsi telah menjadi kontributor pertumbuhan PDB riil meski investasi juga telah memberikan kontribusi yang cukup besar selama lima tahun terakhir.

Tren ini, menurut S&P, harus tetap ada jika Presiden Joko Widodo dan pemerintahannya terus fokus pada investasi di bidang infrastruktur dan sumber daya manusia. Kontribusi dari ekspor bersih, di sisi lain, tercatat negatif pada periode yang sama. Sehingga, arus perdagangan bersih telah mengurangi 1,1% pertumbuhan PDB riil pada 2018.

Di sisi profil fleksibilitas dan kinerja, S&P menyebutkan, Indonesia harus tetap menjaga defisit fiskal di kisaran 2% dengan kembalinya Joko Widodo sebagai presiden dalam lima tahun ke depan. Pengaturan moneter relatif lebih ketat mengikuti kenaikan suku bunga pada 2018 dan pelonggaraan moneter dimungkinkan.

Mesikupun utang eksternal dan kebutuhan likuiditas Indonesia terhitung moderat, memburuknya kondisi perdagangan baru-baru ini menghadirkan beberapa risiko penurunan.

Dalam pandangan S&P, beban utang pemerintah relatif ringan. S&P memperkirakan, rasio utang pemerintah yang stabil selama beberapa tahun ke depan mencerminkan keseimbangan fiskal yang diproyeksikan cukup stabil.

Defisikt fiskal pemerintah turun ke level terendah pada 2018 lalu. S&P berharap, defisit fiskal tetap stabil di bawah 2% dari PDB selama empat tahun ke depan.

Setelah pemilu pada April lalu, S&P meyakini, beberapa subsidi yang tersisa bisa dibatalkan atau dikurangi untuk mendukung konsolidasi fiskal pemerintah. Sebaliknya, Joko Widodo harus meningkatkan alokasi anggaran untuk tujuan sumber daya manusia dan infrastruktur yang telah dinyatakan presiden dalam masa jabatan keduanya.

S&P memproyeksikan, utang pemerintah bersih tetap nyaman di bawah 30% dari PDB mengingat defisit fiskal yang terkendali dan pertumbuhan PDB nominal yang konsisten.

Di atas beban utang yang relatif moderat ini, S&P berharap, kewajiban kontinjensi yang pemerintah hadapi tetap terbatas. Secara khusus, pemerintah menanggung paparan terbatas terhadap jaminan eksplisit dengan kontrol yang cukup ketat.

Orientasi pemerintah yang meningkat terhadap pinjaman dalam negeri, bersama dengan suku bunga yang lebih tinggi sejak 2018, telah menaikkan biaya bunga dalam beberapa tahun terakhir. Namun, pembayaran bunga harus tetap di bawah 10% ari pendapatan umum pemerintah dalam tiga tahun ke depan. Ini terutama karena pertumbuhan berkelanjutan dalam basis pendapatan peerintah relatif terhadap PDB.

Pendapatan yang lebih tinggi terkait dengan harga energi yang tinggi, menurut S&P, juga harus membantu pendapatan pemerintah. Utang pemerintah tetap tunduk pada beberapa risiko valuta asing karena sekitar 40% utang berdenominasi mata uang asing. Pergeseran kompdisisi dalam pinjaman pemerintah bisa menurunkan rasio ini di bawah 40% dalam dua tahun ke depan.

Dalam penilaianya, S&P juga mengulas peran Bank Indonesia sebagai bank sentral yang berperan dalam mempertahankan pertumbuhan akonomi dan guncangan ekonomi maupun keuangan di Indonesia.

BI, menurut S&P, telah memiliki independensi operasional yang signifikan untuk mengejar target kebijakan moneter jak 2005, saat BI secara resmi mengadopsi Inflation Targeting Framework. Sejak itu, BI mengelola inflasi sejalan dengan negara-negara regional. Hasilnya, tekanan harga terkendali sejak awal 2010.

BI semakin bergantung pada instrumen berbasis pasar dalam menerapkan kebijakan moneter. Sistem keuangan juga telah tumbuh dengan mantap dalam beberapa tahun terakhir. Fleksibilitas moneter telah ditambah dengan meningkatkan fleksibilitas rupiah.

Pada 2018, BI menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 175 basis poin untuk mencegah tekanan dari volatilitas yang lebih tinggi di pasar keuangan internasional. S&P meyakini, pendekatan proaktif ini membantu mengelola risiko yag berasal dari kerentanan eksternal Indonesia.

S&P memperkirakan, defisit neraca berjalan Indonesia akan menyusut dalam beberapa tahun ke depan. Hal ini mencerminkan permintaan global yang stabil dan pemulihan dalam hal perdagangan.

Meskipun kondisi perdagangan Indonesia dan keseluruhan posisi transaksi berjalan memburuk pada tahun 2018, S&P menilai, tren ini tidak bersifat struktural. Pembalikan rata-rata sebagian akan mendorong peningkatan bertahap pada neraca berjalan sampai tahun 2022, terutama karena persyaratan perdagangannya menjadi normal.

S&P memperkirakan, total utang luar negeri, setelah dikurangi aset likuid yang dimiliki oleh sektor publik dan keuangan, turun menjadi sekitar 87% terhadap CAR dalam tiga hingga empat tahun ke depan.

Beban utang luar negeri Indonesia telah meningkat selama lima tahun terakhir. Utang luar negeri bruto berjumlah lebih dari sepertiga dari PDB pada akhir 2018. Menurut S&P, penerimaan transaksi berjalan perlu tumbuh lebih cepat untuk meningkatkan rasio utang luar negeri terhadap PDB.

Tingkat dukungan untuk ekspor yang berasal dari depresiasi mata uang memiliki batasnya mengingat Indonesia adalah pengekspor komoditas yang signifikan yang umumnya dihargai di pasar global. Namun demikian, fleksibilitas rupiah harus memberikan beberapa manfaat bagi metrik eksternal Indonesia selama tiga hingga lima tahun ke depan.

Pada saat yang sama, fleksibilitas itu memungkinkan bank sentral untuk memelihara cadangan devisa yang cukup. Bersama dengan langkah-langkah kebijakan yang hati-hati untuk mengelola risiko pinjaman luar negeri jangka pendek sektor swasta, kebutuhan pembiayaan eksternal bruto (pembayaran rekening giro ditambah utang luar negeri jangka pendek) harus turun menjadi sekitar 96% dari CAR ditambah cadangan yang dapat digunakan pada tahun 2022, dibandingkan tepat di atas 100% pada tahun 2019.

S&P meilai, Indonesia tidak akan menghadapi risiko luar biasa dari penurunan yang mencolok dalam biaya pembiayaan eksternal. Hal ini berdasarkan pada akses kuat yang berkelanjutan ke pasar dan investasi asing langsung selama beberapa tahun terakhir, bahkan selama periode volatilitas eksternal akut.

Prospek peringkat yang stabil mencerminkan pandangan S&P bahwa lingkungan kebijakan yang konstruktif di Indonesia akan mendukung prospek pertumbuhannya di tahun-tahun mendatang dan meningkatkan profil kredit yang lebih luas dari pemerintah.

S&P bisa menaikkan peringkat jangka panjang jika pengaturan eksternal Indonesia meningkat secara material dari level saat ini atau jika pengaturan fiskal membaik sehingga defisit pemerintah secara umum dan perubahan terkait dalam utang bersih turun jauh di bawah 1% dari PDB selama dua tahun ke depan.

Sebaliknya, S&P bisa menurunkan peringkat jika pertumbuhan ekonomi melambat secara substansial selama dua tahun ke depan. Penurunan peringkat juga memungkinkan jika S&P mengamati melemahnya posisi eksternal atau fiskal Indonesia.

Indikasi tekanan pada peringkat tersebut adalah utang pemerintah umum bersih dan defisit anggaran masing-masing melebihi 30% dan 3% dari PDB secara berkelanjutan atau biaya bunga yang melebihi 10% dari pendapatan pemerintah.

Indikasi pelemahan pengaturan eksternal Indonesia adalah likuiditas (persyaratan pembiayaan bruto sebagai persentase dari penerimaan transaksi berjalan dan cadangan devisa) secara konsisten melebihi 100% dan mempersempit utang luar negeri bersih di atas 100% CAR.

Kemunduran seperti itu bisa terjadi jika kondisi perdagangan Indonesia terus memburuk tanpa kompresi volume impor secara bersamaan dan pertumbuhan ekspor riil secara material berkinerja di bawah ekspektasi S&P.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan, Indonesia menyambut baik hasil asesmen S&P yang positif. Indonesia kini memperoleh status investment grade dengan level yang sama dari ketiga lembaga rating utama, yaitu S&P, Moody’s dan Fitch.

Hal ini menunjukkan bahwa lembaga-lembaga rating tersebut memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap prospek perekonomian Indonesia, didukung oleh sinergi kebijakan moneter, sektor keuangan, dan fiskal yang diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi, dengan tetap mendorong momentum pertumbuhan ekonomi.

"Ke depan, Bank Indonesia dan Pemerintah tetap berkomitmen untuk melanjutkan reformasi struktural untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, berimbang, dan inklusif,” ujar Perry dalam siaran pers.

Terbaru