KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemanfaatan tenaga kerja asing sepertinya sudah jamak di zaman sekarang. Kenyataannya, tidak ada satu negara di dunia yang punya stok sumber daya memadai di semua bidang, di seluruh level.
Tentu, baik di sini ataupun di luar negeri, ada aturan bagi orang asing yang ingin masuk bekerja. Orang asing perlu lisensi dari pemerintah untuk bekerja di sini.
Pemerintah suatu negara, termasuk di Indonesia, adalah pemegang kunci untuk membukakan pintu bagi orang dari luar negeri untuk bekerja di wilayahnya.
Namun sesuatu yang lazim, bukan tidak mungkin menuai kegaduhan. Ini yang terjadi saat Pemerintah Indonesia mengungkap rencana penggunaan tenaga kerja asing (TKA) dalam pembangunan ibu kota baru, yang biasa disingkat IKN.
Kabar itu pertama kali diungkap Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Pandjaitan dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR pada Jumat pekan lalu. Dalam sebuah seremoni di kantornya, Menko Luhut melontarkan lagi niat itu berikut alasannya.
Inti penjelasan Menko Luhut, pemanfaatan TKA perlu karena belum tersedia sumber daya yang dibutuhkan. Jadi, penggunaan TKA itu untuk memastikan bangunan yang dihasilkan berkualitas.
Penyebab banyaknya kontra terhadap rencana yang terdengar biasa-biasa itu, juga bisa dimaklumi. Dari seluruh penduduk kita yang berkisar 270 juta orang, masih ada 5%-an yang menganggur.
Pemanfaatan TKA menjadi isyu yang makin seksi karena masyarakat di sini cenderung pendek ingatan. Tak banyak yang mengingat kalau Maret tahun lalu, Presiden Joko Widodo sudah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2023 tentang Pemberian Perizinan Berusaha, Kemudahan Berusaha dan Fasilitas Penanaman Modal bagi Pelaku Usaha di IKN. Aturan itu membuka peluang pemanfaatan tenaga kerja asing di IKN.
Dengan konteks semacam itu, pemerintah sudah seharusnya lebih cermat menyampaikan rencana tentang pemanfaatan TKA. Alih-alih cuma menyodorkan narasi yang keliwat sederhana tentang urgensi menggunakan TKA, pemerintah seharusnya menggunakan argumentasi yang lebih spesifik.
Bukankah kita sudah memiliki neraca tenaga kerja di sektor konstruksi? Mengapa tidak menggunakan data di neraca untuk meyakini publik bahwa kebutuhan tenaga kerja di IKN melampaui pasokan yang tersedia?