Nihil Efek BI Rate

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia telah memangkas suku bunga acuan BI Rate hingga lima kali sepanjang tahun ini. Langkah itu seharusnya membuat bunga kredit di perbankan sudah turun dan konsumsi rumah tangga meningkat.
Nyatanya, efek pelonggaran moneter itu belum terasa di lapangan. Konsumsi masyarakat dan daya beli masih rendah. Dunia usaha belum berani menambah investasi, kecuali untuk refinancing utang lama.
Meskipun BI sudah menurunkan bunga acuan menjadi 4,75%, suku bunga kredit dan suku bunga simpanan di perbankan masih tinggi. Akibatnya, masyarakat dan pelaku usaha belum merasakan biaya pinjaman yang lebih murah.
Ekonom menilai, kondisi ini menunjukkan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter di Indonesia belum sepenuhnya efektif. Banyak bank masih berhati-hati menurunkan bunga kredit karena mempertimbangkan biaya dana (cost of fund), risiko kredit, dan tekanan likuiditas.
Selain itu, persaingan dana pihak ketiga yang ketat membuat bank belum bisa menurunkan bunga simpanan secara signifikan. Akibatnya, bunga kredit tetap tinggi meski BI sudah melonggarkan kebijakan moneter.
Banyak bank masih menawarkan bunga deposito yang relatif besar untuk menjaga likuiditas dan menarik dana masyarakat. Akibatnya, ruang untuk menurunkan bunga kredit menjadi sempit. Risiko kredit juga masih tinggi di tengah ketidakpastian ekonomi sehingga perbankan berhati-hati menyalurkan pinjaman baru.
Sektor riil, terutama usaha kecil dan menengah, masih menghadapi tekanan permintaan yang lemah dan biaya produksi tinggi.
Lambatnya transmisi suku bunga berdampak langsung pada laju kredit dan investasi. Data Bank Indonesia menunjukkan, pertumbuhan kredit per September 2025 mencapai 7,70% secara tahunan. Angka ini di bawah batas prediksi BI tahun ini antara 8%11%.
Fasilitas pinjaman yang belum dicairkan atawa undisbursed loan mencapai Rp 2.375 triliun atau 22,54% dari total plafon kredit yang tersedia.
Kredit konsumsi dan kredit investasi sama-sama tumbuh lambat. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang 52% PDB Indonesia.
Sementara sektor usaha menunda ekspansi karena biaya modal belum turun signifikan. Akibatnya, motor pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan domestik belum kembali ke kecepatan penuh.