KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Protech Mitra Perkasa Tbk (OASA) ingin memacu kinerja tahun ini. Strateginya adalah mendiversifikasi bisnis ke sektor energi baru terbarukan (EBT) berupa pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan panel surya.
Protech Mitra sudah menggandeng tiga perusahaan swasta yang bergerak dalam sektor kelistrikan. Ketiga mitra bisnisnya tersebut mampu menghasilkan listrik sebesar 2 megawatt (mw). Sementara aneka peralatan panel surya akan mereka datangkan dari China.
Target realisasi proyek listrik panel surya tahun ini juga. Mereka akan memasang sendiri panel surya tersebut. "Kami sudah memiliki pembeli potensial dan memiliki penawaran," kata Anton Santoso, Komisaris Utama PT Protech Mitra Perkasa Tbk usai rapat umum pemegang saham (RUPS), Jumat (12/4).
Protech Mitra tidak mengungkapkan calon pembeli dan nilai kontrak pembelian yang didapatkan. Perusahaan itu hanya menyebutkan, target kontribusi bisnis listrik panel surya tahun ini 30%-50% terhadap total pendapatan.
Yang pasti, pengembangan bisnis listrik panel surya bukan tanpa tantangan. Sebab, Protech Mitra menilai aturan pemerintah belum memuaskan. Salah satunya adalah karena PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) hanya bersedia membeli listrik dengan harga 45% dari harga jual.
Sebagai informasi, Peraturan menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 50/2019 mengatur tentang listrik surya atap. Lewat beleid tersebut, konsumen bisa mentransfer energi listrik dari panel surya ke PLN kemudian disalurkan kembali ke jaringan listrik rumah tangga.
Padahal prospek bisnis listrik panel surya tak diragukan lagi. Indonesia sebagai negara beriklim tropis, menawarkan sumber listrik matahari yang tak terbatas.
Selain itu, teknis listrik panel surya juga lebih praktis ketimbang pembangkit listrik lain. Manajemen Protech Mitra menyebutkan, pemasangan instalasinya hanya memakan waktu sebulan.
Sembari mengawal diversifikasi bisnis baru, Protech Mitra mengejar pendapatan Rp 50 miliar dan laba bersih Rp 5 miliar. Tahun lalu pendapatannya turun 28,57% year on year (yoy) menjadi Rp 22,83 miliar. Namun, rugi yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk alias rugi bersih, berkurang hampir dua kali lipat menjadi Rp 758,33 miliar.
Penyebab kerugian tahun 2018 adalah molornya waktu pengerjaan sejumlah proyek. Alhasil, biaya operasional membengkak. "Tahun ini, kami akan selektif memilih proyek dengan margin yang bagus," ujar Anton.