Pajak E-Commerce Tuai Pro Kontra, Bagaimana Kesiapannya?

Kamis, 07 Februari 2019 | 09:25 WIB
Pajak E-Commerce Tuai Pro Kontra, Bagaimana Kesiapannya?
[]
Reporter: Narita Indrastiti | Editor: Narita Indrastiti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Beleid pajak e-commerce masih menjadi buah bibir di kalangan pebisnis di industri ini. Aturan yang akan berlaku mulai 1 April 2019 tersebut masih menuai pro kontra.

Pemerintah mengklaim, peraturan soal pajak e-commerce itu mengusung aspek keadilan karena aturan itu tak memberi perlakuan perpajakan yang berbeda di antara pedagang konvensional dan online. Dengan begitu, Direktorat Jenderal Pajak juga bisa menjaring wajib pajak baru. 

Wajar jika Ditjen Pajak ingin mengail peluang dari pertumbuhan e-commerce yang semakin besar. Mengutip riset Google–Temasek, nilai transaksi perdagangan online di Indonesia bisa mencapai US$ 12,2 miliar dalam setahun.

Dalam PMK No. 210/2018 itu, pebisnis dan pedagang di e-commerce perlu menyetor Nomor Pokok Wajib pajak (NPWP) dan Nomor Induk Kependudukan (NIK). 

Pelaku usaha wajib membayar pajak Penghasilan (PPh) sesuai ketentuan yang berlaku. Jika perputaran omzet e-commerce di bawah Rp 4,8 miliar dalam setahun, maka pelaku usaha dikenakan tarif PPh UMKM final 0,5%. 

Namun, jika nilai perputaran omzetnya melebihi Rp 4,8 miliar, operator e-commerce akan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena pajak (PKP). Penyedia platform marketplace juga harus melaporkan rekapitulasi transaksi yang dilakukan para pedagang pengguna platform.

Hestu Yoga Saksama, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak mengatakan, aturan ini sejatinya bukan aturan pajak baru, lantaran nilai pungutannya sama dengan para pedagang konvensional. 

Ia memastikan, beleid ini hadir untuk memberikan kemudahan administrasi dan mendorong kepatuhan perpajakan para pelaku e-commerce. "Ketentuan pajak bagi pelaku e-commerce tidak ada yang baru. Sekarang pun sudah berlaku. Ini lebih ke marketplace, agar menyertakan NPWP dan NIK," ujarnya kepada KONTAN. 

Pemberlakuan syarat NPWP dan NIK pun fleksibel dan bisa disesuaikan. "Misalnya mahasiswa atau ibu rumah tangga yang hanya berdagang kecil-kecilan, tidak punya NPWP, ya sudah berikan NIK saja," ujarnya. 

Di sisi lain, masih banyak pelapak online yang merasa aturan ini akan menjadi beban. Ketua Umum Asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan, sebagian besar pedagang online masih merupakan pedagang level mikro. Pengusaha mikro ini juga banyak yang belum punya model bisnis solid. Sehingga, bisnisnya belum tentu dapat bertahan dalam jangka panjang. 

Sehingga, ada kekhawatiran, penerapan aturan ini bisa memberatkan para pedagang di marketplace. Tak menutup kemungkinan pula, para pedagang ini berpindah lapak ke sosial media, seperti Instagram dan Facebook yang pengawasannya lemah. 

Pungutan pajak untuk transaksi e-commerce ini pun ditanggapi oleh para pedagang yang mengandalkan marketplace seperti Tokopedia dan Bukalapak sebagai tempat jual beli. Priyo Agung, pemilik bisnis jas hujan muslimah Sheba mengatakan, selama ini, ia memang sudah memiliki NPWP. 

Tapi, Sheba juga memasarkan produknya memanfaatkan jasa agen atawa reseller yang juga menggunakan platform marketplace. Saat ini, ada sekitar 60 agen Sheba di seluruh Indonesia."Nah agen-agen ini banyak yang pendapatannya juga masih mikro. Jadi pemungutan pajak ini juga bisa memberatkan," ujarnya. 

Menanti Peraturan Dirjen

Saat ini, Ditjen Pajak masih terus berdiskusi dengan para pelaku bisnis e-commerce, terutama untuk merumuskan Peraturan Dirjen yang akan mengatur teknis aturan pajak tersebut. Setelah itu, barulah Ditjen Pajak akan melakukan sosialisasi ke sekitar 300 marketplace di Indonesia, termasuk ke para pelapak. 

Salah satu yang akan diatur dalam Perdirjen adalah soal cara pengumpulan data dan pelaporan omzet. "Kami akan diskusikan, bagaimana cara pelaporannya, dan sebagainya. Itu akan diatur dalam Perdirjen," imbuh Hestu. 

Setidaknya ada dua poin yang diusulkan oleh iDEA. Pertama, peraturan ini hanya digunakan untuk mengumpulkan data pajak seperti NIK dan NPWP. "Kami akan minta ketegasan lagi, kalau hal ini tidak berlaku untuk semua, terutama pedagang kecil," ujarnya.

Lalu, untuk pelaporan NPWP, Ignatius mengatakan, marketplace bisa saja menggunakan konektivitas mesin ke mesin. Dengan kata lain, para penyedia lapak online akan menyediakan kolom NPWP dan NIK yang harus diisi. 

Kedua, iDEA meminta Ditjen Pajak juga melakukan hal yang sama untuk platform media sosial, sehingga, bisa terjadi kesamaan level of playing field. Pasalnya, banyak pula pedagang beromzet besar yang hanya mengandalkan platform sosial media untuk berjualan. 

Sayangnya, nilai transaksi jual beli yang dilakukan melalui sosial media tak dapat terekam dengan akurat. Sehingga, para pedagang yang menjajakan produknya lewat sosial media, hanya bisa melakukan self assessment untuk pelaporan pajak. Berbeda dengan marketplace yang memiliki data pasti soal omzet para pedagang yang menggunakan platform tersebut.

Karena itulah, Ignatius meminta Ditjen Pajak agar memberlakukan aturan pajak ini tanpa batasan. "Artinya, kalau mau dagang lewat sosmed, kami minta Ditjen Pajak memberlakukan kewajiban punya NPWP. Karena sosial media kan sifatnya klaim pribadi. Bisa saja omzetnya miliaran, tapi yang dilaporkan hanya jutaan," ujarnya. 

Hestu menjelaskan, karakteristik platform media sosial memang berbeda. Sehingga, sejauh ini yang bisa dilakukan Ditjen Pajak adalah melakukan pengawasan di media sosial. Pajak juga tengah menyisir satu persatu potensi pendapatan pajak dari para pengguna youtube, instagram, dan facebook yang bisa meraup pendapatan besar dari media tersebut. "Selama ini, sudah banyak juga yang dengan kesadaran sendiri melakukan pelaporan," imbuhnya.

Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, aturan pajak e-commerce ini memang akan cukup efektif mendongkrak wajib pajak. Beberapa marketplace memiliki jutaan pedagang. Tokopedia misalnya, mencatatkan pertumbuhan jumlah pedagang sebanyak lima juta pedagang sepanjang 2018 lalu. "Sebagian besar pedagang ini mungkin memang belum punya NPWP," ujarnya.

Yustinus juga mengatakan, cara penilaian data omzet juga harus diatur dengan jelas. Sementara itu, untuk penjaringan pajak lewat platform sosial media, Yustinus menilai hal ini sulit dilakukan secara menyeluruh karena pengguna tidak teregister dengan rinci. Pemilik platform sosial media juga bukan wajib pajak di Indonesia.

"Sehingga, untuk sosial media, yang paling bisa dilakukan Pajak adalah menghimbau dan menyisir untuk melakukan pelaporan secara self assesment," tandasnya. 

 

Bagikan

Berita Terbaru

Profit 25,30% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Terbang Tinggi (2 Agustus 2025)
| Sabtu, 02 Agustus 2025 | 13:24 WIB

Profit 25,30% Setahun, Harga Emas Antam Hari Ini Terbang Tinggi (2 Agustus 2025)

Harga emas batangan Antam 24 karat 1 Agustus 2025 di Logammulia.com Rp 1.948.000 per gram, harga buyback Rp 1.793.000 per gram.

KKR Kembali Dikabarkan Mau Hengkang dari Nippon Indosari Corpindo (ROTI)
| Sabtu, 02 Agustus 2025 | 13:00 WIB

KKR Kembali Dikabarkan Mau Hengkang dari Nippon Indosari Corpindo (ROTI)

ROTI belum menerima informasi mengenai rencana konkret KKR sehubungan dengan rencana divestasi kepemilikan sahamnya di ROTI.

Pemangkasan Tantiem Direksi dan Komisaris Bikin Beban Emiten BUMN Lebih Ringan
| Sabtu, 02 Agustus 2025 | 09:00 WIB

Pemangkasan Tantiem Direksi dan Komisaris Bikin Beban Emiten BUMN Lebih Ringan

Pemangkasan tantiem untuk direksi dan komisaris BUMN bisa berdampak positif ke kinerja keuangan emiten BUMN

Kinerja Emiten Grup Indofood Semakin Yahud
| Sabtu, 02 Agustus 2025 | 08:54 WIB

Kinerja Emiten Grup Indofood Semakin Yahud

INDF mencatatkan kenaikan penjualan neto sebesar 4% menjadi Rp 59,84 triliun per semester I-2025 dibandingkan Rp 57,30 triliun tahun lalu.

Emiten Prajogo Pangestu Mengantongi Cuan Tebal
| Sabtu, 02 Agustus 2025 | 08:51 WIB

Emiten Prajogo Pangestu Mengantongi Cuan Tebal

 Berkat kontribusi anak-anak usahanya, laba bersih BRPT mencapai US$ 539,82 juta, meroket 1.464,89% yoy dari US$ 34,49 juta.

Neraca Dagang Surplus Besar Lagi
| Sabtu, 02 Agustus 2025 | 07:47 WIB

Neraca Dagang Surplus Besar Lagi

Lebih tingginya nilai ekspor dibanding impor membuat neraca perdagangan RI pada Juni 2025 mencetak surplus besar mencapai US$ 4,10 miliar

 Christian Kartawijaya, Direktur Utama INTP : Memilih Instrumen Berisiko Rendah
| Sabtu, 02 Agustus 2025 | 07:44 WIB

Christian Kartawijaya, Direktur Utama INTP : Memilih Instrumen Berisiko Rendah

Menurut dia, investasi itu layaknya menabung untuk menyediakan dana di masa depan dengan cara menunda pengeluaran hari ini.

Inflasi Juli 2025 Tertinggi Dalam Setahun
| Sabtu, 02 Agustus 2025 | 07:41 WIB

Inflasi Juli 2025 Tertinggi Dalam Setahun

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi tahunan Juli sebesar 2,37%, tertinggi sejak Juli 2024 lalu.

Kinerja Sektor Manufaktur Kembali Tersungkur
| Sabtu, 02 Agustus 2025 | 07:34 WIB

Kinerja Sektor Manufaktur Kembali Tersungkur

Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia telah berada di fase kontraksi selama empat bulan

Proses Tender FEED Masela Tuntas, Tunggu Pemenang
| Sabtu, 02 Agustus 2025 | 06:11 WIB

Proses Tender FEED Masela Tuntas, Tunggu Pemenang

Proyek LNG Abadi yang dikembangkan Inpex melalui anak usahanya, Inpex Masela Ltd, merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).

INDEKS BERITA

Terpopuler