Paradoks Likuiditas di Tengah Ketidakpastian

Senin, 13 Oktober 2025 | 04:11 WIB
Paradoks Likuiditas di Tengah Ketidakpastian
[ILUSTRASI. Foto udara suasana salah satu industri di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Industropolis Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Kamis (9/10/2025). Menteri Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani menyatakan Indonesia perlu menyerap investasi sebesar Rp13.032 triliun dalam lima tahun ke depan agar dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen pada 2029. ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/nym.]
Yulia Indrawati | Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Likuiditas perbankan saat ini sedang berlimpah. Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan ke level 4,75% dan menjaga inflasi tetap terkendali di kisaran 2,65%. Ekonomi Indonesia pada triwulan II-2025 mengalami pertumbuhan sebesar 5,12% year-on-year (yoy).

Namun, di tengah stabilitas makro yang kuat, pendorong perekonomian belum menunjukkan akselerasi signifikan. Kredit perbankan tumbuh lambat, investasi riil tertahan, dan konsumsi masyarakat belum pulih penuh. Di sinilah paradoks ekonomi muncul "dana murah tersedia, tetapi pertumbuhan tetap moderat?"

Data Bank Indonesia per September 2025 menunjukkan kelebihan likuiditas di sektor perbankan mendekati Rp 200 triliun, naik sekitar 11% dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini idealnya menjadi pendorong ekspansi investasi, terutama di sektor manufaktur, pertanian dan industri pengolahan. Namun, realisasi kredit produktif belum tumbuh seperti yang diharapkan.

Baca Juga: Jejak Radiasi Cesium di Pusaran Mata Rantai Industri Cikande

Fenomena ini dapat dijelaskan melalui liquidity trap theory (Keynes, 1936), yang menyebutkan bahwa penurunan suku bunga tidak otomatis meningkatkan investasi apabila pelaku ekonomi pesimistis terhadap masa depan. Pada aras ini, adanya sentimen global yang tidak menentu, konflik geopolitik dan ketidakpastian pasar ekspor masih membayangi keyakinan dunia usaha. Akibatnya, dana yang tersedia di sistem keuangan lebih banyak tersimpan di instrumen jangka pendek ketimbang mengalir ke sektor produktif.

Padahal, dari sisi makro, fundamental ekonomi cukup kuat. Cadangan devisa mencapai US$ 148,7 miliar meski terkoreksi turun dari US$ 150,7 miliar pada akhir Agustus 2025, defisit transaksi berjalan terkendali, dan rupiah relatif stabil. Artinya, tantangan utama bukan lagi stabilitas, melainkan efektivitas transmisi kebijakan ke sektor riil.

Permintaan lemah

Inflasi yang terjaga rendah menunjukkan keberhasilan koordinasi kebijakan moneter dan fiskal. Namun, stabilitas harga tidak selalu berarti peningkatan daya beli. Survei keyakinan konsumen BI mencatat penurunan indeks ekspektasi pendapatan dan pembelian barang tahan lama, menandakan kehati-hatian masyarakat dalam belanja.

Baca Juga: Harga Tembaga Melejit Gara-Gara Suplai Terancam Defisit

Situasi ini menggambarkan hubungan dalam Phillips Curve, di mana tekanan inflasi rendah sering beriringan dengan meningkatnya pengangguran ketika permintaan agregat lemah. Rendahnya konsumsi rumah tangga membuat pertumbuhan ekonomi kehilangan momentum.

Karena itu, kebijakan moneter longgar perlu didukung langkah fiskal yang lebih ekspansif dan terarah. Percepatan realisasi belanja negara, terutama untuk proyek infrastruktur hijau, subsidi energi bersih, serta dukungan bagi UMKM digital, akan menjadi penggerak baru yang menciptakan multiplier effect lebih kuat dibandingkan stimulus moneter semata.

Digitalisasi keuangan

Meski sektor riil berjalan lambat, ada sisi positif dari pesatnya digitalisasi keuangan. Bank Indonesia mencatat transaksi digital Agustus 2025 mencapai 4,43 miliar transaksi, naik hampir 39,79% secara tahunan. Penggunaan QRIS melonjak 145,07% dan BI-FAST meningkat 27,54% dengan nilai transaksi menyentuh Rp 967,29 triliun.

Baca Juga: Satgas: Bukan Satu, Ada 22 Pabrik di Cikande Terkontaminasi Radioaktif Cesium-137

Fenomena ini memperlihatkan proses financial deepening sebagaimana dijelaskan McKinnon dan Shaw (1973), yaitu pendalaman sistem keuangan yang memperluas akses terhadap kredit dan investasi. Perkembangan ini dapat menjadi motor pemulihan jika diiringi peningkatan literasi digital dan keamanan transaksi. Semakin luas akses pembiayaan digital, semakin besar peluang sektor UMKM dan ekonomi daerah untuk tumbuh.

Sinergi fiskal–moneter

Dengan kondisi likuiditas longgar, ruang kebijakan fiskal dan moneter terbuka luas. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada koordinasi antar otoritas. Sesuai dengan Tinbergen principle (1952), maka pentingnya keselarasan kebijakan moneter untuk stabilisasi jangka pendek dan kebijakan fiskal untuk dorongan jangka menengah menjadi sebuah keniscayaan.

Baca Juga: Harga Saham ASII Sudah Melampaui Konsensus, Begini Saran Analis Bagi Investor

Penurunan suku bunga harus diikuti percepatan belanja pemerintah, penyederhanaan birokrasi dan pemberian insentif investasi di sektor prioritas. Dorongan fiskal untuk kredit hijau, proyek energi terbarukan, serta penguatan sektor padat karya dapat menjadi saluran utama untuk menyerap kelebihan likuiditas yang kini mengendap di sistem keuangan.

Indonesia kini terjebak dalam low growth equilibrium, sebuah kondisi ketika perekonomian stabil namun pertumbuhannya terbatas. Untuk keluar dari jebakan ini, momentum likuiditas harus diubah menjadi investasi produktif. Reformasi struktural di bidang logistik, perpajakan dan perizinan harus terus dilanjutkan agar biaya ekonomi menurun dan efisiensi meningkat.

Likuiditas yang melimpah tidak boleh hanya menjadi simbol stabilitas. Dana murah perlu diarahkan ke sektor yang menciptakan nilai tambah tinggi yakni energi hijau, pangan berkelanjutan dan transformasi digital. Dengan demikian, stabilitas yang telah susah payah dijaga dapat berubah menjadi fondasi pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan.

Baca Juga: Keyakinan Konsumen Anjlok, Terendah Sejak Mei 2022, Prospek Emiten Konsumer Loyo

Keberhasilan ekonomi tidak hanya diukur dari stabilitas makro, tetapi dari kemampuan menggerakkan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja. Di tengah ketidakpastian global, Indonesia memiliki modal besar dalam stabilitas, likuiditas dan momentum digitalisasi. Tantangannya kini adalah menjembatani ketiganya agar tidak berhenti sebagai angka di laporan makro, tetapi menjadi denyut pertumbuhan ekonomi nasional.

Stabilitas tanpa pertumbuhan hanyalah keseimbangan yang rapuh. Saatnya dana murah menjadi sumber energi bagi ekonomi produktif dan hijau, bukan sekadar angka di neraca keuangan.

Selanjutnya: Jerat Pengangguran

Bagikan

Berita Terbaru

Prabowo Akan Siapkan Rp 1,2 Triliun Per Tahun Buat Bayar Utang Whoosh
| Selasa, 04 November 2025 | 14:57 WIB

Prabowo Akan Siapkan Rp 1,2 Triliun Per Tahun Buat Bayar Utang Whoosh

Prabowo tekankan tidak ada masalah pembayaran utang Whoosh, namun belum jelas sumber dana dari APBN atau dari BPI Danantara.

Faktor Biaya dan Kurs Rupiah Membebani Mayora, Begini Proyeksi Arah Saham MYOR
| Selasa, 04 November 2025 | 09:09 WIB

Faktor Biaya dan Kurs Rupiah Membebani Mayora, Begini Proyeksi Arah Saham MYOR

Hingga akhir 2025 MYOR menargetkan laba bersih sebesar Rp 3,1 triliun atau cuma naik sekitar 0,8% dibandingkan tahun lalu.​

Bursa Efek Indonesia (BEI) Meluncurkan Tiga Indeks Baru
| Selasa, 04 November 2025 | 08:49 WIB

Bursa Efek Indonesia (BEI) Meluncurkan Tiga Indeks Baru

Investor diharapkan bisa berinvestasi pada saham profit tinggi, valuasi harga dan volatilitas rendah.

Investasi Saham dan Efek Buntung, Saratoga Investama Sedaya (SRTG) Cetak Kerugian
| Selasa, 04 November 2025 | 08:45 WIB

Investasi Saham dan Efek Buntung, Saratoga Investama Sedaya (SRTG) Cetak Kerugian

Saratoga juga mencatat kerugian bersih atas instrumen keuangan derivatif lainnya Rp 236 juta per 30 September 2025.

Invesco dan Allianz Konsisten Borong Saham UNTR Hingga Oktober, Blackrock Beda Arah
| Selasa, 04 November 2025 | 08:16 WIB

Invesco dan Allianz Konsisten Borong Saham UNTR Hingga Oktober, Blackrock Beda Arah

Sepanjang Oktober 2025 investor asing institusi lebih banyak melakukan pembelian saham UNTR ketimbang mengambil posisi jual.

Penjualan Nikel Melejit, Laba PAM Mineral (NICL) Tumbuh Tiga Digit
| Selasa, 04 November 2025 | 08:02 WIB

Penjualan Nikel Melejit, Laba PAM Mineral (NICL) Tumbuh Tiga Digit

PT PAM Mineral Tbk (NICL) meraih pertumbuhan penjualan dan laba bersih per kuartal III-2025 di tengah tren melandainya harga nikel global.

Laba Emiten Farmasi Masih Sehat Sampai Kuartal III-2025
| Selasa, 04 November 2025 | 07:52 WIB

Laba Emiten Farmasi Masih Sehat Sampai Kuartal III-2025

Mayoritas emiten farmasi mencatat pertumbuhan pendapatan dan laba di periode Januari hingga September 2025.

Kinerja Emiten FMCG Bervariasi, Prospek di Kuartal IV-2025 Berpotensi Lebih Seksi
| Selasa, 04 November 2025 | 07:42 WIB

Kinerja Emiten FMCG Bervariasi, Prospek di Kuartal IV-2025 Berpotensi Lebih Seksi

Ramadan yang jatuh pada pertengahan Maret 2026 berpotensi mendorong permintaan distributor terhadap barang konsumsi mulai kuartal IV-2025.

Rogoh Kocek Rp 2 Triliun,  Astra International (ASII) Menggelar Buyback Saham
| Selasa, 04 November 2025 | 07:42 WIB

Rogoh Kocek Rp 2 Triliun, Astra International (ASII) Menggelar Buyback Saham

Jadwal buyback PT Astra International Tbk (ASII) direncanakan mulai 3 November 2025 hingga 30 Januari 2026. ​

Kondisi Ekonomi Tak Baik-Baik Saja, Bisnis Emiten Konglomerasi Tertekan
| Selasa, 04 November 2025 | 07:09 WIB

Kondisi Ekonomi Tak Baik-Baik Saja, Bisnis Emiten Konglomerasi Tertekan

Penyebabnya beragam. Mulai dari pelemahan daya beli, depresiasi nilai tukar rupiah, hingga koreksi harga sejumlah komoditas.

INDEKS BERITA

Terpopuler