KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tidak tutup mata terhadap tren penurunan tarif pajak penghasilan untuk badan usaha di berbagai negara. Proses pengkajian untuk mengubah tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan sudah digulirkan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu).
Namun kajian yang digelar tidak bermaksud menentukan besaran penurunan tarif pajak, melainkan sebatas melihat apakah pemerintah perlu mengikuti tren penurunan itu. "Dipelajari dulu dampaknya, hitungannya tidak boleh ceroboh," kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu) Robert Pakpahan.
Robert tak bisa memastikan target penyelesaian kajian tersebut. Yang jelas, perubahan tarif tersebut harus melalui perubahan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh. UU ini sudah direvisi empat kali, terakhir pada tahun 2008.
Pemerintah sudah menyiapkan revisi yang kelima. Namun, pembahasan rancangan beleid itu masih menunggu revisi UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang saat ini masih antre di DPR.
Pemerintah harus berhati-hati mengubah kebijakan PPh badan, lantaran kontribusinya terhadap penerimaan perpajakan sangat besar. Tahun lalu, total penerimaan PPh badan mencapai Rp 255,37 triliun atau porsinya sekitar 19,4% dari total penerimaan pajak yakni Rp 1.315,9 triliun. Penerimaan PPh Badan usaha 2018 naik 22,63% dibandingkan tahun 2017.
Tren penurunan tarif pajak penghasilan untuk badan tercermin dari hasil penelitian Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Kajian itu mengungkap rata-rata tarif PPh badan di dunia turun menjadi 21,4% per 2018 dari 28,6% pada 2000. Tarif PPh badan yang berlaku di Indonesia saat ini sebesar 25%, atau di atas rata-rata global.
Penelitian OECD juga menyatakan meski tarif cenderung menurun, kontribusi pajak perusahaan terhadap total penerimaan pajak negara di dunia malah meningkat. Tahun 2016, pajak perusahaan memiliki andil 13,3% dari total penerimaan pajak di 88 negara yang didata, naik dibandingkan tahun 2000 hanya 12%.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai, isu kompetisi tarif pajak dengan negara-negara tetangga maupun negara lainnya tak begitu relevan untuk dijadikan alasan menurunkan tarif PPh Badan. Sebab, penurunan tarif hanya mungkin dilakukan jika basis pajak dan kepatuhan meningkat.
"Adagium tarif pajak tinggi bikin modal lari dan rakyat malas, itu tidak terbukti di Eropa Utara. Di sana, tarif pajak tinggi, tax ratio tinggi, produktivitas tinggi. Karena revenue dan spending-nya berkualitas. Pemerintahannya berkomitmen pada hak warga negara. Demokratis, aman, bahagia," jelas Yustinus.