Berita

Perampokan di Bursa

Oleh Herry Prasetyo - Redaktur Pelaksana
Senin, 19 Desember 2022 | 08:00 WIB
Perampokan di Bursa

Reporter: Herry Prasetyo | Editor: Markus Sumartomjon

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hajatan initial public offering (IPO) mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, jumlah emiten yang mencatatkan sahamnya di bursa sepanjang tahun ini mencapai 59 perusahaan dengan nilai IPO sebesar Rp 33 triliun. 

Rekor jumlah IPO tahun ini mengalahkan rekor sebelumnya yang diukir pada 2018 lalu sebanyak 57 emiten. Meski begitu, nilai IPO tahun ini masih kalah dibandingkan perolehan dana IPO sepanjang 2021 lalu yang mencapai Rp 62,6 triliun. 

Upaya BEI mendorong minat perusahaan mencatatkan sahamnya di bursa tentu patut diapresiasi. Bagaimana pun, IPO menawarkan berbagai keuntungan. Bagi emiten, IPO menjadi sarana untuk memperoleh tambahan modal dari masyarakat. 

Bagi investor,  semakin banyak perusahaan yang go public memberikan makin banyak pilihan untuk berinvestasi. Peluang untuk meraup cuan pun makin terbuka lebar. Pembeli saham ADMR di pasar perdana tentu merasakan betul nikmatnya cuan dari saham IPO.

Namun, seperti kita tahu, yang namanya bursa saham kadang kejam, bahkan tak mengenal belas kasihan. Tak semua saham yang listing di tahun ini sukses mencetak kenaikan harga. Bahkan, harga sebagian saham yang listing di tahun ini sudah jatuh di bawah harga IPO.  

Pergerakan harga saham memang bergantung pada mekanisme pasar. Masalahnya, jika kita melongok lebih jauh ke belakang, ada beberapa saham yang baru listing seumur jagung namun hingga kini disuspensi bahkan berpotensi delisting. 

Tengok saja, misalnya, saham ENVY dan POSA yang  listing pada Mei dan Juli 2019. Sejak akhir 2020, BEI menghentikan sementara perdagangan ENVY dan POSA, yang saat itu harganya sudah di level gocap, hingga saat ini. Suspensi keduanya telah mencapai lebih dari 24 bulan, batas waktu bagi BEI untuk bisa melakukan delisting. 

Persoalan lebih lanjut, sebagian saham yang berpotensi delisting dikuasai publik. Di ENVY dan DUCK, misalnya, masyarakat menguasai kepemilikan masing-masing sebesar 93% dan 87%.

Artinya, masyarakat lah yang harus menanggung kerugian paling besar dari saham yang delisting. Maklum, emiten belum tentu punya duit untuk membeli kembali sahamnya yang didepak dari bursa. 

Jadi, meski IPO harus terus didorong,  seleksi calon emiten juga harus dikawal sejak awal. Jangan sampai bursa malah menjadi ajang perampokan sementara investor ritel alih-alih untung malah buntung.

Terbaru
IHSG
7.116,97
0.61%
43,15
LQ45
928,33
0.75%
6,87
USD/IDR
16.224
-0,34
EMAS
1.325.000
1,34%