KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Enam bulan pertama tahun ini menjadi masa-masa berat bagi PT Polychem Indonesia Tbk.
Emiten berkode saham ADMG di Bursa Efek Indonesia (BEI) itu mengalami kerugian akibat dampak perang dagang antara Amerika Serikat (AS) melawan Tiongkok.
Produk Polychem juga tidak mampu bersaing dengan produk impor yang membanjiri pasar dalam negeri.
Alhasil, pendapatan bersih mereka pada semester I-2019 tergerus hingga 35,05% year on year (yoy) menjadi US$ 118,54 juta.
Polychem Indonesia juga mencatatkan rugi bersih senilai US$ 10,29 juta.
Padahal di periode yang sama tahun lalu, perusahaan ini mampu mencatatkan keuntungan hingga US$ 9,79 juta.
Sekretaris Perusahaan PT Polychem Indonesia Tbk, Chandra Tjong membenarkan bahwa penurunan kinerja perusahaan disebabkan oleh efek perang dagang antara AS dan China.
Pasalnya terjadi selisih harga yang cukup jauh antara bahan baku ethylene dan harga jual produk monoethylene glicol (MEG).
Menurut catatannya, selisih harga sempat mencapai US$ 398 per ton atau sekitar 39,3% dari harga ethylene.
"Tertinggi selisihnya di bulan Februari 2019, dengan harga rata-rata Ethylene US$ 1012,5 per ton sedangkan harga MEG sebesar US$ 614,5 per ton," jelas Chandra kepada KONTAN, Senin (5/8).
Mengurangi kapasitas produksi
Nah, untuk mengantisipasi membengkaknya nilai kerugian tersebut, manajemen Polychem Indonesia memutuskan untuk mengurangi kapasitas produksi MEG.
Bahkan, pabrik chemical ADMG yang semula beroperasi dua plant saat ini hanya menjadi satu plant saja.
Chandra Tjong juga bilang, selain perang dagang, kondisi perusahaan juga dipersulit dengan impor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang membanjiri pasar dalam negeri.
Kebijakan Kementerian Perdagangan (Kemdag) melalui Permendag Nomor 64 Tahun 2017 itu memang membuka importir umum dalam mengimpor barang.
Hasilnya, menurut Chandra, impor tidak terkontrol melalui Pusat Logistik Berikat (PLB). Akibatnya, produk ADMG tidak terserap di pasar dalam negeri.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, manajemen perusahaan ini berusaha menekan biaya produksi dengan peremajaan mesin, khususnya di pabrik polyester yang memproduksi Drawn Texturized Yarn (DTY).
Adapun mesin baru itu berkapasitas dua kali lipat dari mesin lama. Sementara, kapasitas produksi pabrik Polyester masih tetap sama.
Pinta Permendag dicabut
Akibat dari terdampaknya kinerja keuangan, ADMG juga turut mendukung Asosiasi Produsen Synthetic Fiber Indonesia (APSyFi) yang meminta dan mengimbau pemerintah untuk mencabut Permendag No 64 Tahun 2017 serta meninjau kembali kebijakan PLB.
"Selama perang dagang AS-China masih berlanjut dan pemerintah tidak segera mencabut Permendag No 64 tahun 2017, maka kondisi seperti ini akan terus berlanjut," ungkap Chandra.
Sebagai informasi, pendapatan Polychem Indonesia dari segmen polyester pada semester pertama tahun ini tercatat US$ 48,84 juta, turun 17% secara yoy.
Sementara dari segmen Ethilene Glycol dan Petrokimia berkontribusi US$ 69,69 juta, juga menyusut sampai 43,58% secara yoy.
Sebagai gambaran, sampai semester I-2019, total aset ADMG sebesar US$ 266,98 juta, menurun 4,8% dibandingkan posisi akhir tahun 2018 yang sebesar Rp 280,67 juta.
Perinciannya, aset lancar US$ 119,85 juta dan aset tidak lancar US$ 147,12 juta.
Sementara itu, nilai kewajiban ADMG hingga separuh pertama tahun ini US$ 32,71 juta, turun 11,35% dari posisi akhir tahun 2018 yang sebesar US$ 36,9 juta.
Perinciannya, liabilitas jangka pendek senilai US$ 21,26 juta dan liabilitas jangka panjang US$ 11,44 juta.
Adapun ekuitas ADMG juga menyusut 3,8% menjadi US$ 234,27 juta.