Punya Banyak Pengecualian, Kesepakatan Tarif Minimum Dikritik Tak Bergigi

Sabtu, 09 Oktober 2021 | 14:38 WIB
Punya Banyak Pengecualian, Kesepakatan Tarif Minimum Dikritik Tak Bergigi
[ILUSTRASI. Presiden AS Joe Biden memberi isyarat saat kedatangannya di Bandara Internasional Chicago O'Hare di Chicago, Illinos, AS, Kamis (7/10/2021). REUTERS/Evelyn Hockstein]
Reporter: Sumber: Reuters | Editor: Thomas Hadiwinata

KONTAN.CO.ID - PARIS. Pemerintah di 136 negara, Jumat (8/10), menyepakati tarif pajak serendah-rendahnya 15% untuk perusahaan besar. Kesepakatan yang berlaku global ini bertujuan mempersulit perusahaan raksasa untuk menghindari beban pajak. 

Kesepakatan menetapkan tarif dasar pajak penghasilan itu bertujuan mengakhiri “lomba adu rendah” tarif pajak yang sudah berlangsung selama empat dekade di antara negara-negara yang berupaya menarik investasi asing. 

Namun, batas bawah sebesar 15% yang disepakati itu, masih jauh di bawah rata-rata tarif pajak perusahaan di negara-negara industri yang sebesar 23,5%.

Menginginkan tarif minimum global yang lebih tinggi, beberapa negara berkembang mengatakan kepentingan mereka dikesampingkan untuk mengakomodasi negara-negara kaya. 

Kelompok lembaga swadaya masyarakat mengkritik banyaknya pengecualian yang menyertai kesepakatan itu. Oxfam pun menyebut kesepakatan itu secara efektif "tidak memiliki gigi."

Baca Juga: Pemerintah batal turunkan tarif PPh Badan pada 2022, pengamat: Cukup mengejutkan

Kesepakatan itu juga menghadapi tantangan di Amerika Serikat (AS). Sekelompok senator dari Partai Republik mengirim surat yang menyatakan keprihatinan mereka kepada Menteri Keuangan AS Janet Yellen.

Negosiasi telah berlangsung selama empat tahun, dengan kesepakatan akhirnya disepakati ketika Irlandia, Estonia dan Hongaria membatalkan oposisi mereka dan mendaftar.

Kesepakatan itu bertujuan untuk menghentikan perusahaan besar membukukan seluruh pendapatannya di negara, atau yurisdiksi yang memberlakukan tarif pajak rendah, seperti Irlandia. Padahal, pendapatan perusahaan besar itu mengalir dari berbagai tempat. Masalah ini semakin mendesak dengan banyaknya perusahaan teknologi yang menjadi raksasa berkat bisnis mereka yang melampaui batas negara. 

"Untuk pertama kalinya dalam sejarah, tarif pajak minimum diberlakukan secara global. Ini akan menciptakan lapangan bermain yang sama bagi pekerja dan pembayar pajak AS, bersama dengan seluruh dunia,” kata Biden dalam sebuah pernyataan tertulis.

Baca Juga: G7 finance ministers make some progress on tax deal, UK says

Dari 140 negara yang terlibat, sebanyak 136 mendukung kesepakatan. Empat negara lainnya, yaitu Kenya, Nigeria, Pakistan dan Sri Lanka memilih abstain.

Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) yang berbasis di Paris, yang telah memimpin pembicaraan, mengatakan bahwa kesepakatan itu akan mencakup 90% dari nilai ekonomi global.

“Kami telah mengambil langkah penting untuk menciptakan keadilan pajak yang lebih luas,” kata Menteri Keuangan Jerman Olaf Scholz dalam pernyataan tertulis yang dikirim melalui email ke Reuters.

“Kami sekarang menapaki jalan menuju sistem pajak yang lebih adil, di mana pemain global besar membayar bagian mereka secara adil di mana pun mereka melakukan bisnis,” kata Menteri Keuangan Inggris Rishi Sunak.

Namun belum juga kering tinta yang digunakan di kesepakatan itu, beberapa negara sudah meragukan implementasi kesepakatan itu. Kementerian keuangan Swiss menuntut agar kepentingan ekonomi kecil diperhitungkan dan mengatakan mustahil untuk menerapkan kesepakatan itu pada tahun 2023.

Di AS, para senator dari Partai Republik menuding Pemerintahan Biden sedang mempertimbangkan untuk menghinda dari kebutuhan untuk mendapatkan wewenang Senat untuk mengimplementasikan perjanjian.

Di bawah Konstitusi, Senat harus meratifikasi setiap perjanjian dengan mayoritas dua pertiga, atau 67 suara. Rekan-rekan Demokrat Biden hanya menguasai 50 kursi di kamar yang beranggotakan 100 orang. Dan Partai Republik dalam beberapa tahun terakhir sangat memusuhi perjanjian dan telah mendukung pemotongan pajak perusahaan.

Investor di pasar keuangan AS mengabaikan berita tentang kesepakatan itu, dan lebih mencermati kabar tentang data penggajian terbaru di Negeri Paman Sam. Sementara beberapa Big Tech, yang sering dituding berupaya menurunkan pajaknya melalui operasi di luar negeri, menyatakan menyambut kesepakatan itu.

Baca Juga: Sri Mulyani memproyeksikan pertumbuhan ekonomi kuartal III-2021 di rentang 4%-5%

“Kami senang melihat adanya konsensus di tingkat dunia,” kata Nick Clegg, wakil presiden urusan global Facebook Inc. “Facebook telah lama menyerukan reformasi aturan pajak global, dan kami menyadari ini bisa berarti membayar lebih banyak pajak, dan di tempat yang berbeda.”

Seorang juru bicara Amazon.com Inc mengatakan perusahaannya mendukung “kemajuan menuju solusi berbasis konsensus untuk harmonisasi pajak internasional, dan kami menantikan pekerjaan teknis lanjutan mereka.”

Analis di Morgan Stanley menyatakan, emiten teknologi piranti keras, penyedia layanan media, dan perawatan kesehatan yang rentan terhadap pemberlakuan tarif pajak minimum 15%.

Baca Juga: World Bank Pangkas Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI Jadi 3,7%

Inti dari perjanjian tersebut adalah tarif pajak perusahaan minimum 15% dan memungkinkan pemerintah untuk mengenakan pajak atas bagian dari pendapatan luar negeri yang dikantongi perusahaan multinasional.

Yellen memuji pemberlakuan aturan itu sebagai kemenangan bagi keluarga Amerika serta bisnis internasional.

“Kami telah mengubah negosiasi tak kenal lelah menjadi dekade peningkatan kemakmuran - baik untuk Amerika dan dunia. Perjanjian hari ini merupakan pencapaian sekali dalam satu generasi untuk diplomasi ekonomi,” kata Yellen dalam sebuah pernyataan.

Menurut penelitian OECD, pemberlakuan tarif pajak minimal akan memunculkan pendapatan pajak baru hingga US$ 150 miliar bagi berbagai negara. Sementara hak pengenaan pajak atas keuntungan senilai total US$ 125 miliar akan beralih ke negara-negara di mana perusahaan multinasional mengeruk uang.

Irlandia, Estonia dan Hungaria, yang kesemuanya memberlakukan tarif pajak yang rendah, mencabut keberatan mereka di pekan ini. Ketiga negara memilih untuk kompromi pada pengurangan tarif minimum untuk perusahaan multinasional dengan kegiatan bisnis fisik nyata di luar negeri.

Namun, banyak negara berkembang mengatakan bahwa kepentingan mereka telah diabaikan, dan bahwa negara-negara kaya kemungkinan akan terus memikmati arus masuk investasi langsung.

Menteri Ekonomi Argentina Martin Guzman, Kamis (7/10) mengatakan, proposal tersebut memaksa negara-negara berkembang untuk memilih antara “sesuatu yang buruk dan sesuatu yang lebih buruk.”Lembaga advokasi Oxfam menyatakan kesepakatan itu tidak akan mengakhiri tax haven.

Baca Juga: G7 finance ministers make some progress on tax deal, UK says

"Keburukan aturan ini terletak pada rinciannya, termasuk keberadaan berbagai pengecualian yang rumit,” tutur pemimpin kebijakan pajak Oxfam Susana Ruiz dalam sebuah pernyataan.

“Pada menit-menit terakhir, disertakan masa tenggang pemberlakuan tarif minimum yang sangat lama, hingga 10 tahun. Kesepakatan ini praktis menjadi tidak bergigi,” tambah Ruiz.

Perusahaan dengan aset dan gaji nyata di suatu negara dapat memastikan sebagian dari pendapatan mereka menghindari tarif pajak minimum yang baru. Tingkat pengecualian mengecil selama periode 10 tahun.

Baca Juga: Soal penghapusan alternative minimum tax di RUU HPP, ini kata pengamat pajak

OECD mengatakan, di tahap selanjutnya kesepakatan itu akan dibawa ke kelompok 20 negara ekonomi kuat, alias G20. Tarif pajak minimum ditargetkan akan disahkan dalam pertemuan tingkat menteri G20, sebelum dibawa ke pertemuan puncak pada akhir bulan. 

Negara-negara yang mendukung kesepakatan itu seharusnya membawanya ke buku hukum mereka tahun depan, hingga aturan itu bisa berlaku mulai 2023. Namun pejabat di banyak negara menilai jadwal semacam itu terlalu terburu-buru. 

Menteri Keuangan Prancis Bruno Le Maire mengatakan negaranya akan memanfaatkan masa kepemimpinannya sebagai kepresidenan Uni Eropa di paruh pertama tahun 2022, untuk menerjemahkan perjanjian itu menjadi undang-undang di 27 negara anggota blok tersebut.

Selanjutnya: Menduga Ada Aturan yang Melanggar, SEC Menginvestigasi Kejatuhan Archegos

 

Bagikan

Berita Terbaru

Transaksi Pembayaran Lewat QRIS Semakin Semarak
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 10:11 WIB

Transaksi Pembayaran Lewat QRIS Semakin Semarak

BI menargetkan volume transaksi QRIS tahun 2025 mencapai 15,37 miliar atau melonjak 146,4% secara tahunan dengan nilai Rp 1.486,8 triliun 

CIMB Niaga Syariah Jajaki Konsolidasi dengan BUS
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 10:07 WIB

CIMB Niaga Syariah Jajaki Konsolidasi dengan BUS

Bank CIMB Niaga berpotensi memiliki bank syariah beraset jumbo. Pasalnya, bank melakukan penjajakan untuk konsolidasi dengan bank syariah​

Ekonomi Tak Pasti, Kolektor Barang Mewah Berhati-hati
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 08:00 WIB

Ekonomi Tak Pasti, Kolektor Barang Mewah Berhati-hati

Kondisi ekonomi global yang tak pasti serta suku bunga tinggi menekan industri barang mewah di tahun 2025

Berhentilah Menebang Masa Depan
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 07:10 WIB

Berhentilah Menebang Masa Depan

Bencana  banjir dan longsor di tiga provinsi Sumatra jadi momentum reformasi kebijakan perizinan dan tata ruang Indonesia.​

Jangan Jadi Tradisi
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 07:00 WIB

Jangan Jadi Tradisi

Lonjakan harga-harga komoditas pangan menjelang Nataru ataupun saat puasa dan Lebaran harus disikapi serius pemerintah lewat kebijakan.

Bos Martina Berto (MBTO) Memilih Investasi Berhorizon Menengah hingga Panjang
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 06:55 WIB

Bos Martina Berto (MBTO) Memilih Investasi Berhorizon Menengah hingga Panjang

Direktur Utama PT Martina Berto Tbk (MBTO), Bryan David Emil, memilih aset berjangka menengah panjang dalam portofolio investasinya.

Multifinance Kejar Pembiayaan Mobil
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 06:50 WIB

Multifinance Kejar Pembiayaan Mobil

Pemangkasan target penjualan mobil baru oleh Gaikindo menjadi 780.000 unit menegaskan tekanan pada industri otomotif belum mereda.

Daya Beli Pulih, Kredit Masih Tertahan
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 06:48 WIB

Daya Beli Pulih, Kredit Masih Tertahan

Pemulihan daya beli masyarakat mulai terlihat di Oktober 2025, namun belum merata. Kredit rumahtangga jadi penopang utama pertumbuhan kredit OJK.

Rupiah Pekan Ini Terangkat Pelemahan Dolar
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 06:30 WIB

Rupiah Pekan Ini Terangkat Pelemahan Dolar

Mengutip Bloomberg, rupiah di pasar spot menguat 0,18% secara harian ke Rp 16.646 per dolar AS pada Jumat (12/12).

Sinergi Multi (SMLE) Bersiap Mengekspor Minyak Nilam
| Sabtu, 13 Desember 2025 | 05:20 WIB

Sinergi Multi (SMLE) Bersiap Mengekspor Minyak Nilam

SMLE memperkuat bisnis nilam sebagai salah satu komoditas strategis di Indonesia dengan fokus pada kategori wewangian (fragrance & flavors).

INDEKS BERITA