KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tekanan di industri emiten farmasi mulai kendur. Ini tercermin dari besaran biaya produksi kuartal pertama tahun ini di sektor tersebut.
Sebagian emiten masih mencatat kenaikan biaya produksi. Namun, sebagian besar lainnya justru mencatat penurunan biaya produksi. Kalau pun ada kenaikan, jumlahnya tak signifikan.
Kepala Riset Bahana Sekuritas Lucky Ariesandi mengatakan, sektor farmasi mengalami tekanan karena gejolak perekonomian global yang mengakibatkan pelemahan rupiah. Namun, sebelum tutup tahun 2018, sentimen positif mulai datang lagi. "Penguatan nilai rupiah meringankan emiten perusahaan farmasi mengimpor bahan baku," ujar Lucky dalam keterangan tertulis, Senin (6/5).
Setali tiga uang, Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana berpendapat, kestabilan nilai tukar rupiah berimbas positif bagi emiten farmasi. Namun, penguatan rupiah bukan satu-satunya.
Menilik data APBN 2019, pemerintah menganggarkan dana kesehatan Rp 123,1 triliun, naik 10% dibanding dengan tahun lalu. "Program pemerintah terhadap layanan kesehatan yang terjangkau juga menjadi katalis positif bagi emiten farmasi," imbuh Wawan, Senin (6/5).
Meski begitu, masih banyak tantangan yang perlu dihadapi emiten farmasi. Tak menutup kemungkinan, sentimen positif kurs rupiah terhapus oleh meningkatnya harga minyak dunia.
Lucky bilang, harga minyak juga merupakan komponen beban emiten farmasi. "Jika harga minyak meningkat, beban biaya akan naik," imbuhnya.
Selain itu, program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sejatinya masih menjadi katalis positif. Tapi, sifatnya sebatas mengerek volume penjualan, belum ke sisi laba emiten.
Wawan menjelaskan, kebutuhan obat-obatan tahun ini diperkirakan naik 6,5% seiring meningkatnya anggaran kesehatan. Namun, penjualan obat-obatan yang menggunakan layanan BPJS kesehatan kebanyakan obat generik.
"Penjualan terbesar masih disumbang oleh obat generik yang harganya diatur oleh pemerintah. Jadi, meski penjualan meningkat, namun sisi cashflow dan margin keuntungan masih menantang," jelas Wawan.
Semua kondisi tersebut yang membuat kinerja keuangan emiten farmasi bervariasi. PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), misalnya, membukukan pendapatan kuartal pertama tahun ini sebesar Rp 5,36 triliun, naik 6,9%. Tapi, laba bersih hanya naik 1% menjadi sekitar Rp 595 miliar.
Pada periode yang sama, laba bersih PT Kimia Farma Tbk (KAEF) bahkan turun 44% menjadi Rp 20,61 miliar. Padahal, pendapatannya tumbuh 21% menjadi Rp 1,81 triliun.