KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dari niat mulia: memberi anak-anak sekolah makanan bergizi setiap hari. Namun di lapangan, niat baik itu sering terbentur kenyataan. Ada laporan keracunan, menu seadanya, bahkan makanan yang tak layak santap.
Pemerintah hanya menyiapkan anggaran MBG sekitar Rp 10.000 per porsi. Dari jumlah itu, dapur mitra harus membeli bahan makanan, membayar tenaga masak, gas, kemasan, dan ongkos distribusi.
Dalam bisnis kuliner, margin wajar berkisar 25%–50%. Katakanlah mitra MBG hanya mengambil 20% keuntungan, artinya dana bersih untuk bahan makanan tinggal Rp 8.000 per porsi. Sekarang mari kita jujur: apa yang bisa dibeli dari warung nasi dengan uang sebanyak itu? Nasi, lauk hewani, sayur, dan buah? Sulit.
Harga telur ayam sekarang berkisar Rp 30.000 per kg, ayam potong sekitar Rp 40.000, dan minyak goreng Rp 17.000 per liter. Angka-angka itu tak memberi ruang bagi dapur berkreasi tanpa mengorbankan kualitas. Jangan heran bila banyak dapur memilih bahan murah atau menghilangkan unsur penting gizi.
Jika memang tujuannya anak-anak makan bergizi, maka ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama, menaikkan anggaran per porsi menjadi Rp 13.000–Rp 15.000. Jumlah penerima mungkin berkurang, tapi kualitas gizi dan keamanan makanan lebih terjamin. Lebih baik memberi sedikit yang benar-benar sehat daripada banyak tapi seadanya.
Kedua, menyalurkan anggaran langsung kepada orang tua siswa. Mereka tak akan berhitung margin. Bagi orang tua, memasak untuk anak bukan urusan bisnis, melainkan urusan kasih. Dengan uang yang sama, mereka bisa membeli bahan segar di pasar dan menyiapkan makanan dengan sepenuh cita.
Skema ini juga bisa menghidupkan ekonomi rumah tangga. Pasar tradisional bergerak, warung bahan pokok bergeliat, dan dapur keluarga kembali berfungsi sebagaimana mestinya—sumber gizi, bukan sekadar penerima proyek. Untuk memastikan siswa mendapat makanan bergizi dari emaknya, mereka wajib membawanya sebagai bekal makan siang bersama di sekolah.
Program MBG adalah ide besar yang terjebak dalam hitungan kecil. Jika gizi adalah investasi masa depan bagi anak-anak kita, maka anggaran dan ketulusan adalah modal utamanya. Sebelum menuntut manajemen dapur standar restoran, kita perlu ingat satu hal sederhana: tak ada dapur yang lebih jujur daripada dapur seorang ibu.