KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peringatan yang disampaikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) rupanya masih punya taji. Usai berkirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi), perpanjangan ijin tambang batubara yang telah diberikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ke PT Tanito Harum pun dicabut kembali.
Ini jelas sinyal bahaya bagi korporasi swasta yang kini mengempit ijin pertambangan batubara. Bukan hanya bagi Tanito, tapi juga enam perusahaan tambang batubara besar lain yang masuk rombongan pertama Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
PKP2B generasi pertama yang dikantongi tujuh korporasi swasta berakhir dalam rentang Januari 2019 hingga 2025 mendatang.
Nah, Undang-Undang (UU) tentang Mineral dan Batubara (Minerba) mengatur, wilayah eks PKP2B dikembalikan dulu kepada negara. Lalu, setelah menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), diprioritaskan untuk diberikan kepada badan usaha milik negara (BUMN) dan badan usaha milik daerah (BUMD). Korporasi swasta yang ingin memperoleh izin ini bisa mendapatkannya melalui lelang.
Lalu, pasal 83 huruf d UU Minerba mengamanatkan luas WIUPK yang bisa dikelola swasta maksimal 15 ribu hektare (ha). Masalahnya, luas konsesi pertambangan batubara yang dikuasai korporasi swasta, terutama pemegang PKP2B generasi pertama tergolong besar. Mulai dari PT Adaro Energy Tbk (ADRO) yang mengempit konsesi seluas 34.940 hektare (ha) hingga PT Berau Coal yang menguasai lahan 118.400 ha.
Inilah yang menjadi pegangan komisi anti rasuah. Juga Rini Soemarno, Menteri BUMN yang menolak membubuhkan paraf di draft revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Draft beleid yang dirancang Kementerian ESDM, itu bertentangan dengan ketentuan UU Minerba yang masih berlaku sampai saat ini.
Tambang Batubara PKP2B Generasi Pertama |
||||
---|---|---|---|---|
Nama Perusahaan |
Luas konsesi
|
Lokasi tambang |
Kontrak berakhir |
Konsesi yang berpotensi
|
PT Tanito Harum |
35.757 |
Kabupaten Paser, Kalimantan Timur |
2019 |
20.757 |
PT Arutmin Indonesia |
70.153 |
Tanah Laut dan Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan |
2020 |
55.153 |
PT Kaltim Prima Coal (KPC) |
90.938 |
Sangatta, Kalimantan Timur |
2021 |
75.938 |
PT Multi Harapan Utama |
46.063 |
Samarinda, Kalimantan Timur |
2022 |
31.063 |
PT Adaro Energy Tbk |
34.940 |
Kabupaten Balangan dan Tabalong, Kalimantan Selatan |
2022 |
19.940 |
PT Kideco Jaya Agung |
50.921 |
Kabupaten Paser, Kalimantan Timur |
2023 |
35.921 |
PT Berau Coal |
118.400 |
Kabupaten Berau, Kalimantan Timur |
2025 |
103.400 |
TOTAL |
|
|
|
215.231 |
*Berdasar UU 4/2009 tentang Minerba |
||||
sumber: Riset KONTAN |
Untuk Bukit Asam
Bisa ditebak, jika pemerintah berpegang teguh pada UU Minerba, pihak yang bakal diuntungkan adalah BUMN. Induk holding pertambangan, PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum, punya anak usaha spesialis di bisnis ini, yakni PT Bukit Asam Tbk (PTBA).
KONTAN telah mewawancarai manajemen PTBA soal potensi pengambilalihan tambang batubara eks PKP2B pada Rabu, 26 Juni 2019. Sayang, atas permintaan yang bersangkutan, nukilan wawancara tersebut tidak bisa dipublikasikan.
Namun berdasar dokumentasi pemberitaan KONTAN, PTBA telah menyatakan minatnya. "Tentu kami berminat. Tidak mungkin (keduluan perusahaan lain), sebab UU Minerba mengatakan prioritas utama BUMN," kata Arviyan Arifin Direktur Utama PTBA pertengahan November 2018 silam.
Mengacu UU Minerba, lahan eks PKP2B generasi pertama yang mesti dikembalikan ke negara total seluas 215.231 ha. Atau, lebih dari tiga kali lipat luas konsesi tambang yang kini dikelola PTBA, yang seluas 68.777 ha.
Nah, kata Dessy Lapagu, analis Samuel Sekuritas, PTBA punya kemampuan untuk mengusahakan lahan tambang tersebut. Pengalaman di bisnis batubara jelas tak bisa dibantah. "Posisi kas sekarang sekitar Rp 6,2 triliun. Jadi PTBA mampu-mampu aja (mengelola eks PKP2B generasi pertama)," kata Dessy.
Jika butuh dukungan, PTBA bisa meminta bantuan induk semangnya, PT Inalum. Atau bisa mencari tambahan suntikan dana dari pihak ketiga, entah bank-bank pelat merah atau bank asing.
Dari kacamata bisnis, tak kurang menggiurkannya jika PTBA memprioritaskan pengambilalihan tambang batubara kalori tinggi. Harga jualnya lebih baik ketimbang jenis batubara yang banyak mereka produksi saat ini. Selain itu, lanjut Dessy, strategi tersebut sejalan dengan keinginan manajemen PTBA menggenjot ekspor batubara berkalori tinggi.
Tahun ini PTBA memasang target pertumbuhan volume penjualan batubara 15% menjadi 28,38 juta ton. Sebesar 14,71 juta ton dialokasikan ke pasar ekspor. Nah, kenaikan target volume penjualan, salah satunya datang dari target ekspor batubara kalori tinggi sebesar 3,8 juta ton.
Sebagai informasi, saat ini PTBA memproduksi batubara dengan kalori 4.800 GAR hingga di atas 6.100 GAR.
Susah naik
Lantas, dengan sentimen yang demikian, kenapa saham PTBA tak lekas beranjak naik?
Sekadar menyegarkan ingatan, saham PTBA terjun bebas dari level Rp 4.200-an per saham pada awal April 2019 hingga ke Rp 2.750 per saham pada 17 Mei 2019. Pemicunya, aksi jual saham tresuri senilai total Rp 1,95 triliun. Transaksi digelar pada 2 April dan 8 Mei dengan total saham yang dilepas sebanyak 553,89 juta saham.
Selasa, 25 Juni 2019 harga saham di sektor batubara sempat menguat. Tak terkecuali saham PTBA yang naik dari Rp 2.880 per saham ke Rp 3.060 per saham.
Pemicunya, adalah informasi soal komitmen negara-negara di asia terhadap pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Dikutip dari Bloomberg, China, pada periode 2016-2017 China memberikan pinjaman rata-rata US$ 19 miliar. Disusul India sebesar US$ 17,9 miliar dan Jepang sebanyak US$ 5,2 miliar.
Namun, cerita lama yang diputar kembali, itu hanya hanya bertahan sesaat. Saham PTBA, seperti halnya saham emiten sejenis di sektor batubara belum lepas dari tekanan.
Rupanya, selain soal harga komoditas batubara yang masih tertekan, nasib konsesi PKP2B ke depan masih belum bisa dipastikan, membuatnya tak ampuh mendongkrak harga saham PTBA. Betul, UU Minerba No 4/2019 mengamanatkan prioritas mengelola lahan tambang itu diberikan untuk BUMN dan BUMD.
Cuma, beleid tersebut sudah masuk daftar yang akan direvisi. Bahkan, sudah masuk program legislasi nasional (prolegnas) sejak 2010 silam.
Nah, teranyar, Ignasius Jonan, Menteri ESDM menyebut kementeriannya sudah menyelesaikan daftar inventaris masalah (DIM) revisi UU Minerba. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi VII DPR Kamis, (20/6), ia menyebut akan segera berkirim surat ke Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Jonan berharap bisa menyampaikan revisi tersebut sebelum masa kerja DPR-RI periode 2014-2019 berakhir pada Oktober tahun ini. Cuma, belum ada informasi apa saja DIM yang diajukan pemerintah.
Sulit diselesaikan
Hanya saja, berkaca pada track record kinerja legislasi DPR selama ini, sulit membayangkan revisi UU Minerba bisa selesai sebelum Oktober 2019. Dus, hingga ada UU yang baru, Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadja Mada menyebut, UU Minerba 4/2009 tetap menjadi rujukan di industri minerba.
Kalaupun revisi tersebut berhasil diselesaikan, semangatnya tidak boleh lepas dari aturan perundang-undangan yang ada di atasnya. Dua hal yang harus tetap dipertahankan adalah kewajiban membangun smelter lantaran menyangkut kepentingan nasional. Lalu, pembatasan luas konsesi tambang minerba yang bisa dikelola swasta. "Kalau lahan untuk swasta tidak dibatasi, itu bukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tapi untuk sebesar-besarnya kemakmuran investor," tandas Fahmy.
Meski demikian, demi kepastian hukum, izin yang saat ini masih berlaku mesti tetap berjalan sampai kontraknya berakhir. "Setelah habis kontraknya, jika ingin melanjutkan operasi harus mengikuti ketentuan UU yang berlaku," imbuhnya.
Jika dua poin penting ini hilang dari UU Minerba yang baru, Fahmy khawatir aturan tersebut bakal diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dus, kerja pemerintah dan DPR, juga penantian investor, terbuang sia-sia.
Dalam beberapa kali kesempatan wawancara dengan KONTAN, perusahaan batubara yang diwakili asosiasi pertambangan batubara Indonesia (APBI) acap menekankan pentingnya kepastian hukum. Sebab investasi yang digelontorkan dan rencana ekspansi bergantung pada izin yang dikantongi perusahaan batubara.
Sudah murah
Terlepas dari urusan nasib lahan tambang eks PKP2B, harga saham PTBA saat ini sudah terlalu jauh di bawah harga wajarnya. Konsensus analis yang dihimpun Bloomberg menunjukkan, rata-rata target harga 12 bulan ada di Rp 3.9661,40 per saham.
Dessy misalnya, mematok target harga PTBA di Rp Rp 4.140 per saham. Target price (TP) ini mencerminkan posisi price to earning ratio (PER) 2019 di 7,32x P/E. Sebagai perbandingan, Thomas Radityo, analis Ciptadana Sekuritas Asia dalam risetnya merekomendasikan TP PTBA di Rp 4.150 per saham.
Hingga penutupan perdagangan sesi I, Kamis (27/06), saham PTBA melemah 0,67% ke Rp 2.970 per saham.
Secara teknikal, PTBA sudah menarik untuk dilirik. "Harga saat ini boleh beli, range-nya 2.900-2.950," saran William Hartanto, analis Panin Sekuritas.
Level stop loss bisa dipasang di 2.750 dengan target harga dalam tiga bulan ke depan di Rp 3.400 per saham. Target harga tersebut merupakan gap yang terbentuk pada 7 Mei 2019.
Nah, Anda masih mau wait and see, bersiap ambil posisi, atau malah sudah melakukan akumulasi?