KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memiliki utang berbunga bagi sebuah korporasi bukan sesuatu yang buruk.
Apalagi jika utang tersebut digunakan untuk kepentingan produktif semisal untuk ekspansi yang akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
Tentunya hal ini juga harus diiringi dengan kemampuan perusahaan membayar semua kewajibannya.
Salah satu cara yang paling umum digunakan untuk menilai sebagus apa kemampuan korporasi membayar utang adalah dengan membandingkan antara utang dengan ekuitas, atau debt to equity ratio (DER).
Semakin bagus posisi DER, biasa ditandai dengan DER di bawah 100%, kian kuat pula kemampuan korporasi untuk membayar utang-utang berbunganya, baik utang bank maupun kewajiban berupa surat utang.
Dalam kondisi sulit seperti sekarang, emiten yang kondisi utangnya sehat mestinya masih mampu membayar kewajiban, terutama utang jangka pendek.
Baca Juga: Outlook Dipangkas S&P, Saham BMRI, BBRI dan BBNI Meroket dan Dinilai Masih Layak Beli
Walaupun perusahaan itu tidak dapat beroperasi normal, bahkan berhenti beroperasi sama sekali, sehingga tidak memiliki penghasilan atau pendapatannya berkurang drastis.
Sebaliknya, perusahaan yang sejak awal posisi utang dengan ekuitasnya tidak seimbang berpotensi mengalami masalah dalam melunasi kewajiban-kewajibannya.
Terlebih jika di masa-masa kritis seperti pandemi virus corona (Covid-19), kemampuan mereka untuk menghasilkan pendapatan berkurang.
Maka tidak heran jika belakangan kian santer mengemuka korporasi yang mengalami gagal bayar utang berupa medium term notes (MTN) maupun menunda pembayaran surat utang tersebut.
Belum lagi sejumlah emiten mulai mengajukan negosiasi untuk mendapatkan keringanan pembayaran utang ke perbankan maupun pemegang surat utang.
Bagi investor saham, cerita-cerita semacam ini bisa menjadi sentimen negatif, yang pada akhirnya berpotensi mempengaruhi arah pergerakan harga saham emiten terkait.
Baca Juga: Perumnas kaji beragam opsi selesaikan pembayaran MTN
Di sisi lain, meski jumlahnya tidak seberapa, ada beberapa emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang neraca keuangannya bersih dari catatan utang berbunga atau zero debt.
Pos liabilitas emiten-emiten langka ini biasanya hanya diisi utang usaha, utang pajak, utang kepada pemegang saham, atau kewajiban kepada pihak ketiga lainnya yang tidak memiliki konsekuensi bunga.
Berdasarkan penelusuran KONTAN, berikut ini beberapa emiten yang bebas dari utang.
ITMG
Salah satu emiten yang neraca keuangannya bersih dari utang berbunga adalah PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).
Per 31 Desember 2019, rasio liabilitas terhadap ekuitas emiten pertambangan batubara, itu hanya 37%.
Jika diperinci utang berbunganya hanya berupa pinjaman jangka pendek US$ 10,6 juta.
Namun, yang perlu dicatat, dalam laporan tahunan 2019, manajemen ITMG menyebut, seluruh pinjaman jangka pendek senilai US$ 10,6 juta, itu telah dibayar penuh pada Januari 2020.
Dengan demikian, pinjaman jangka pendek tersebut tidak akan lagi menghiasi laporan keuangan ITMG pada kuartal I-2020, yang sampai saat ini belum dirilis perseroan.
Daya tarik ITMG yang lain adalah konsistensinya membagi dividen dengan payout ratio yang menggiurkan saban tahun.
Sebelumnya, untuk kinerja semester I-2019 ITMG telah membayar dividen interim pada 15 November 2019 dengan payout ratio 80% dari laba bersih, atau Rp 705 per saham.
Baca Juga: Siap-siap, pemegang saham Indo Tambangraya (ITMG) bakal ketiban berkah dividen
Nah, manajemen ITMG berencana membagikan minimal 60% dari laba bersih tahun buku 2019 sebagai dividen untuk para pemegang sahamnya.
Agenda ini akan dimintai persetujuannya pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang bakal digelar 29 Mei 2020.
Meski payout ratio-nya masih menarik, nilai dividen yang diterima pemegang saham bakal lebih kecil ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Maklum saja, koreksi harga batubara ikut menyeret turun pendapatan dan laba bersih ITMG.
Tahun lalu pendapatan bersih ITMG hanya US$ 1,71 miliar, turun 14,55% secara year-on-year (yoy).
Sementara laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk anjlok 50,59% (yoy) menjadi US$ 129,43 juta.
INTP
Emiten berikutnya yang mencatatkan zero debt adalah PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP).
Dari total liabilitas per 31 Desember 2019 yang sebesar Rp 4,63 triliun tidak satu pos pun yang berupa utang berbunga, baik ke perbankan maupun yang berbentuk surat utang.
Kalaupun ada yang mau disebut sebagai utang yang memiliki beban bunga, hanyalah yang berasal dari perjanjian sewa kendaraan senilai Rp 110,28 miliar.
Per 31 Desember 2019 beban bunganya hanya sekitar Rp 1,22 miliar.
Jadi, jelas tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan total liabilitas sebesar Rp 4,63 triliun. Apalagi dibanding total ekuitas INTP yang mencapai Rp 23,08 triliun.
Investor pemegang saham INTP tidak hanya bisa tidur nyenyak lantaran bebas dari risiko yang muncul akibat utang.
Senyum manis juga kerap terukir lantaran INTP termasuk royal membagikan keuntungan kepada para pemegang sahamnya.
Tahun lalu payout ratio dividen INTP mencapai 100%, alias seluruh laba bersih yang diperoleh untuk tahun buku 2018 dibagikan sebagai dividen.
Untuk tahun ini belum ada informasi soal dividen yang akan dibagikan INTP.
Namun Maria Renata, Analis Danareksa Sekuritas dalam riset 20 April 2020 mengekspektasikan INTP bakal kembali membagikan seluruh laba bersihnya sebagai dividen kepada para pemegang sahamnya.
Sayangnya, tantangan yang dihadapi INTP ke depan kian berat. Dalam beberapa tahun terakhir saja, industri semen nasional menghadapi masalah kelebihan pasokan yang tak kunjung usai.
Baca Juga: Akibat corona, kinerja Indocement (INTP) diproyeksi tidak semoncer tahun lalu
Kini, seiring pandemi corona, sisi permintaan juga kian melemah.
Industri properti kehilangan gairah, salah satunya akibat melemahnya daya beli masyarakat.
Sektor infrastruktur juga tak lagi jadi prioritas seiring pengalihan fokus anggaran negara untuk menanggulangi Covid-19 beserta dampaknya.
Tahun lalu, Indocement masih mampu membukukan kenaikan pendapatan 4,9% (yoy) menjadi Rp 15,94 triliun.
Sementara laba bersihnya melonjak 60,26% (yoy) menjadi Rp 1,83 triliun.
Nah, tahun ini manajemen INTP sudah merevisi target penjualan, dari semula tumbuh 3%-4% menjadi 0% hingga sekitar 1% saja.
Maria memproyeksikan penjualan INTP tahun ini tumbuh -10,2% (yoy) menjadi 16,03 juta ton.
Dampaknya, pendapatan INTP 2020 diperkirakan -10,9% (yoy) menjadi Rp 14,2 triliun dan pertumbuhan laba bersih -28,5% (yoy) menjadi Rp 1,3 triliun.
LSIP
Emiten perkebunan kelapa sawit dalam beberapa tahun terakhir tengah menghadapi ujian berat akibat tekanan harga jual produk sawit dan turunannya.
Kampanye negatif terhadap sawit, yang dimotori uni eropa tak pernah surut.
Hambatan ekspor berupa bea masuk tinggi diterapkan sejumlah negara seperti India.
Dalam kondisi sulit seperti ini, banyak emiten yang masih pula dibebani dengan kewajiban berupa utang berbunga yang jumlahnya tidak sedikit.
Walhasil, laba bersih yang bisa dihasilkan emiten kian menciut.
Namun, hal ini tidak sepenuhnya berlaku kepada PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP).
Kinerja keuangan emiten perkebunan milik Grup Salim itu juga mengalami koreksi akibat turunnya harga CPO.
Baca Juga: Wah, Meski Laba Bersih LSIP Anjlok 41,09%, Analis Kompak Sematkan Rekomendasi Beli
Juga akibat penurunan produksi, ambil contoh produksi tandan buah segar (TBS) yang turun 3,2% (yoy) menjadi 1,47 juta ton.
Per 31 Desember 2019 pendapatannya turun 7,97% (yoy) menjadi Rp 3,70 triliun. Laba tahun berjalannya terkoreksi 23,31% (yoy) menjadi Rp 252,63 miliar.
Namun perusahaan itu tak punya utang bank atau obligasi sama sekali.
Liabilitas jangka pendeknya didominasi oleh utang usaha. Sementara liabilitas jangka panjang oleh pos imbalan kerja.
Dengan total liabilitas Rp 1,73 triliun dan ekuitas Rp 8,5 triliun, DER LSIP masih sangat sehat, hanya 20,33%.
OPMS
Nama PT Optima Prima Metal Sinergi Tbk (OPMS) mungkin tidak sefamilier INTP atau ITMG.
Maklum, emiten ini memang belum genap setahun melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). OPMS listing di BEI pada 23 September 2019.
Selain itu bisnis OPMS juga tak lazim dilakoni emiten-emiten lain. Perusahaan itu merupakan satu-satunya emiten yang bermain di bisnis besi scrap dari kapal bekas.
Nah, yang membuat OPMS ini istimewa bukan hanya soal bisnis yang ditekuninya. Melainkan juga neraca kewajibannya yang bersih dari utang.
Sejak awal, sebelum masuk bursa, PT Optima Prima Metal Sinergi Tbk memang tak bergelimang utang.
Perolehan dana initial public offering (IPO) sekitar Rp 54 miliar, seluruhnya digunakan untuk membeli kapal bekas.
Liabilitasnya pun sederhana, hanya berisi utang usaha, utang lain-lain dari pihak ketiga, utang pajak dan imbalan kerja karyawan.
Per 31 Desember 2019 total nilai kewajibannya hanya sekitar Rp 1,87 miliar. Bandingkan dengan total ekuitas perseroan yang sebesar Rp 114,31 miliar.
Baca Juga: OPMS Merealisasikan Buyback, Harga Sahamnya Berhasil Menguat 35,38%
Sayangnya, modal disetor dan ditempatkan penuh pada OPMS hanya satu miliar saham, 34,61% diantaranya dimiliki investor publik.
Hal ini membuat likuiditas perdagangan saham OPMS sangat kering.
Jumlah saham beredar OPMS kian surut setelah perseroan menggelar buyback. Total jumlah saham yang dibeli kembali mencapai 19,84%, atau 198.373.000 lembar.
Transaksi buyback terakhir yang dilaporkan Rubbyanto Ping Hauw Handaja, Sekretaris Perusahaan OPMS berlangsung pada 17 April 2020.
Saham yang dibeli perseroan sebanyak 58 juta lembar di harga Rp 109 per saham.
Sayangnya, serangkaian transaksi buyback yang digelar OPMS juga tetap tak mampu mengangkat harga saham itu keluar dari bawah zona cepek, alias Rp 100 per saham.