Strategi Reksadana: Maximum Draw Down dan Saham

Sabtu, 14 Mei 2022 | 07:50 WIB
Strategi Reksadana: Maximum Draw Down dan Saham
[]
Reporter: Harian Kontan | Editor: Harris Hadinata

KONTAN.CO.ID - Kejatuhan bursa setelah libur lebaran dapat mengejutkan. Namun, koreksi dalam bukanlah sesuatu yang aneh di bursa saham. Koreksi dalam pernah terjadi akibat krisis subprime mortgage, pandemi Covid-19, kenaikan suku bunga The Fed dan sebagainya. Tapi hingga kini, bursa Indonesia selalu bisa rebound.

Kejadian terburuk dalam sembilan tahun terakhir, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang 2020 ambles 5%. Namun bila Anda berinvestasi di IHSG, potensi kerugian maksimal yang bisa Anda derita adalah bila masuk di 3 Januari 2020 ketika indeks berada di level tertinggi 6.323 dan keluar tanggal 24 Maret 2020 saat IHSG terjun bebas ke level terendah di 3.937. Dengan kata lain Anda buntung sebesar 37,75% yang terjadi dalam 70 hari.

Kerugian ini dalam istilah investasi dikenal sebagai maximum draw down (MDD). Kejatuhan rata-rata IHSG dan rata-rata reksadana saham, yang diwakili oleh Infovesta 90 Equity Fund Index, dapat dilihat dalam tabel yang disertakan di artikel ini.

Maximum Draw Down IHSG dan Indeks Reksadana Saham

Tahun

Indeks Harga Saham Gabungan

Infovesta 90 Equity Fund Index

MDD

Hari

Return

MDD

Hari

Return

2022*

-9,3%

21

0,28%

-5,72%

14

0,33%

2021

-10,48%

126

10,08%

-15,27%

181

-2,25%

2020

-37,75%

70

-5,09%

-35,84%

81

-6,93%

2019

-11,01%

100

1,70%

-15,8%

295

-8,41%

2018

-15,78%

134

-2,54%

-16,73%

219

-5,24%

2017

-2,72%

35

19,99%

-3,85%

87

9,76%

2016

-8,12%

80

15,32%

-12,87%

137

8,95%

2015

-25,4%

174

-12,13%

-27,28%

210

-15,31%

2014

-6,36%

35

22,29%

-7,08%

35

27,31%

*Year-To-Date hingga 12 Mei 2022, Sumber : www.infovesta.com

Secara umum terlihat rata-rata reksadana saham memiliki risiko dalam bentuk MDD lebih tinggi dari IHSG. Ini menyiratkan pemilihan saham oleh manajer investasi membuat diversifikasi belum optimal, sehingga dari sisi risiko menjadi lebih besar.

Dari sisi risiko sendiri dapat dilihat walaupun umumnya indeks mengalami return positif, namun selalu ada potensi investor mengalami kerugian setiap tahun bila membeli pada saat harga tertinggi dan cut loss pada harga terendah. Bila dirata-rata sembilan tahun terakhir, indeks selalu dapat jatuh 14% dari titik tertingginya.

Baca Juga: Asing Ramai-Ramai Melepas Saham Bluechip

Kejatuhan dalam ini bisa saja tidak terjadi dalam waktu singkat. Di 2015 nyaris dalam sembilan bulan IHSG terus melemah. Koreksi iHSG hingga kembali rebound tercepat terjadi di 2017, mencapai 35 hari. Pada tahun ini, IHSG "baru" melemah 21 hari (hingga 12 Mei), masih di bawah rata-rata tahunan sebanyak 86 hari.

Walaupun angka kerugian di atas terlihat mengerikan, investor saham perlu terus memiliki horizon investasi jangka panjang. Pada kerugian sangat dalam di 2020 pun IHSG dapat rebound kembali di 2021. Selama fundamental ekonomi masih baik dan para emiten masih dapat menghasilkan laba dari bisnisnya, selalu ada potensi untuk rebound.

Sebenarnya koreksi merupakan bagian dari investasi saham, sehingga investor diharapkan selalu memiliki strategi untuk menghadapinya. Baik dengan melakukan investasi jangka panjang pada emiten yang memiliki fundamental baik dan prospek bisnisnya jelas, atau memiliki cutloss point yang diterapkan dengan disiplin.

Bagaimana dengan investasi di reksadana saham? Hakikat dari reksadana saham adalah investor menitipkan dana miliknya ke manajer investasi (MI) untuk dikelola. Atas jasa penitipan dan pengelolaan tersebut maka MI memungut fee atau biaya dalam bentuk persentase yang besarannya tetap.

Dengan kata lain, baik saat investor untung ataupun rugi, MI akan terus memotong fee. Tentu saja investor mengharapkan MI mampu mengalahkan pasar, sehingga tidak sia sia investor membayar fee ke MI.

Bentuk mengalahkan pasar ini bermacam-macam. Salah satunya adalah bila pasar sedang turun, maka kinerja reksadana saham diharapkan turun lebih kecil bila dibandingkan dengan penurunan IHSG.

Dengan demikian investor juga perlu melihat apa yang terjadi pada return reksadana saham ketika bursa saham mengalami koreksi. Belum tentu reksadana saham dengan return yang tinggi akan terus menjadi yang terbaik. Faktor konsistensi kinerja lebih penting dalam jangka panjang.

Melihat kondisi bursa saham saat ini yang berfluktuasi dengan sangat tajam, maka bisa saja sewaktu-waktu terjadi pembalikan arah. Untuk mengantisipasi hal ini, investor dapat berinvestasi pada reksadana saham yang secara historis potensi kerugiannya lebih kecil dari IHSG, dengan harapan bila tiba-tiba pasar berbalik arah, kerugian yang diderita investor tidak sebesar pasar.

Bagikan

Berita Terbaru

Ada Skema Baru, Premi Asuransi Barang Milik Negara Bisa Tumbuh Lebih Cepat
| Sabtu, 06 Desember 2025 | 04:15 WIB

Ada Skema Baru, Premi Asuransi Barang Milik Negara Bisa Tumbuh Lebih Cepat

Pemerintah memiliki dana abadi khusus bencana yang dikelola terpusat oleh Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) 

Tren Bullish Diproyeksi Masih Akan Ikuti Samudera Indonesia (SMDR) Tahun 2026
| Jumat, 05 Desember 2025 | 15:00 WIB

Tren Bullish Diproyeksi Masih Akan Ikuti Samudera Indonesia (SMDR) Tahun 2026

SMDR tahun ini mengalokasikan belanja modal senilai Rp 4 triliun ayang dialokasikan untuk menambah kapal baru.

Menguatnya Saham Tommy Soeharto (GTSI) Didominasi Volume Pembelian
| Jumat, 05 Desember 2025 | 14:00 WIB

Menguatnya Saham Tommy Soeharto (GTSI) Didominasi Volume Pembelian

Target GTSI adalah juga mencari sumber pendapatan baru agar tidak tergantung dari LNG shipping dan FSRU.

Didorong Sentimen Rights Issue, Begini Proyeksi Saham IMAS dan IMJS Menurut Analis
| Jumat, 05 Desember 2025 | 12:50 WIB

Didorong Sentimen Rights Issue, Begini Proyeksi Saham IMAS dan IMJS Menurut Analis

Pendapatan IMAS sampai dengan September 2025 ditopang dari PT IMG Sejahtera Langgeng senilai Rp 14,79 triliun atau tumbuh 15,46% YoY.

Butuh Duit Jumbo Menyerap Kenaikan Free Float, Mampukah Pasar?
| Jumat, 05 Desember 2025 | 10:03 WIB

Butuh Duit Jumbo Menyerap Kenaikan Free Float, Mampukah Pasar?

Dengan target transaksi harian hanya Rp 14,5 triliun, besaran dana untuk menyerap saham free float 15% sekitar Rp 203 triliun termasuk besar.

Melambung Tinggi, Saham Teknologi Masih Terus Unjuk Gigi
| Jumat, 05 Desember 2025 | 09:53 WIB

Melambung Tinggi, Saham Teknologi Masih Terus Unjuk Gigi

Pergerakan saham teknologi ke depan akan jauh lebih selektif dan berbasis kinerja, bukan lagi sekadar euforia sentimen.

WALHI Beberkan Akumulasi Alih Fungsi Hutan 10.795 Ha Pemicu Banjir di Sumut
| Jumat, 05 Desember 2025 | 09:00 WIB

WALHI Beberkan Akumulasi Alih Fungsi Hutan 10.795 Ha Pemicu Banjir di Sumut

Banjir ini mencerminkan akumulasi krisis ekologis yang dipicu ekspansi tambang, proyek energi, hingga perkebunan sawit skala besar.

Prospek Elok Emiten Milik Happy Hapsoro (RATU) Ditopang Ekspansi Bisnis yang Agresif
| Jumat, 05 Desember 2025 | 07:32 WIB

Prospek Elok Emiten Milik Happy Hapsoro (RATU) Ditopang Ekspansi Bisnis yang Agresif

RATU memiliki tujuh rencana akuisisi global hingga tiga tahun ke depan, dua diantaranya ditargetkan selesai kuartal IV-2025 dan semester I-2026.

WSKT Diskon Tarif Tol di Jawa dan Sumatra
| Jumat, 05 Desember 2025 | 07:12 WIB

WSKT Diskon Tarif Tol di Jawa dan Sumatra

WSKT juga menargetkan peningkatan pendapatan selama periode tersebut, meski Buyung enggan menyebut angkanya secara spesifik.  

Pertamina Pasok BBM dengan Pesawat Perintis
| Jumat, 05 Desember 2025 | 07:08 WIB

Pertamina Pasok BBM dengan Pesawat Perintis

Pengiriman menggunakan pesawat perintis merupakan langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan energi di wilayah terdampak

INDEKS BERITA