KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Drama yang melibatkan PT Bank National Nobu Tbk (NOBU) milik taipan James Riady dan PT Bank MNC Internasional Tbk (BABP) yang dikendalikan Hary Tanoesoedibjo terus berlanjut. Pada 31 Januari 2025 Bank Nobu mengumumkan rencana pengambilalihan 2,99 miliar saham NOBU, setara 40% oleh Hanwha Life Insurance Co Ltd.
Dus, pertanyaan soal pemenuhan kewajiban Bank Nobu dan Bank MNC atas regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun kembali menguar. Kedua bank terikat dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Konsolidasi Bank Umum.
Nah, hingga 31 Desember 2022, NOBU dan BABP tidak mampu memenuhi ketentuan modal inti minimum sebesar Rp 3 triliun sebagaimana yang dipersyaratkan dalam POJK tersebut. Keduanya baru bisa mencapai modal inti minimum Rp 3 triliun setelah 2022 berlalu.
Alhasil, hanya ada tiga opsi yang harus dipilih; merger, likuidasi sukarela, atau menjadi Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Grup Lippo dan MNC yang tak rela kehilangan bank atau turun kasta lantas memilih opsi merger NOBU dengan BABP.
Kini, sudah lebih dari dua tahun sejak kegagalan Bank Nobu dan Bank MNC memenuhi ketentuan POJK Nomor 12 Tahun 2020. Target awal penyelesaian merger pada Agustus 2023 yang pernah disampaikan OJK juga tak terpenuhi.
Pernyataan Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK yang menyebut merger antara dua bank dengan kultur dan karakteristik bisnis yang berbeda tidak dapat dilakukan secara tergesa-gesa memang ada benarnya. Kepemilikan silang Grup Lippo dan MNC dalam porsi minoritas di BABP dan NOBU juga telah terjadi.
Namun, OJK perlu menunjukkan seberapa tajam giginya demi mendorong pemenuhan dan penegakan aturan yang mereka buat sendiri. Proses merger kedua bank harus diawasi secara ketat. OJK perlu menetapkan batas waktu serta timeline yang terukur.
Sebab, merger NOBU dan BABP sejatinya tak layak disebut sebagai merger sukarela. Perlu diingatkan lagi, aksi korporasi itu terpaksa dilakukan karena keduanya tak bisa memenuhi aturan OJK.
Jika terus berlarut-larut tanpa kejelasan, apa yang terjadi di NOBU dan BABP bisa jadi preseden soal bagaimana korporasi mengakali regulasi. Juga jangan sampai ada yang nyinyir, aturan di negeri ini kerap seperti karet yang bisa disiasati.