KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Lawatan Presiden Joko Widodo ke Roma Italia berlanjut ke Glasgow Skotlandia sepekan terakhir cukup menyita perhatian.
Tidak hanya kita di Indonesia tapi juga perhatian dunia internasional lantaran Indonesia mulai Desember 2021 mendatang resmi menjadi presidensi 20 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar dunia G20.
Yang menjadi perhatian kita semua tentu bukan keakraban pemimpin dunia dengan Presiden Joko Widodo semata. Lebih dari itu, kita semua berharap Presiden membawa oleh-oleh nyata dari kunjungan kerja ke luar negeri tersebut, yakni kebijakan global yang menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.
Sebagai presidensi G20 Indonesia bersama dengan negara-negara pasar dari korporasi digital global punya kepentingan sama untuk bisa memungut pajak penghasilan mereka dari wilayah masing-masing.
Pekerjaan besar ke depan adalah untuk bisa memastikan kesepakatan global pemajakan perusahaan digital ini bisa diimplementasikan.
Sementara dari Konfrensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (KTT PBB) yang membahas Perubahan Iklim (COP26), Indonesia mendapatkan puja-puji karena mampu mengerem deforestasi.
Tentu kita masih ingat 12 tahun lalu Indonesia bersemangat menanggapi tawaran Norwegia untuk mendanai program deforestasi dan pengurangan emisi karbon. Tapi sayang janji itu tidak terealisasi sehingga Indonesia membubarkan satuan tugas Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD +) yang bertugas mengawal program ini.
Serasa mengulang 12 tahun lalu, kini Indonesia menyampaikan komitmen untuk mengurangi emisi karbon lebih agresif. Kali ini bukan dari deforestasi dan lahan gambut, melainkan mempercepat pensiun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara.
Ongkos komitmen ini tidak kecil. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi untuk memensiunkan pembangkit batubara berkapasitas 5,5 megawatt butuh dana US$ 25 miliar- US$ 30 miliar atau setara Rp 428 triliun.
Hitungan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara butuh dana Rp 3.500 triliun untuk memensiunkan seluruh pebangkit batubara. Padahal Walhi mencatat berdasarkan RUPTL hingga 2030 Indonesia akan membangun pembangkit batubara 13,8 gigawatt.
Kita perlu memastikan jangan sampai komitmen pendanaan negara maju, hanya untuk jualan pembangkit energi baru dan terbarukan pengganti PLTU batubara.