Transparansi BI & OJK

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gelombang protes atas gaya hidup pejabat negara belum juga reda. Dari pamer kemewahan hingga ucapan yang meremehkan konstituen telah disuguhi kepada publik. Kita menyaksikan potret mental pejabat yang lupa diri. Padahal mereka digaji dari hasil keringat rakyat, dari pekerja kelas menengah yang tiap bulan gajinya dipotong untuk bayar pajak penghasilan (PPh). Kelompok ini bahkan menyumbang lebih dari separuh penerimaan negara ini.
Namun kontribusi mereka terhadap keuangan negara rupanya tak sebanding dengan sikap sebagian pejabat yang masih merasa perlu dilayani, alih-alih melayani. Budaya elitis ini semakin nyata ketika muncul kabar duka dari Wina, Austria. Seorang mahasiswa Indonesia wafat setelah mendampingi rombongan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), pejabat Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Menurut PPI Belanda, hasil otopsi forensik, almarhum kemungkinan besar alami heatstroke yang juga kelelahan yang mengakibatkan electrolyte imbalances (ketidakseimbangan elektrolit) dan hypoglycemia (kadar gula darah turun di bawah kadar normal) hingga berujung stroke.
Sorotan lain dari PPI Belanda adalah, adanya indikasi penutupan keterangan kegiatan apa dan siapa yang dipandu almarhum di Wina. Kini, publik tidak tahu siapa pejabat negara itu. Publik hanya bisa menebak-nebak, sementara pejabat di institusi yang digaji dari pajak rakyat itu diam seribu bahasa.
Apakah publik yang harus mencari sendiri maksud kunjungan ke kota layak huni sedunia tersebut?
Pertanyaan publik juga makin tajam, saat PPI Belanda bilang, ada pula pejabat negara yang punya fungsi pengawas (DPR) yang bepergian bersama pejabat OJK dan BI. Kita tahu, BI dan OJK adalah lembaga negara yang juga diawasi oleh DPR. Apakah independensi bisa terjaga bila pengawas dan yang diawasi berada dalam satu rombongan perjalanan ke luar negeri?
Dalam hal ini, transparansi dan etika jelas menjadi pertaruhan.
Dampak sosialnya tentu serius. Publik bisa makin sinis, sementara kepercayaan pada lembaga negara terus terkikis.
Maka itu, sudah semestinya otoritas terkait menjelaskan terbuka ke publik, urgensi adanya perjalanan ke Austria, apa hasilnya, dan mengapa harus berangkat bersama dengan DPR?
Tanpa jawaban jernih, marwah pengawasan dan kredibilitas pejabat bisa terjun bebas.